Minangkabau atau yang biasa disingkat
Minang adalah
kelompok etnik Nusantara yang
berbahasa dan menjunjung
adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi
Sumatera Barat, separuh daratan
Riau, bagian utara
Bengkulu, bagian barat
Jambi, bagian selatan
Sumatera Utara, barat daya
Aceh, dan juga
Negeri Sembilan di
Malaysia.
[2] Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai
orang Padang, merujuk kepada nama ibukota provinsi Sumatera Barat yaitu kota
Padang. Namun, masyarakat ini biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan
urang awak (bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri).
[3]
Menurut
A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun
Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki,
[4] serta menganut sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau
matrilineal,
[5] walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama
Islam, sedangkan
Thomas Stamford Raffles, setelah melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau tempat kedudukan
Kerajaan Pagaruyung,
menyatakan bahwa Minangkabau adalah sumber kekuatan dan asal bangsa
Melayu, yang kemudian penduduknya tersebar luas di Kepulauan Timur.
[6]
Saat ini masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di dunia.
[7][8] Selain itu, etnik ini juga telah menerapkan sistem proto-
demokrasi sejak masa pra-
Hindu
dengan adanya kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan
permasalahan hukum. Prinsip adat Minangkabau tertuang singkat dalam
pernyataan
Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan
Al-Qur'an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam.
[9]
Orang Minangkabau sangat menonjol di bidang perniagaan, sebagai
profesional dan intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari
tradisi tua
Kerajaan Melayu dan
Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamis.
[10]
Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam
perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar,
seperti
Jakarta,
Bandung,
Pekanbaru,
Medan,
Batam,
Palembang, dan
Surabaya. Di luar wilayah Indonesia, etnis Minang banyak terdapat di Negeri Sembilan, Malaysia dan
Singapura.
Masyarakat Minang memiliki masakan khas yang populer dengan sebutan
masakan Padang, dan sangat digemari di
Indonesia bahkan sampai mancanegara.
[11]
Etimologi
Peta yang menunjukan wilayah persebaran kelompok etnik Minangkabau di
pulau Sumatera.
Nama Minangkabau berasal dari dua kata,
minang dan
kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatu
legenda khas Minang yang dikenal di dalam
tambo. Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa ditafsirkan sebagai
Majapahit)
yang datang dari laut akan melakukan penaklukan. Untuk mencegah
pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau.
Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang
besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak
kerbau yang lapar. Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar itu
menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu
langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut
kerbau besar tersebut. Kemenangan itu menginspirasikan masyarakat
setempat memakai nama
Minangkabau,
[12] yang berasal dari ucapan "
Manang kabau" (artinya menang kerbau). Kisah tambo ini juga dijumpai dalam
Hikayat Raja-raja Pasai dan juga menyebutkan bahwa kemenangan itu menjadikan negeri yang sebelumnya bernama
Periaman (
Pariaman) menggunakan nama tersebut.
[13] Selanjutnya penggunaan nama
Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah
nagari, yaitu Nagari
Minangkabau, yang terletak di kecamatan
Sungayang, kabupaten
Tanah Datar, provinsi
Sumatera Barat.
Dalam catatan sejarah kerajaan
Majapahit,
Nagarakretagama[14] tahun 1365 M, juga telah ada menyebutkan nama
Minangkabwa sebagai salah satu dari negeri
Melayu yang ditaklukannya.
Sedangkan nama "Minang" (
kerajaan Minanga) itu sendiri juga telah disebutkan dalam
Prasasti Kedukan Bukit tahun
682 Masehi dan ber
bahasa Sanskerta. Dalam
prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri kerajaan
Sriwijaya yang bernama
Dapunta Hyang bertolak dari "Minānga" ....
[15]
Beberapa ahli yang merujuk dari sumber prasasti itu menduga, kata baris
ke-4 (...minānga) dan ke-5 (tāmvan....) sebenarnya tergabung, sehingga
menjadi
mināngatāmvan dan diterjemahkan dengan makna
sungai kembar. Sungai kembar yang dimaksud diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran
Sungai Kampar, yaitu
Sungai Kampar Kiri dan
Sungai Kampar Kanan.
[16] Namun pendapat ini dibantah oleh Casparis, yang membuktikan bahwa "tāmvan" tidak ada hubungannya dengan "temu", karena kata
temu dan
muara juga dijumpai pada prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya yang lainnya.
[17] Oleh karena itu kata
Minanga berdiri sendiri dan identik dengan penyebutan
Minang itu sendiri.
Bendera atau
marawa yang digunakan suku-suku Minangkabau.
Dari
tambo yang diterima secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari keturunan
Iskandar Zulkarnain.
Walau tambo tersebut tidak tersusun secara sistematis dan lebih kepada
legenda berbanding fakta serta cendrung kepada sebuah karya sastra yang
sudah menjadi milik masyarakat banyak.
[4] Namun demikian kisah tambo ini sedikit banyaknya dapat dibandingkan dengan
Sulalatus Salatin yang juga menceritakan bagaimana masyarakat Minangkabau mengutus wakilnya untuk meminta
Sang Sapurba salah seorang keturunan Iskandar Zulkarnain tersebut untuk menjadi raja mereka.
[18]
Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat
Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau
Sumatera
sekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat
ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar
sampai ke dataran tinggi yang disebut
darek dan menjadi kampung halaman orang Minangkabau.
[19] Beberapa kawasan
darek ini kemudian membentuk semacam
konfederasi yang dikenal dengan nama
luhak, yang selanjutnya disebut juga dengan nama
Luhak nan Tigo, yang terdiri dari
Luhak Limo Puluah,
Luhak Agam, dan
Luhak Tanah Datar.
[5] Pada masa pemerintahan
Hindia-Belanda, daerah
luhak ini menjadi daerah teritorial pemerintahan yang disebut
afdeling, dikepalai oleh seorang
residen dan oleh masyarakat Minangkabau disebut dengan nama
Tuan Luhak.
[4]
Sementara seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk,
masyarakat Minangkabau menyebar ke kawasan darek yang lain serta
membentuk beberapa kawasan tertentu menjadi kawasan
rantau. Konsep
rantau
bagi masyarakat Minang merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk
ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari
kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan
Rantau nan duo terbagi atas
Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan
Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).
Pada awalnya penyebutan orang Minang belum dibedakan dengan orang Melayu, namun sejak abad ke-19, penyebutan Minang dan
Melayu mulai dibedakan melihat budaya
matrilineal yang tetap bertahan berbanding
patrilineal yang dianut oleh masyarakat Melayu umumnya.
[20] Kemudian pengelompokan ini terus berlangsung demi kepentingan
sensus penduduk maupun
politik.
Agama
Masyarakat Minang saat ini merupakan pemeluk agama
Islam, jika ada masyarakatnya keluar dari agama islam (
murtad), secara langsung yang bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minang, dalam istilahnya disebut "dibuang sepanjang
adat".
Agama Islam diperkirakan masuk melalui kawasan pesisir timur, walaupun
ada anggapan dari pesisir barat, terutama pada kawasan
Pariaman, namun kawasan
Arcat (Aru dan Rokan) serta Inderagiri yang berada pada pesisir timur juga telah menjadi kawasan pelabuhan Minangkabau, dan
Sungai Kampar maupun
Batang Kuantan berhulu pada kawasan pedalaman Minangkabau. Sebagaimana pepatah yang ada di masyarakat,
Adat manurun, Syara' mandaki (Adat diturunkan dari pedalaman ke pesisir, sementara agama (Islam) datang dari pesisir ke pedalaman),
[21] serta hal ini juga dikaitkan dengan penyebutan
Orang Siak merujuk kepada orang-orang yang ahli dan tekun dalam agama Islam, masih tetap digunakan di dataran tinggi Minangkabau.
Sebelum
Islam diterima secara luas, masyarakat ini dari beberapa bukti arkeologis menunjukan pernah memeluk agama
Buddha terutama pada masa kerajaan
Sriwijaya,
Dharmasraya, sampai pada masa-masa pemerintahan
Adityawarman dan anaknya
Ananggawarman. Kemudian perubahan struktur kerajaan dengan munculnya
Kerajaan Pagaruyung yang telah mengadopsi
Islam dalam sistem pemerintahannya, walau sampai abad ke-16,
Suma Oriental masih menyebutkan dari 3 raja Minangkabau hanya satu yang telah memeluk Islam.
Kedatangan
Haji Miskin,
Haji Sumanik dan
Haji Piobang dari
Mekkah sekitar tahun 1803,
[22] memainkan peranan penting dalam penegakan
hukum
Islam di pedalaman Minangkabau. Walau di saat bersamaan muncul
tantangan dari masyarakat setempat yang masih terbiasa dalam tradisi
adat, dan puncak dari konflik ini muncul
Perang Padri sebelum akhirnya muncul kesadaran bersama bahwa
Adat berazaskan Al-Qur'an.
[23]
Randai, sebuah pertunjukan kesenian yang dimainkan secara berkelompok.
Adat dan budaya
Menurut
tambo, sistem adat Minangkabau pertama kali dicetuskan oleh dua orang bersaudara,
Datuk Perpatih Nan Sebatang dan
Datuk Ketumanggungan.
Datuk Perpatih mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang demokratis,
sedangkan Datuk Ketumanggungan mewariskan sistem adat Koto Piliang yang
aristokratis. Dalam perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal dengan
kelarasan ini saling isi mengisi dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau.
Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan
menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama,
cerdik pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan istilah
Tali nan Tigo Sapilin.
Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama
tingginya. Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter,
semua urusan masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara
mufakat.
[24]
Matrilineal
Pakaian perempuan Minang dalam pesta adat atau perkawinan.
Matrilineal
merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitas
masyarakat Minang. Adat dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan
bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan
dirujuk kepada
ibu yang dikenal dengan
Samande (se-ibu). Sedangkan
ayah mereka disebut oleh masyarakat dengan nama
Sumando (
ipar) dan diperlakukan sebagai
tamu dalam keluarga.
Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa sehingga dijuluki dengan
Bundo Kanduang,
memainkan peranan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan
keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum lelaki dalam posisi mereka
sebagai
mamak (paman atau saudara dari pihak ibu), dan
penghulu (kepala suku). Pengaruh yang besar tersebut menjadikan perempuan Minang disimbolkan sebagai
Limpapeh Rumah nan Gadang (pilar utama rumah).
[25]
Walau kekuasaan sangat dipengaruhi oleh penguasaan terhadap aset
ekonomi namun kaum lelaki dari keluarga pihak perempuan tersebut masih
tetap memegang otoritas atau memiliki legitimasi kekuasaan pada
komunitasnya.
Matrilineal tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang walau hanya diajarkan secara turun temurun dan tidak ada
sanksi
adat yang diberikan kepada yang tidak menjalankan sistem kekerabatan
tersebut. Pada setiap individu Minang misalnya, memiliki kecenderungan
untuk menyerahkan harta pusaka—yang seharusnya dibagi kepada setiap anak
menurut hukum faraidh dalam
Islam—hanya
kepada anak perempuannya. Anak perempuan itu nanti menyerahkan pula
kepada anak perempuannya pula. Begitu seterusnya. Sehingga Tsuyoshi Kato
dalam
disertasinya
menyebutkan bahwa sistem matrilineal akan semakin menguat dalam diri
orang-orang Minangkabau walau mereka telah menetap di kota-kota di luar
Minang sekalipun dan mulai mengenal sistem
Patrilineal.
[26]
Bahasa
Bahasa Minangkabau merupakan salah satu anak cabang bahasa
Austronesia. Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa
Minangkabau dengan
bahasa Melayu,
ada yang menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat ini sebagai
bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk
tuturan di dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini
merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu serta ada juga yang
menyebut bahasa Minangkabau merupakan bahasa proto-Melayu.
[27][28]
Selain itu dalam masyarakat penutur bahasa Minang itu sendiri juga
sudah terdapat berbagai macam dialek bergantung kepada daerahnya
masing-masing.
[29][30]
Pengaruh bahasa lain yang diserap ke dalam
Bahasa Minang umumnya dari
Sanskerta,
Arab,
Tamil, dan
Persia. Kemudian kosakata Sanskerta dan Tamil yang dijumpai pada beberapa
prasasti di Minangkabau telah ditulis menggunakan bermacam aksara di antaranya
Dewanagari,
Pallawa, dan
Kawi. Menguatnya
Islam yang diterima secara luas juga mendorong masyarakatnya menggunakan
Abjad Jawi dalam penulisan sebelum berganti dengan
Alfabet Latin.
Kesenian
Sebuah pertunjukan kesenian
talempong, salah satu alat musik pukul tradisional Minangkabau.
Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian,
seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun
perkawinan. Di antara tari-tarian tersebut misalnya
tari pasambahan
merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang
ataupun ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja
sampai, selanjutnya
tari piring
merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil
memegang piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan
lagu yang dimainkan oleh
talempong dan
saluang.
Silek atau
Silat Minangkabau
merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah
berkembang sejak lama. Selain itu, adapula tarian yang bercampur dengan
silek yang disebut dengan
randai. Randai biasa diiringi dengan nyanyian atau disebut juga dengan
sijobang,
[31] dalam randai ini juga terdapat seni peran (
acting) berdasarkan
skenario.
[32]
Di samping itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata. Ada tiga genre seni berkata-kata, yaitu
pasambahan
(persembahan), indang, dan salawat dulang. Seni berkata-kata atau
bersilat lidah, lebih mengedepankan kata sindiran, kiasan, ibarat,
alegori,
metafora, dan
aphorisme.
Dalam seni berkata-kata seseorang diajarkan untuk mempertahankan
kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak fisik.
[33]
] Olahraga
Pacuan kuda merupakan
olah raga
berkuda yang telah lama ada di nagari-nagari Minang, dan sampai saat
ini masih diselenggarakan oleh masyarakatnya, serta menjadi perlombaan
tahunan yang dilaksanakan pada kawasan yang memiliki lapangan pacuan
kuda. Beberapa pertandingan tradisional lainnya yang masih dilestarikan
dan menjadi hiburan bagi masyarakat Minang antara lain lomba
Pacu jawi dan
Pacu itik.
Rumah adat Minangkabau disebut dengan
Rumah Gadang, yang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam
suku tersebut secara turun temurun.
[34] Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bagian muka dan belakang.
[35]
Umumnya berbahan kayu, dan sepintas kelihatan seperti bentuk rumah
panggung dengan atap yang khas, menonjol seperti tanduk kerbau yang
biasa disebut
gonjong[36] dan dahulunya atap ini berbahan ijuk sebelum berganti dengan atap
seng. Di halaman depan rumah gadang, biasanya didirikan dua sampai enam buah
Rangkiang yang digunakan sebagai tempat penyimpanan
padi milik keluarga yang menghuni rumah gadang tersebut.
Namun hanya kaum perempuan dan suaminya, beserta anak-anak yang jadi
penghuni rumah gadang. Sedangkan laki-laki kaum tersebut yang sudah
beristri, menetap di rumah istrinya. Jika laki-laki anggota kaum belum
menikah, biasanya tidur di surau.
Surau
biasanya dibangun tidak jauh dari komplek rumah gadang tersebut, selain
berfungsi sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai tempat tinggal
lelaki dewasa namun belum menikah.
Selain itu dalam budaya Minangkabau, tidak semua kawasan boleh didirikan
Rumah Gadang, hanya pada kawasan yang telah berstatus
nagari saja, rumah adat ini boleh ditegakkan.
Pakaian adat yang dikenakan oleh pengantin Minangkabau.
Dalam adat budaya Minangkabau,
perkawinan
merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan, dan
merupakan masa peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok
kecil keluarga baru pelanjut keturunan. Bagi lelaki Minang, perkawinan
juga menjadi proses untuk masuk lingkungan baru, yakni pihak keluarga
istrinya. Sedangkan bagi keluarga pihak istri, menjadi salah satu proses
dalam penambahan anggota di komunitas
rumah gadang mereka.
Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut
baralek, mempunyai beberapa tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan
maminang (meminang),
manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria), sampai
basandiang (bersanding di pelaminan). Setelah
maminang dan muncul kesepakatan
manantuan hari (menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan pernikahan secara
Islam yang biasa dilakukan di
Mesjid, sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada
nagari tertentu setelah
ijab kabul di depan
penghulu atau
tuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti nama kecilnya.
[37] Kemudian masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut. Gelar panggilan tersebut biasanya bermulai dari
sutan,
bagindo atau
sidi (
sayyidi) di kawasan pesisir pantai. Sedangkan di kawasan
luhak limo puluah, pemberian gelar ini tidak berlaku.
Masakan khas
Masyarakat Minang juga dikenal akan aneka masakannya, dengan citarasa yang pedas, serta dapat ditemukan hampir di seluruh
Nusantara, bahkan sampai ke luar negeri. Walau masakan ini kadang lebih dikenal dengan nama
Masakan Padang, meskipun begitu sebenarnya dikenal sebagai masakan etnik Minang secara umum.
Rendang salah satu masakan tradisional masyarakat Minang, pada tahun 2011 dinobatkan sebagai hidangan peringkat pertama dalam daftar
World’s 50 Most Delicious Foods (50 Hidangan Terlezat Dunia) yang digelar oleh CNN International.
[38]
Sosial kemasyarakatan
Persukuan
Suku dalam tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari
organisasi sosial, sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang
fundamental. Pengertian awal kata
suku dalam
Bahasa Minang dapat bermaksud
satu per-empat, sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu
nagari di
Minangkabau,
dapat dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat
suku yang mendiami kawasan tersebut. Selanjutnya, setiap suku dalam
tradisi Minang, diurut dari garis keturunan yang sama dari pihak ibu,
dan diyakini berasal dari satu keturunan nenek moyang yang sama.
[5]
Selain sebagai basis politik, suku juga merupakan basis dari
unit-unit ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh kepemilikan tanah keluarga,
harta, dan sumber-sumber pemasukan lainnya yang semuanya itu dikenal
sebagai harta pusaka. Harta pusaka merupakan harta milik bersama dari
seluruh anggota kaum-keluarga. Harta pusaka tidak dapat diperjualbelikan
dan tidak dapat menjadi milik pribadi. Harta pusaka semacam dana
jaminan bersama untuk melindungi anggota kaum-keluarga dari kemiskinan.
Jika ada anggota keluarga yang mengalami kesulitan atau tertimpa
musibah, maka harta pusaka dapat digadaikan.
Suku terbagi-bagi ke dalam beberapa cabang keluarga yang lebih kecil atau disebut
payuang (payung). Adapun unit yang paling kecil setelah
sapayuang disebut
saparuik. Sebuah
paruik (perut) biasanya tinggal pada sebuah
rumah gadang secara bersama-sama.
[39]
Nagari
Pakaian khas suku Minangkabau di tahun 1900-an.
Artikel utama untuk bagian ini adalah:
Nagari
Daerah Minangkabau terdiri atas banyak
nagari.
Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di
Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat
mencampuri
adat di sebuah nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal
adat
yang berbeda. Tiap nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari
pemimpin suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini
disebut dengan
Kerapatan Adat Nagari
(KAN). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah sebuah
keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan.
Faktor utama yang menentukan dinamika masyarakat Minangkabau adalah
terdapatnya kompetisi yang konstan antar nagari, kaum-keluarga, dan
individu untuk mendapatkan status dan prestise.
[40]
Oleh karenanya setiap kepala kaum akan berlomba-lomba meningkatkan
prestise kaum-keluarganya dengan mencari kekayaan (berdagang) serta
menyekolahkan anggota kaum ke tingkat yang paling tinggi.
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam
istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu
Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan
Taratak, kemudian berkembang menjadi
Dusun, kemudian berkembang menjadi
Koto dan kemudian berkembang menjadi
Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut.
[5] Selanjutnya sebagai pusat administrasi nagari tersebut dibangunlah sebuah
Balai Adat sekaligus sebagai tempat pertemuan dalam mengambil keputusan bersama para penghulu di nagari tersebut.
Penghulu
Penghulu atau biasa yang digelari dengan
datuk,
merupakan kepala kaum keluarga yang diangkat oleh anggota keluarga
untuk mengatur semua permasalahan kaum. Penghulu biasanya seorang
laki-laki yang terpilih di antara anggota kaum laki-laki lainnya. Setiap
kaum-keluarga akan memilih seorang laki-laki yang pandai berbicara,
bijaksana, dan memahami adat, untuk menduduki posisi ini. Hal ini
dikarenakan ia bertanggung jawab mengurusi semua harta pusaka kaum,
membimbing kemenakan, serta sebagai wakil kaum dalam masyarakat nagari.
Setiap penghulu berdiri sejajar dengan penghulu lainnya, sehingga dalam
rapat-rapat nagari semua suara penghulu yang mewakili setiap kaum
bernilai sama.
Seiring dengan bertambahnya anggota kaum, serta permasalahan dan
konflik intern yang timbul, maka kadang-kadang dalam sebuah keluarga
posisi kepenghuluan ini dipecah menjadi dua. Atau sebaliknya, anggota
kaum yang semakin sedikit jumlahnya, cenderung akan menggabungkan gelar
kepenghuluannya kepada keluarga lainnya yang sesuku.
[41] Hal ini mengakibatkan berubah-ubahnya jumlah penghulu dalam suatu nagari.
Memiliki penghulu yang mewakili suara kaum dalam rapat nagari,
merupakan suatu prestise dan harga diri. Sehingga setiap kaum akan
berusaha sekuatnya memiliki penghulu sendiri. Kaum-keluarga yang gelar
kepenghuluannya sudah lama terlipat, akan berusaha membangkitkan kembali
posisinya dengan mencari kekayaan untuk "membeli" gelar penghulunya
yang telah lama terbenam. Bertegak penghulu memakan biaya cukup besar,
sehingga tekanan untuk menegakkan penghulu selalu muncul dari keluarga
kaya.
[42]
Kerajaan
Dalam laporan
de Stuers[43] kepada pemerintah
Hindia-Belanda, dinyatakan bahwa di daerah pedalaman Minangkabau, tidak pernah ada suatu kekuasaan pemerintahan terpusat dibawah seorang
raja. Tetapi yang ada adalah nagari-nagari kecil yang mirip dengan pemerintahan polis-polis pada masa
Yunani kuno.
[44] Namun dari beberapa
prasasti yang ditemukan pada kawasan pedalaman Minangkabau, serta dari
tambo
yang ada pada masyarakat setempat, etnis Minangkabau pernah berada
dalam suatu sistem kerajaan yang kuat dengan daerah kekuasaan meliputi
pulau Sumatera dan bahkan sampai
Semenanjung Malaya. Beberapa kerajaaan yang ada di wilayah Minangkabau antara lain
Kerajaan Dharmasraya,
Kerajaan Pagaruyung, dan
Kerajaan Inderapura.
Sistem kerajaan ini masih dijumpai di
Negeri Sembilan,
salah satu kawasan dengan komunitas masyarakat Minang yang signifikan
di Semenanjung Malaya. Pada awalnya masyarakat Minang di negeri ini
menjemput seorang putra
Raja Alam Minangkabau untuk menjadi
raja mereka, sebagaimana tradisi masyarakat Minang sebelumnya, seperti yang diceritakan dalam
Sulalatus Salatin.
Minangkabau perantauan
Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk orang Minang yang
hidup di luar kampung halamannya. Merantau merupakan proses interaksi
masyarakat Minangkabau dengan dunia luar. Kegiatan ini merupakan sebuah
petualangan pengalaman dan geografis, dengan meninggalkan kampung
halaman untuk mengadu nasib di negeri orang. Keluarga yang telah lama
memiliki tradisi merantau, biasanya mempunyai saudara di hampir semua
kota utama di Indonesia dan Malaysia. Keluarga yang paling kuat dalam
mengembangkan tradisi merantau biasanya datang dari keluarga
pedagang-pengrajin dan penuntut ilmu agama.
[45]
Para perantau biasanya telah pergi merantau sejak usia belasan tahun,
baik sebagai pedagang ataupun penuntut ilmu. Bagi sebagian besar
masyarakat Minangkabau, merantau merupakan sebuah cara yang ideal untuk
mencapai kematangan dan kesuksesan. Dengan merantau tidak hanya harta
kekayaan dan ilmu pengetahuan yang didapat, namun juga prestise dan
kehormatan individu di tengah-tengah lingkungan adat.
Dari pencarian yang diperoleh, para perantau biasanya mengirimkan
sebagian hasilnya ke kampung halaman untuk kemudian diinvestasikan dalam
usaha keluarga, yakni dengan memperluas kepemilikan sawah, memegang
kendali pengolahan lahan, atau menjemput sawah-sawah yang tergadai. Uang
dari para perantau biasanya juga dipergunakan untuk memperbaiki
sarana-sarana nagari, seperti mesjid, jalan, ataupun pematang sawah.
Jumlah perantau
Etos merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan
tertinggi di Indonesia. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh
Mochtar Naim, pada tahun
1961 terdapat sekitar 32 % orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat. Kemudian pada tahun
1971 jumlah itu meningkat menjadi 44 %.
[46] Berdasarkan sensus tahun
2010,
etnis Minang yang tinggal di Sumatera Barat berjumlah 4,2 juta jiwa,
dengan perkiraan hampir separuh orang Minang berada di perantauan.
Mobilitas migrasi orang Minangkabau dengan proporsi besar terjadi dalam
rentang antara tahun
1958 sampai tahun
1978, dimana lebih 80 % perantau yang tinggal di kawasan rantau telah meninggalkan kampung halamannya setelah masa kolonial
Belanda.
[26]
Melihat data tersebut, maka terdapat perubahan cukup besar pada etos
merantau orang Minangkabau dibanding suku lainnya di Indonesia. Sebab
menurut sensus tahun
1930, perantau Minangkabau hanya sebesar 10,5 % dibawah orang
Bawean (35,9 %),
Batak (14,3 %), dan
Banjar (14,2 %).
Namun tidak terdapat angka pasti mengenai jumlah orang Minang di
perantauan. Angka-angka yang ditampilkan dalam perhitungan, biasanya
hanya memasukkan para perantau kelahiran Sumatera Barat. Namun belum
mencakup keturunan-keturunan Minang yang telah beberapa generasi menetap
di perantauan.
Para perantau Minang, hampir keseluruhannya berada di kota-kota besar
Indonesia dan Malaysia. Di beberapa perkotaan, jumlah mereka cukup
signifikan dan bahkan menjadi pihak mayoritas. Di
Pekanbaru, perantau Minang berjumlah 37,7% dari seluruh penduduk kota, dan menjadi etnis terbesar di kota tersebut.
[47] Jumlah ini telah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 1971 yang mencapai 65%.
[48] Di kota-kota lainnya, dimana jumlah orang Minangkabau mencapai 10% atau lebih dari keseluruhan penduduk kota tersebut ialah
Takengon (25,9%),
Sigli (25,4%),
Tanjung Pinang (20%),
Binjai (16,6),
Sibolga (16,6%),
Sabang (15,9%),
Gunungsitoli (14,5%),
Tanjung Balai (13,9%),
Medan (13,5%),
Padang Sidempuan (13,3%),
Palembang (10%), dan
Jakarta (10%).
[49]
Gelombang rantau
Merantau pada etnis Minang telah berlangsung cukup lama. Sejarah mencatat
migrasi
pertama terjadi pada abad ke-7, di mana banyak pedagang-pedagang emas
yang berasal dari pedalaman Minangkabau melakukan perdagangan di muara
Jambi, dan terlibat dalam pembentukan
Kerajaan Malayu.
[50]
Migrasi besar-besaran terjadi pada abad ke-14, dimana banyak keluarga
Minang yang berpindah ke pesisir timur Sumatera. Mereka mendirikan
koloni-koloni dagang di
Batubara,
Pelalawan, hingga melintasi selat ke
Penang dan
Negeri Sembilan,
Malaysia.
Bersamaan dengan gelombang migrasi ke arah timur, juga terjadi
perpindahan masyarakat Minang ke pesisir barat Sumatera. Di sepanjang
pesisir ini perantau Minang banyak bermukim di
Meulaboh,
Aceh tempat keturunan Minang dikenal dengan sebutan
Aneuk Jamee;
Barus,
Natal, hingga
Bengkulu.
[51] Setelah
Kesultanan Malaka jatuh ke tangan
Portugis pada tahun 1511, banyak keluarga Minangkabau yang berpindah ke
Sulawesi Selatan. Mereka menjadi pendukung
kerajaan Gowa,
sebagai pedagang dan administratur kerajaan. Datuk Makotta bersama
istrinya Tuan Sitti, sebagai cikal bakal keluarga Minangkabau di
Sulawesi.
[52] Gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika Minangkabau mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasan
Kerajaan Siak.
Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, migrasi besar-besaran kembali terjadi pada tahun
1920, ketika perkebunan
tembakau di
Deli Serdang,
Sumatera Timur mulai dibuka. Pada masa kemerdekaan, Minang perantauan banyak mendiami kota-kota besar di
Jawa, pada tahun
1961
jumlah perantau Minang terutama di kota Jakarta meningkat 18,7 kali
dibandingkan dengan tingkat pertambahan penduduk kota itu yang hanya 3,7
kali,
[53] dan pada tahun
1971 etnis ini diperkirakan telah berjumlah sekitar 10 % dari jumlah penduduk Jakarta waktu itu.
[54] Kini Minang perantauan hampir tersebar di seluruh dunia.
Perantauan intelektual
Pada akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang yang merantau ke
Mekkah
untuk mendalami agama Islam, di antaranya Haji Miskin, Haji Piobang,
dan Haji Sumanik. Setibanya di tanah air, mereka menjadi penyokong kuat
gerakan
Paderi dan menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni di seluruh Minangkabau dan
Mandailing. Gelombang kedua perantauan ke Timur Tengah terjadi pada awal abad ke-20, yang dimotori oleh
Abdul Karim Amrullah,
Tahir Jalaluddin,
Muhammad Jamil Jambek, dan
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Selain ke Timur Tengah, pelajar Minangkabau juga banyak yang merantau ke
Eropa. Mereka antara lain
Abdoel Rivai,
Mohammad Hatta,
Sutan Syahrir,
Roestam Effendi, dan Nazir Pamuntjak. Intelektual lain,
Tan Malaka,
hidup mengembara di delapan negara Eropa dan Asia, membangun jaringan
pergerakan kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang tersebut, yang
merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi pejuang kemerdekaan
dan pendiri Republik Indonesia.
[55]
Sebab merantau
Faktor budaya
Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya
ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan
harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam
hal ini cukup kecil. Selain itu, setelah masa akil baligh para pemuda
tidak lagi dapat tidur di rumah orang tuanya, karena rumah hanya
diperuntukkan untuk kaum perempuan beserta suaminya, dan anak-anak.
Para perantau yang pulang ke kampung halaman, biasanya akan
menceritakan pengalaman merantau kepada anak-anak kampung. Daya tarik
kehidupan para perantau inilah yang sangat berpengaruh di kalangan
masyarakat Minangkabau sedari kecil. Siapa pun yang tidak pernah mencoba
pergi merantau, maka ia akan selalu diperolok-olok oleh teman-temannya.
[41]
Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau.
Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena
alasan ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier dan
melanjutkan pendidikan.
Menurut
Rudolf Mrazek, sosiolog
Belanda,
dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-parokialisme
melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas,
hal ini menyebabkan tertanamnya budaya merantau pada masyarakat
Minangkabau.
[56] Semangat untuk mengubah nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang mengatakan
Karatau madang dahulu, babuah babungo alun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun (lebih baik pergi merantau karena dikampung belum berguna) mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi merantau sedari muda.
Faktor ekonomi
Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi
dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil
pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat
menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi
penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi
kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain
itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan
dan pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang
Minang pergi merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan
pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih
dahulu di rumah
dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil.
Selain itu, perekonomian masyarakat Minangkabau sejak dahulunya telah
ditopang oleh kemampuan berdagang, terutama untuk mendistribusikan
hasil bumi mereka. Kawasan pedalaman Minangkabau, secara
geologis memiliki cadangan bahan baku terutama
emas,
tembaga,
timah,
seng,
merkuri, dan
besi, semua bahan tersebut telah mampu diolah oleh mereka.
[57] Sehingga julukan
suvarnadvipa (pulau emas) yang muncul pada cerita legenda di
India sebelum Masehi, kemungkinan dirujuk untuk pulau Sumatera karena hal ini.
[58]
Pedagang dari
Arab
pada abad ke-9, telah melaporkan bahwa masyarakat di pulau Sumatera
telah menggunakan sejumlah emas dalam perdagangannya. Kemudian
dilanjutkan pada abad ke-13 diketahui ada raja di Sumatera yang
menggunakan mahkota dari emas.
Tomé Pires
sekitar abad ke-16 menyebutkan, bahwa emas yang diperdagangangkan di
Malaka, Panchur (Barus), Tico (Tiku) dan Priaman (Pariaman), berasal
dari kawasan pedalaman Minangkabau. Disebutkan juga kawasan Indragiri
pada sehiliran
Batang Kuantan di pesisir timur Sumatera, merupakan pusat pelabuhan dari raja Minangkabau.
[59]
Dalam prasasti yang ditinggalkan oleh
Adityawarman disebut bahwa dia adalah penguasa bumi emas. Hal inilah menjadi salah satu penyebab, mendorong
Belanda membangun pelabuhan di
Padang[60] dan sampai pada abad ke-17 Belanda masih menyebut
yang menguasai emas kepada raja
Pagaruyung.
[61]
Kemudian meminta Thomas Diaz untuk menyelidiki hal tersebut, dari
laporannya dia memasuki pedalaman Minangkabau dari pesisir timur
Sumatera dan dia berhasil menjumpai salah seorang raja Minangkabau waktu
itu (Rajo Buo), dan raja itu menyebutkan bahwa salah satu pekerjaan
masyarakatnya adalah pendulang emas.
[62]
Sementara itu dari catatan para geologi Belanda, pada sehiliran
Batanghari dijumpai 42 tempat bekas penambangan emas dengan kedalaman mencapai 60 m serta di
Kerinci waktu itu, mereka masih menjumpai para pendulang emas.
[63] Sampai abad ke-19, legenda akan kandungan emas pedalaman Minangkabau, masih mendorong
Raffles untuk membuktikannya, sehingga dia tercatat sebagai orang Eropa pertama yang berhasil mencapai
Pagaruyung melalui pesisir barat Sumatera.
[64]
Faktor perang
Beberapa peperangan juga menimbulkan gelombang perpindahan masyarakat Minangkabau terutama dari daerah konflik, setelah
perang Padri,
[23] muncul pemberontakan di Batipuh menentang tanam paksa Belanda, disusul pemberontakan
Siti Manggopoh menentang
Belasting dan pemberontakan komunis tahun
1926-
1927.
[65] Setelah kemerdekaan muncul
PRRI yang juga menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran masyarakat Minangkabau ke daerah lain.
[54]
Dari beberapa perlawanan dan peperangan ini, memperlihatkan karakter
masyarakat Minang yang tidak menyukai penindasan. Mereka akan melakukan
perlawanan dengan kekuatan fisik, namun jika tidak mampu mereka lebih
memilih pergi meninggalkan kampung halaman (merantau).
Orang Sakai berdasarkan cerita turun temurun dari para tetuanya menyebutkan bahwa mereka berasal dari Pagaruyung.
[66] Orang Kubu
menyebut bahwa orang dari Pagaruyung adalah saudara mereka. Kemungkinan
masyarakat terasing ini termasuk masyarakat Minang yang melakukan
resistansi dengan meninggalkan kampung halaman mereka karena tidak mau
menerima perubahan yang terjadi di negeri mereka.
De Stuers sebelumnya juga melaporkan bahwa masyarakat
Padangsche Bovenlanden
sangat berbeda dengan masyarakat di Jawa, di Pagaruyung ia menyaksikan
masyarakat setempat begitu percaya diri dan tidak minder dengan orang
Eropa. Ia merasakan sendiri, penduduk lokal lalu lalang begitu saja
dihadapannya tanpa ia mendapatkan perlakuan istimewa, malah ada penduduk
lokal meminta rokoknya, serta meminta ia menyulutkan api untuk rokok
tersebut.
[43]
Merantau dalam sastra
Fenomena merantau dalam masyarakat Minangkabau, ternyata sering
menjadi sumber inspirasi bagi para pekerja seni, terutama sastrawan.
Hamka, dalam novelnya
Merantau ke Deli, bercerita tentang pengalaman hidup perantau Minang yang pergi ke
Deli dan menikah dengan perempuan Jawa. Novelnya yang lain
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
juga bercerita tentang kisah anak perantau Minang yang pulang kampung.
Di kampung, ia menghadapi kendala oleh masyarakat adat Minang yang
merupakan
induk bakonya sendiri. Selain novel karya Hamka, novel karya
Marah Rusli,
Siti Nurbaya dan
Salah Asuhannya
Abdul Muis
juga menceritakan kisah perantau Minang. Dalam novel-novel tersebut,
dikisahkan mengenai persinggungan pemuda perantau Minang dengan adat
budaya Barat. Novel
Negeri 5 Menara karya
Ahmad Fuadi,
mengisahkan perantau Minang yang belajar di pesantren Jawa dan akhirnya
menjadi orang yang berhasil. Dalam bentuk yang berbeda, lewat karyanya
yang berjudul
Kemarau,
A.A Navis mengajak masyarakat Minang untuk membangun kampung halamannya yang banyak di tinggal pergi merantau.
Novel yang bercerita tentang perantau Minang tersebut, biasanya
berisi kritik sosial dari penulis kepada adat budaya Minang yang kolot
dan tertinggal. Selain dalam bentuk novel, kisah perantau Minang juga
dikisahkan dalam film
Merantau karya sutradara
Inggris,
Gareth Evans.
Orang Minangkabau dan kiprahnya
Orang Minang terkenal sebagai kelompok yang terpelajar, oleh sebab
itu pula mereka menyebar di seluruh Indonesia bahkan manca-negara dalam
berbagai macam profesi dan keahlian, antara lain sebagai politisi,
penulis, ulama, pengajar, jurnalis, dan
pedagang.
Berdasarkan jumlah populasi yang relatif kecil (2,7% dari penduduk
Indonesia), Minangkabau merupakan salah satu suku tersukses dengan
banyak pencapaian.
[26] Majalah Tempo dalam edisi khusus tahun 2000 mencatat bahwa 6 dari 10 tokoh penting Indonesia di abad ke-20 merupakan orang Minang.
[67] 3 dari 4 orang pendiri Republik Indonesia adalah putra-putra Minangkabau.
[68][69]
Keberhasilan dan kesuksesan orang Minang banyak diraih ketika berada
di perantauan. Sejak dulu mereka telah pergi merantau ke berbagai daerah
di
Jawa,
Sulawesi,
semenanjung Malaysia,
Thailand,
Brunei, hingga
Philipina. Pada tahun 1390, Raja Bagindo mendirikan
Kesultanan Sulu di Filipina selatan.
[70] Pada abad ke-14 orang Minang melakukan migrasi ke
Negeri Sembilan, Malaysia dan mengangkat raja untuk negeri baru tersebut dari kalangan mereka.
Raja Melewar merupakan raja pertama Negeri Sembilan yang diangkat pada tahun
1773.
Di akhir abad ke-16, ulama Minangkabau Tuanku Tunggang Parang, Dato Ri
Bandang, Dato Ri Patimang, dan Dato Ri Tiro, menyebarkan Islam di
Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, hingga sebagian Indonesia
timur. Misalnya seperti Dato Makuta, Tuanku Tunggang Parang dan Dato Ri
Bandang mengislamkan
kerajaan Gowa
di Sulawesi Selatan. Dato Karama mengislamkan sebagian wilayah Sulawesi
Tengah. Dato Ri Tiro mengislamkan Makassar di Sulawesi Selatan dan Bima
di Pulau Sumbawa. Setelah huru-hara pada
Kesultanan Johor, pada tahun 1723 putra
Pagaruyung yang bergelar
Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I yang sebelumnya juga merupakan
Sultan Johor mendirikan
Kerajaan Siak di daratan Riau.
[71]
Kedatangan reformis Muslim yang menuntut ilmu di
Kairo dan
Mekkah memengaruhi sistem pendidikan di Minangkabau. Sekolah Islam modern
Sumatera Thawalib dan
Diniyah Putri banyak melahirkan aktivis yang banyak berperan dalam proses kemerdekaan, antara lain
A.R Sutan Mansur,
Siradjuddin Abbas, dan Djamaluddin Tamin.
Pada periode 1920 - 1960, banyak politisi Indonesia berpengaruh lahir
dari ranah Minangkabau. Menjadi salah satu motor perjuangan kemerdekaan
Asia, pada tahun 1923
Tan Malaka terpilih menjadi wakil
Komunis Internasional untuk wilayah Asia Tenggara. Politisi Minang lainnya
Muhammad Yamin, menjadi pelopor
Sumpah Pemuda yang mempersatukan seluruh rakyat
Hindia-Belanda. Di dalam
Volksraad, politisi asal Minang-lah yang paling vokal. Mereka antara lain
Jahja Datoek Kajo,
Agus Salim, dan Abdul Muis. Tokoh Minang lainnya
Mohammad Hatta, menjadi ko-proklamator kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan, empat orang Minangkabau duduk sebagai perdana menteri (
Sutan Syahrir, Mohammad Hatta,
Abdul Halim,
Muhammad Natsir), seorang sebagai presiden (
Assaat), seorang sebagai wakil presiden (Mohammad Hatta), seorang menjadi pimpinan parlemen (
Chaerul Saleh), dan puluhan yang menjadi menteri, di antara yang cukup terkenal ialah
Azwar Anas,
Fahmi Idris, dan
Emil Salim. Emil bahkan menjadi orang Indonesia terlama yang duduk di kementerian RI. Minangkabau, salah satu dari dua etnis selain etnis
Jawa, yang selalu memiliki wakil dalam setiap kabinet pemerintahan Indonesia. Selain di pemerintahan, pada masa
Demokrasi liberal
parlemen Indonesia didominasi oleh politisi Minang. Mereka tergabung
kedalam aneka macam partai dan ideologi, islamis, nasionalis, komunis,
dan sosialis.
Di samping menjabat gubernur provinsi Sumatera Tengah/Sumatera Barat,
orang-orang Minangkabau juga duduk sebagai gubernur provinsi lain di
Indonesia. Mereka adalah
Datuk Djamin (
Jawa Barat),
Daan Jahja (
Jakarta), Muhammad Djosan dan Muhammad Padang (
Maluku), Anwar Datuk Madjo Basa Nan Kuniang dan Moenafri (
Sulawesi Tengah),
Adenan Kapau Gani (
Sumatera Selatan), Eni Karim (
Sumatera Utara), serta Djamin Datuk Bagindo (
Jambi).
[72]
Beberapa partai politik Indonesia didirikan oleh politisi Minang. PARI dan
Murba didirikan oleh Tan Malaka,
Partai Sosialis Indonesia oleh Sutan Sjahrir, PNI Baru oleh Mohammad Hatta,
Masyumi oleh Mohammad Natsir,
Perti oleh
Sulaiman ar-Rasuli, dan
Permi oleh
Rasuna Said.
Selain mendirikan partai politik, politisi Minang juga banyak
menghasilkan buku-buku yang menjadi bacaan wajib para aktifis
pergerakan. Buku-buku bacaan utama itu antara lain,
Naar de Republiek Indonesia,
Madilog, dan
Massa Actie karya Tan Malaka,
Alam Pikiran Yunani dan
Demokrasi Kita karya Hatta,
Fiqhud Dakwah dan
Capita Selecta karya Natsir, serta
Perjuangan Kita karya Sutan Sjahrir.
Penulis Minang banyak memengaruhi perkembangan bahasa dan sastra
Indonesia. Mereka mengembangkan bahasa melalui berbagai macam karya
tulis dan keahlian.
Marah Rusli,
Abdul Muis,
Idrus,
Hamka, dan
A.A Navis berkarya melalui penulisan novel.
Nur Sutan Iskandar novelis Minang lainnya, tercatat sebagai penulis novel Indonesia yang paling produktif.
Chairil Anwar dan
Taufik Ismail berkarya lewat penulisan puisi. Serta
Sutan Takdir Alisjahbana,
novelis sekaligus ahli tata bahasa, melakukan modernisasi bahasa
Indonesia sehingga bisa menjadi bahasa persatuan nasional. Novel-novel
karya sastrawan Minang seperti
Siti Nurbaya,
Salah Asuhan,
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,
Layar Terkembang, dan
Robohnya Surau Kami telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia dan Malaysia.
Selain melalui karya sastra, pengembangan bahasa Indonesia banyak pula dilakukan oleh jurnalis Minang. Mereka antara lain
Djamaluddin Adinegoro,
Rosihan Anwar, dan
Ani Idrus. Di samping
Abdul Rivai yang dijuluki sebagai Perintis Pers Indonesia,
Rohana Kudus yang menerbitakan
Sunting Melayu, menjadi wartawan sekaligus pemilik koran wanita pertama di Indonesia.
Di Indonesia dan Malaysia, disamping orang
Tionghoa,
orang Minang juga terkenal sebagai pengusaha ulung. Banyak pengusaha
Minang sukses berbisnis di bidang perdagangan tekstil, rumah makan,
perhotelan, pendidikan, dan rumah sakit. Di antara figur pengusaha
sukses adalah,
Abdul Latief (pemilik
TV One),
Basrizal Koto (pemilik peternakan sapi terbesar di Asia Tenggara),
Hasyim Ning (pengusaha perakitan mobil pertama di Indonesia), dan
Tunku Tan Sri Abdullah (pemilik
Melewar Corporation Malaysia).
Banyak pula orang Minang yang sukses di dunia hiburan, baik sebagai
sutradara, produser, penyanyi, maupun artis. Sebagai sutradara dan
produser ada
Usmar Ismail,
Asrul Sani,
Djamaludin Malik, dan
Arizal.
Arizal bahkan menjadi sutradara dan produser film yang paling banyak
menghasilkan karya. Sekurang-kurangnya 52 film dan 8 sinetron dalam
1.196 episode telah dihasilkannya. Film-film karya sineas Minang,
seperti
Lewat Djam Malam,
Gita Cinta dari SMA,
Naga Bonar,
Pintar Pintar Bodoh, dan
Maju Kena Mundur Kena, menjadi film terbaik yang banyak digemari penonton.
Pemeran dan penyanyi Minang yang terkenal beberapa di antaranya adalah
Ade Irawan,
Dorce Gamalama,
Eva Arnaz,
Nirina Zubir, dan
Titi Sjuman. Pekerja seni lainnya, ratu kuis
Ani Sumadi, menjadi pelopor dunia perkuisan di Indonesia. Karya-karya beliau seperti kuis
Berpacu Dalam Melodi,
Gita Remaja,
Siapa Dia, dan
Tak Tik Boom menjadi salah satu acara favorit keluarga Indonesia. Di samping mereka,
Soekarno M. Noer beserta putranya
Rano Karno, mungkin menjadi pekerja hiburan paling sukses di Indonesia, baik sebagai aktor maupun sutradara film. Pada tahun 1993,
Karno's Film
perusahaan film milik keluarga Soekarno, memproduksi film seri dengan
peringkat tertinggi sepanjang sejarah perfilman Indonesia,
Si Doel Anak Sekolahan.
Di luar negeri, orang Minangkabau juga dikenal kontribusinya. Di Malaysia dan Singapura, antara lain
Tuanku Abdul Rahman (
Yang Dipertuan Agung pertama Malaysia),
Yusof bin Ishak (presiden pertama
Singapura),
Zubir Said (komposer lagu kebangsaan Singapura
Majulah Singapura),
Sheikh Muszaphar Shukor (astronot pertama Malaysia),
Tahir Jalaluddin Al-Azhari, dan
Adnan bin Saidi. Di negeri
Belanda,
Roestam Effendi yang mewakili Partai Komunis Belanda, menjadi satu-satunya orang Indonesia yang pernah duduk sebagai anggota parlemen.
[73] Di
Arab Saudi, hanya
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, orang non-
Arab yang pernah menjadi imam besar
Masjidil Haram,
Mekkah.
silahkan anda Copy paste artikel diatas
tapi kalau anda tidak keberatan cantumkan sumber dengan linkback ke blog ini.
terimakasih....!!!