Syekh Siti Jenar Menyatu Dengan Dzat (Ajal) Syahdan di tepi jalan perkampungan Negeri Demak, seorang lelaki paruh baya berjalan dengan tenang. Wajahnya putih memancarkan cahaya, janggut serta cambang berwarna kebiruan. Rambut dikepalanya tertutup blangkon berwarna hitam garis pinggir merah menyala, begitu juga sorban, gamis dan jubahnya dengan latar hitam bercorak merah. Lelaki paruh baya itu bertubuh sedang, berjalan tenang, lengan kanannya menggenggam tasbih seraya mulutnya komat-kamit mengumandangkan dzikir. Pada kelokan jalan sunyi yang dihiasi semak belukar dan pepohonan kanan kirinya, tiba-tiba muncul tiga orang lelaki berpakaian serba hitam dengan ikat kepala, bertubuh kekar seraya menghadang. “Berhenti kisanak!” Lelaki bertubuh kekar dan berkumis tebal menyilangkan golok didepan dadanya. “Mengapa saya harus berhenti? Bukankah jalan ini milik Allah? Siapapun punya hak untuk menggunakannya.” ujar lelaki berjubah. “Saya tidak mengerti Allah! Pokoknya kamu harus berhenti,” ujarnya lagi. “Saya sekarang sudah berhenti. Apa yang akan kisanak lakukan pada saya? Apakah akan menebas batang leher saya dengan golok itu?” tanya lelaki berjubah dengan tenang. “Benar, saya akan menebas batang leher kisanak jika tidak menyerahkan uang dan emas yang kisanak miliki.” ancam lelaki berkumis. “Kenapa, kisanak mesti berbuat seperti itu jika hanya menginginkan uang dan emas. Tidakkah uang dan emas itu hanya hiasan dunia yang tidak memiliki arti hakiki bagi kisanak.” ujar lelaki berjubah. “Jangan banyak bicara, kisanak! Ayo serahkan uang dan emas pada kami, jika leher kisanak tidak mau kami penggal! Rupanya ki sanak belum mengenal saya Ki Kebo Benowo, rampok hebat di dusun ini!” ucapnya. “Saya tidak mengenal, kisanak. Bukankah kita baru hari ini bertemu? Lalu kisanak mengancam saya untuk memenggal leher dan meminta uang dan emas. Maka untuk itu saya persilahkan jika itu keinginan kisanak. Penggalah leher saya dan …” ujar lelaki berjubah tetap tenang. “Keparat! Mampus kau!” Ki Kebo Benowo bersama ketiga temannya menerjang lelaki berjubah seraya membabatkan golok ke leher, pinggang, dan dada lawan. Lelaki berjubah tidak bergeming melihat sambaran golok yang akan mencincang tubuhnya, tetap berdiri pada tempatnya dengan dzikir dari mulutnya terdengar pelan. Ketiga golok tidak pelak lagi menghantam sasaran. Namun tidak meninggalkan bekas sedikit pun. Golok yang dihunjamkan ke tiga rampok laksana membabat angin, tidak bisa melukai, bahkan menyentuh. “Aneh…manusiakah?” Ki Kebo Benowo, menghentikan serangan. Seraya berdiri tegak, matanya terbelalak heran, napasnya tersengal-sengal berat. Kedua temannya melongo. “Di dunia ini tidak ada yang aneh kisanak. Bukakankah Hyiang Widi itu telah menyatu dengan kita?” ujar lelaki berjubah. “Hyiang Widi?” Ki Kebo Benowo paham. Sebab pernah mengenal agama Hindu sebelumnya. “Lalu siapakah nama kisanak?” “Saya, Syekh Siti Jenar. Kisanak, keinginan yang pertama telah saya penuhi, memenggal. Keinginan kedua uang dan emas menengoklah ke sebrang jalan. Saya permisi.” Syekh Siti Jenar membalikan tubuhnya dan meneruskan langkah. Ki Kebo Benowo beserta ketiga temanya, lalu melirik ke sebrang jalan. Betapa tercengangnya mereka, karena melihat pohon emas dan uang. “Emas dan uang, ayo kita ambil!” ketiganya bersorak, lalu memburu sebrang jalan. ——————- Kebo Benowo dan kedua temannya sibuk memunguti daun emas. Seluruhnya diambil dan dibungkus dengan kain. “Hahaha, kita pasti kaya dalam waktu singkat.” tawa Kebo Benowo. “Ki, tidakkah kita aneh pada kejadian ini?” tanya Loro Gempol. “Benar juga? Dia bisa menciptakan emas dan uang juga memiliki kesaktian yang sangat hebat.” Kebo Benowo membalikan tubuhnya, matanya mengintai ke tempat Syeh Siti Jenar berdiri. “E,eh, kemana orang tadi?” “O, ya? Masa dia bisa menghilang?” Loro Gempol mengerutkan dahi, tangannya garuk-garuk kepala. “Manusiakah dia? Makhluk halus?” Kebo Benowo menarik napas dalam-dalam. “Aku rasa dia manusia sakti mandraguna. Sebaiknya kita berguru padanya agar memiliki kesaktian.” “Benar, Ki. Jika kita sudah sakti bisa menundukan semua rampok dan berada dalam perintah kita. Kalau kita sudah menguasai para rampok tentu tidak akan capek tinggal menunggu setoran.” tambah Loro Gempol. “Namun Syehk Siti Jenar menghilang? Kemana kita mesti mencari?” Lego Benongo ikut bertanya. Sedari tadi dia hanya mematung belum hilang rasa kagumnya terhadap Syeh Siti Jenar. “Kita telusuri saja jalan ini. Kemungkinan dia menuju ke pusat Kerajaan Demak,” Kebo Benowo menduga-duga. *** Syehk Siti Jenar, telah sampai ke pusat Kerajaan Demak. Langkahnya yang tenang serta penuh wibawa tidak lolos dari pandangan para prajurit penjaga keamanan. “Siapakah lelaki itu?” tanya prajurit kerempeng pada temannya yang bertubuh tambun. “Wali,” jawab si Tambun tenang. “Pakaiannya mirip wali songo, tapi saya baru kali ini melihatnya. Kita perlu menanyai dan memeriksa orang yang tidak dikenal, mungkin saja dia pemberontak yang lagi menyamar.” ucap si Kerempeng penuh curiga. “Biarkan saja, siapa tahu dia sahabatnya para wali. Buktinya dia berjalan menuju mesjid.” si Tambun tetap tenang. “Meskipun demikian kita tetap harus menjalankan tugas. Ayo kita hadang dia dan tanya maksud kedatangannya!” si Kerempeng bergegas menenteng tombak dan tameng, mengejar langkah Syekh Siti Jenar. ——————- “Berhenti, Kisanak!” teriak si Kerempeng, seraya menghadang langkah Siti Jenar dengan gagang tombak. “Kenapa kisanak menghadang saya? Bukankah saya tidak pernah mengganggu ketenangan kisanak?” tanya Syekh Siti Jenar tenang. “Meskipun demikian itu adalah tugas saya selaku prajurit Demak.” jawab si Kerempeng. “Kisanak hanyalah seorang prajurit Demak, tidak lebih hebat dari prajurit Allah. Bukakah prajurit Allah itu ada empat?” urai Syekh Siti Jenar dengan pandangan mata sejuk. “Saya tidak mengerti dengan perkataan, Kisanak?” “Bukankah jika Kisanak tidak paham akan sesuatu diharuskan bertanya. Namun tidak semestinya kisanak menunjukan kesombongan, menepuk dada karena berkasta prajurit, dan berlaku kasar terhadap rakyat seperti saya. Padahal kisanak hanyalah prajurit biasa yang lemah tidak sehebat prajurit Allah yang empat tadi.” jelas Sekh Siti Jenar. “Perkataan kisanak semakin membingungkan saya?” si Kerempeng geleng-gelengkan kepala. “Terdengarnya kisanak semakin melantur saja. Mana ada prajurit Allah empat, para Wali di sini tidak pernah mengajarkan seperti itu.” si Kerempeng semakin mengerutkan dahinya. “Jika para wali tidak mengajarkan, maka saya akan memberitahu kisanak…” ujar Syehk Siti Jenar tersenyum. “Saya tidak mungkin mempercai kisanak, kenal juga baru sekarang. Saya lebih percaya kepada para wali yang telah mengajarkan agama dengan baik dan bisa dipahami.” si Kerempeng garuk-garuk kepala, lalu keningnya mengkerut lagi. “Apakah kisanak mesti belajar pada orang yang sudah dikenal saja? Padahal kebenaran bisa datang dari siapa saja dan dari mana saja, baik yang sudah dikenal atau pun tidak dikenal oleh kisanak. Karena ilmu Allah sangatlah luas, meski seluruh pohon yang ada didunia ini dijadikan penanya serta laut sebagai tintanya, tidak akan sanggup mencatat ilmu Allah. Sebab itu ilmu yang dimiliki manusia hanyalah sedikit. Seandainya kisanak berada di tepi samudra, lalu mencelupkan jari telunjuk, setelah itu diangkat kembali, maka tetes air yang menempel di ujung telunjuk itulah ilmu yang dimiliki kisanak.” terang Syekh Siti Jenar, seraya menatap si Kerempeng. “Jika demikian berarti kisanak sudah meremehkan saya. Padahal saya tidak bisa diremehkan oleh rakyat seperti kisanak, saya prajurit Demak sudah diberi ilmu oleh para wali. Kisanak beraninya menyebut-nyebut prajurit Allah, yang tidak pernah para wali ajarkan. Kisanak telah menciptakan ajaran yang keliru!” si Kerempeng berbicara agak keras, seraya keningnya semakin mengerut kebingungan menanggapi perkataan Syeh Siti Jenar. “Kisanak tidak bisa menganggap saya keliru, jika belum paham pada perkataan tadi.” Syekh siti Jenar tetap tenang. “Ketidak pahaman kisanak yang memicu kesombongan dan kedengkian akan sesuatu. Padahal apa pun yang saya katakan bisa dibuktikan. Prajurit Allah yang empat bisa saya datangkan dihadapan kisanak dengan keperkasaannya.” ujar Syekh Siti Jenar tersenyum tipis. “Omong kosong! Coba mana prajurit Allah yang empat tadi, buktikan jika memang ada!” si Kerempeng semakin pusing dan jengkel, giginya menggeretak. “Kisanak tidak akan kuat menghadapi empat prajurit sekaligus. Maka saya cukup datangkan satu saja, itu pun hanya sebuah pelajaran untuk kisanak.” Syekh Siti Jenar mengangkat tangan kanannya ke atas. ——————- “Mana! Ayo datangkan!” tantang si Kerempeng. “Datanglah prajurit Allah yang bernama angin, berilah dia pelajaran agar tidak angkuh dan sombong.” itulah ucapan Syekh Siti Jenar. “Akhhhh! Tolonnnggg!” si Kerempeng berteriak, seraya tubuhnya melayang di udara diterpa angin yang sangat kencang, lalu jatuh di atas semak-semak. “Itulah salah satu prajurit Allah dari empat prajurit yang lebih dahsyat.” Syehk Siti Jenar masih berdiri dengan tenang, matanya yang sejuk dan tajam memandang si Kerempeng yang kepayahan dan terbaring di atas semak. “Maafkan teman saya, Kisanak.” si Tambun mendekat penuh hormat. “Sejak tadi pun saya memaafkan teman kisanak. Namun dia tetap berlaku sombong dan menantang pada kekuasaan Allah. Sudah selayaknya diberi pelajaran agar menyadari kekeliruan.” terang Syekh Siti Jenar seraya melirik ke arah si Tambun. “Terimakasih, kisanak telah memaafkan teman saya. Bolehkah saya tahu nama kisanak?” si Tambun bertanya. “Kenapa tidak. Karena nama itu hanya sebuah sebutan, asma, dan bukan af’al. Orang menyebut saya Syekh Siti Jenar,” terang Syekh Siti Jenar tenang. “O, ya…” si Tambun mengerutkan kening mendengar ucapan yang kurang dipahaminya. “Gendut, tangkap lelaki asing itu! Dia memiliki ilmu sihir.” teriak si Kerempeng seraya bangkit dari semak-semak. “Kisanak sangat keliru jika menuduh ilmu yang saya miliki sihir. Padahal sihir itu bukanlah ilmu yang patut dipelajari oleh orang yang beragama islam. Kisanak masih belum paham, bahwa yang melempar tadi adalah prajurit Allah.” Syekh Siti Jenar menatap tajam ke arah si Kerempeng yang menghunus pedang. “Omong kosong! Kisanak datang ke Demak sudah jelas berniat menciptakan kekacauan, ditambah lagi dengan ucapan melantur dan mengada-ngada. Selayaknya kisanak kami tangkap!” si Kerempeng mendekat, ujung pedang yang terhunus ditujukan ke leher Syekh Siti Jenar. “Jika ingin menangkap tangkaplah saya. Janganlah sekali-kali kisanak mengancam saya dengan ujung pedang, karena pedang hanyalah buatan manusia yang tidak berdaya. Berbeda dengan wujud kita yang diciptakan Allah….” Syekh Siti Jenar tetap berdiri tenang, meski ujung pedang yang tajam berjarak sejengkal lagi menuju leher. “Pedang ini jangan kisanak remehkan! Tidakkah takut seandainya pedang ini memenggal leher kisanak? Satu kali tebasan saja, leher kisanak sudah putus.” ancam si Kerempeng. “Tidak mungkin kisanak. Sebab pedang bukan prajurit Allah, hanyalah sebuah benda mati.” Sekh Siti Jenar tetap tidak bergeming. “Keparat, lihat saja!” si Kerempeng mengayunkan pedang dibarengi dengan emosi, pedang tidak pelak lagi menghantam sasaran, sebab Syekh Siti Jenar tidak menghindar sedikit pun. ——————- “Hentikan!” si Tambun berteriak, matanya terbelalak. “Diam kamu prajurit!” tiba-tiba terdengar suara yang menggetarkan, beberapa saat kemudian muncul sosok lelaki berjubah hitam, mengenakan blangkon. “Kanjeng Sunan Kalijaga,” si Tambun menahan kedip. Kemunculan Sunan Kalijaga yang baru keluar dari mesjid Demak sangat mengagetkan. Padahal Sunan Kalijaga tidak berbuat apa-apa hanya berteriak tidak terlalu keras, tapi si Kerempeng mematung sambil mengayunkan pedang. “Hebat Kanjeng Sunan…” si Tambun menggeleng-gelengan kepala seraya menarik nafas dalam-dalam. “Selamat datang saudaraku, maafkan kelancangan prajurit Demak yang kurang memahami sopan-santun.” Sunan Kalijaga menatap Syekh Siti Jenar yang tidak bergeming. “Tidak memilikinya sopan-santun karena keterbatasan ilmu dan kedangkalan pengetahuan.” “Benar, Sunan.” tatapan Syekh Siti Jenar beradu dengan mata Sunan Kalijaga yang sejuk dan berwibawa, lalu menembus ke dalam batin. Maka berbincanglah mereka melalui batin. Sejenak keduanya saling tatap, lantas terlihat ada senyum tipis yang tersungging. Lalu saling peluk dan saling tepuk bahu. Setelah itu terlihat gerakan tangan Sunan Kalijaga mempersilahkan tamunya untuk menuju masjid. Prajurit Tambun mengerutkan dahi, “Apa yang sedang mereka bicarakan? Kenapa berbincang-bincang tanpa suara? Mungkinkah dengan saling menatap saja bisa berbincang-bincang?” “Sudahlah Saudaraku sesama muslim, kita berbicara secara lahiryah saja, sebab akan membingungkan orang yang melihat.” ujar Sunan Kalijaga, seraya berjalan berdampingan menuju masjid Demak. “Baiklah, Sunan.” Syekh Siti Jenar mengamini. “Ilmu apa yang mereka miliki?” si Tambun mengikuti langkah keduanya dengan tatapan mata, hingga menghilang di balik pintu gerbang masjid Demak. Lalu tatapan matanya berputar ke arah temannya yang baru saja bisa menggerakan tubuhnya. “Gendut, kenapa aku tidak bisa bergerak waktu terjadi pertemuan antara Kanjeng Sunan dan tukang sihir.” si Kerempeng mengelus dada, sambil menyarungkan lagi pedang ditempatnya. Kemudian duduk, setengah menjatuhkan pantatnya di atas ruput hijau, kakinya dilentangkan, nafasnya ditarik dalam-dalam. “Itu semua pengaruh ilmu yang mereka miliki. Kita sebagai prajurit biasa tidak mungkin bisa mencapai ilmu para wali. Berbincang-bincang juga cukup dengan tatapan mata, orang lain tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Sangat hebat.” si Tambun garuk-garuk kepala. Otaknya tidak sanggup memikirkan, apalagi menganalisis perilaku Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga. “Gendut, sebenarnya apa yang tadi terjadi ketika saya jadi patung?” si Kerempeng masih belum paham. “Kenapa si tukang sihir itu disambut baik oleh Kanjeng Sunan Kalijaga? Bukakah kita tidak boleh mempelajari apalagi mengamlakan ilmu sihir, hukumnya musrik!” si Kerempeng memijit-mijit keningnya. “Tentu saja, sihir itu musrik dan tidak boleh dipelajari. Hanya saya tidak yakin kalau yang dimiliki oleh Syekh Siti Jenar itu ilmu sihir.” jawab si Tambun, mencoba memprediksi. “Lantas ilmu apalagi kalau bukan sihir? Lagi pula pembicaraannya melantur. Dia bilang Allah saja punya prajurit, itu aneh. Para Wali saja tidak pernah mengajarkan.” si Kerempeng garuk-garuk kepala. “Sudahlah, kita tidak boleh berburuk sangka! Mungkin ilmu yang kita miliki belum cukup untuk memahami Syekh Siti Jenar.” terang si Tambun, seakan tidak peduli. *** “Silahkan masuk saudaraku, inilah masjid tempat kami berkumpul dan beribadah.” ujar Sunan Kalijaga, seraya mendapingi Syekh Siti Jenar memasuki masjid Demak. ——————- “Terimakasih,” Syehk Siti Jenar berjalan berdampingan dengan Sunan Kalijaga menuju ruangan tengah masjid, menghampiri wali delapan yang sedang berkumpul. “Selamat datang, Syekh.” sambut Sunan Bonang, menyodorkan kedua tangannya menyalami. “Silahkan,” “Siapakah Syekh ini?” tanya Sunan Muria. Syekh Siti Jenar tidak menjawab, lalu menatap mata Sunan Kalijaga, menembus batinnya, seraya berbincang dengan batin. ‘Syekh, tidak seharusnya kisanak berbicara pada wali yang lain menggunakan batin. Pergunakanlah lahiryah kisanak, karena mereka bukan saya.’ ujar batin Sunan Kalijaga. ‘Saya kira mereka sama dengan kisanak. Jika demikian berarti mata batin mereka tuli dan buta. Hanya saudara Sunan yang paham batin saya. Baiklah jika saya harus berujar secara lahiryah, laksana orang-orang yang tidak paham pada dirinya dan….’ ‘Sudahlah, Syekh saudaraku. Batin kita tidak harus berbicara seperti itu. Karena mereka bukan kita, kita bukan mereka. Punya cara masing-masing untuk memahami tentang wujud, maujud dan Allah. Mereka berlaku layaknya orang kebanyakan.’ “Apa yang sedang saudara bicarakan Sunan Kalijaga dan Syehk Siti Jenar? Sebaiknya kita kembali pada alam lahiriyah.” Sunan Bonang memecah keheningan. “Sebab yang hadir disini bukan hanya saudara berdua, ada yang lainnya.” “Baiklah Kanjeng Sunan Bonang.” ujar Syekh Siti Jenar. Lalu dia duduk bersila disamping Sunan Kalijaga. “Siapakah sebenarnnya Syekh ini? Apakah termasuk para wali seperti kita-kita ini?” tanya Sunan Gunung Jati. “Saya Syekh Siti Jenar…” lalu melirik ke arah Sunan Kalijaga, seraya kembali ingin berbincang menggunakan batin. ‘Jangan, berbicaralah secara lahiryah.’ itu jawaban batin Sunan Kalijaga. Syekh Siti Jenar mengangguk, seraya meneruskan perkataannya,”..saya hanya manusia biasa dan rakyat jelata. Namun saya secara tidak sengaja mendengar perbincangan Kanjeng Sunan Bonang dan Kanjeng Sunan Kalijaga ketika di atas perahu. Waktu itu Kanjeng Sunan Bonang sedang mengamalkan ilmu ’saciduh metu saucaping nyata’…” “Ilmu apa itu Kanjeng Sunan Bonang?” tanya Sunan Gunung Jati, melirik ke arah Sunan Bonang. “Ilmu ‘kun payakun’, jadilah, maka jadi. Apa pun yang diucapkan akan mewujud atau jadi.” terang Sunan Bonang. “…benar. Ketika itu wujud saya berupa seekor cacing tanah. Setelah mendengar wirid ilmu tadi,lalu saya amalkan, seketika wujud saya berubah menjadi sekarang ini. Maka wajar jika saya pun disebut Syekh Lemah Abang. Cacing tadi terbungkus tanah berwarna merah, hingga saat ini saya pun masih memiliki ilmu tadi serta sekaligus mempelajari Islam secara mendalam. Ilmu Islam yang saya pelajari sudah diluar dugaan, mencapai tahap ma’rifat, tidak terduga. Namun saya tetap bukan seorang wali seperti saudara-saudaraku yang berkumpul hari ini. Saya hanyalah rakyat jelata dari pedesaan yang berada di wilayah kekuasaan kerajaan Demak Bintoro.” Syekh Siti Jenar menerangkan. “Andika tidak dianggap sebagai seorang wali karena asal-usul yang kurang jelas.” ucap Sunan Giri. “Saya bukan orang yang memiliki ambisi dan gila gelar, hanya untuk mendapat sebutan wali. Hingga saya pun menganggap bahwa diri saya hanyalah manusia biasa dan lahir sebagai rakyat kebanyakan. Namun kisanak menyebutkan tanpa asal-usul yang jelas. Padahal yang namanya manusia jelas memiliki asal-usul, jika menganggap bahwa manusia ada yang tidak memili asal-usul berarti kisanak tidak memahami siapa diri kisanak sebenarnya? Dari mana asal kisanak?” ujar Sekh Siti Jenar. “Andika jangan memutar balikan ucapan dan bermain kata-kata!” suara Sunan Giri meninggi. ‘Syekh,’ Sunan Kalijaga menatap Syekh Siti Jenar, seraya berbicara dengan batin. ‘Saudaraku sebaiknya memaklumi keadaan secara lahiryah yang terjadi sekarang ini…’ ‘Baiklah,’ batin Syekh Siti Jenar memberi jawaban. “Kanjeng Sunan Giri, sudahlah! Kita tidak harus memperbincangkan asal-usul.” Sunan Bonang memahami pembicaraan batin Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga. “Sebaiknya kita berbincang tentang upaya penyebaran agama Islam di tanah Jawa ini.” “Baiklah, Kanjeng Sunan Bonang.” Sunan Giri menyetujui. “Bukannya saya tidak ingin lama-lama berbincang-bincang dengan para wali yang agung di sini. Namun saya masih ada keperluan lain, disamping akan berusaha membantu para wali untuk menyebarkan ajaran Islam. Izinkanlah saya untuk berpamitan,” Syekh Siti Jenar bangkit dari duduknya. “Andika mesti ingat ketika menyebarkan agama Islam yang agung ini jangan sampai keluar dari aturan para wali.” ujar Sunan Giri. “Mohon maaf, Kanjeng Sunan Giri. Karena saya bukan wali, tentunya tidak terikat dengan aturan wali. Mungkin saya akan mengajarkan dan menyebarluaskan agama Islam dengan cara saya sendiri.” Syekh Siti Jenar seraya menyalami semuanya, lalu Sunan Bonang dan yang terakhir Sunan Kalijaga. ‘Saudaraku selamat berjuang, mungkin pada akhirnya kita harus bertabrakan. Namun itu secara lahiryah….’ batin Sunan Kalijaga. ‘Tidak mengapa saudaraku Kanjeng Sunan Kalijaga…itulah tujuan menuju Allah dan jalan yang berlainan.’ Syekh Siti Jenar melepaskan tangan Sunan Kalijaga, seraya membalikan tubuhnya dan keluar dari masjid Demak diantar oleh tatapan para wali yang masih berdiri. “Kanjeng Sunan Kalijaga, benar tadi batinmu berujar pada Syekh Siti Jenar.” Sunan Bonang menatap Sunan Kalijaga. “Tinggal menunggu waktu, Kanjeng. Itu semua kehendaknya..” jawab Sunan Kalijaga. “Kanjeng Sunan Bonang, Kanjeng Sunan Kalijaga, apa maksud pembicaran andika berdua?” tanya Sunan Giri. ——————- Keduanya tidak berbicara lagi, karena sudah terdengar bunyi adzan Magrib, mereka menjawab, Allahu Akbar. Diikuti yang lainnya, meski dalam hati mereka menyimpan rasa penasaran dan keingin tahuan mengenai ucapan kedua wali tadi, untuk sementara disimpanya dalam hati masing-masing. *** “Kanjeng Sunan Bonang, kayaknya kita agak kesulitan untuk menyebarkan Islam disini.” Sunan Kalijaga memandang kerumunan orang. “Kayaknya mereka lebih menyukai hura-hura dan gamelan, Kanjeng Sunan Kalijaga.” tambah Sunan Bonang, matanya memperhatikan orang yang berkerumun menju pasar seni. “Kita pun tidak perlu kalah, Kanjeng Sunan Bonang. Jika hanya mendengar kita berceramah kayaknya kurang tertarik, alangkah lebih baiknya kita pun harus mengadakan pendekatan budaya.” Sunan Kalijaga tidak melepaskan pandanganya dari kerumunan orang, lalu duduk di tepi jalan di atas batang kayu yang lapuk. “Pendekatan budaya?” Sunan Bonang mengerutkan dahinya. “Benar, pertama kita melihat sesuatu yang mereka sukai. Kedua, kita harus masuk ke dalam sistem budaya masyarakat.” Sunan Kalijaga bangkit dan membalikan tubuhnya ke arah Sunan Bonang. “Seperti yang kita perhatikan, masyarakat Jawa sangat menyukai gamelan. Untuk itu kita turuti kesenangan mereka, tidak ada salahnya membuat gamelan…” “Membuat gamelan? Maksud Kanjeng Sunan supaya mereka mengerumuni gamelan yang kita tabuh. Upaya untuk mengumpulkan orang…” ujar Sunan Bonang. “Ya, setelah mereka berkerumun karena tertarik dengan irama gamelan yang kita tabuh, disitulah kita berdakwah.”lanjut Sunan Kalijaga. “Berdakwah, orang akan bubar. Lantas mereka tidak akan pernah berkerumun lagi karena tertipu,” Sunan Bonang mengerutkan dahinya sejenak. “…maksud saya gamelan itu hanya penarik dan pembuka acara dakwah kita. Setelah itu tidak mengalun lagi….berarti selesai pertunjukan.” “O, tidak seperti itu, Kanjeng Sunan Bonang. Gamelan harus terus mengalun, ketika kita menyampaikan pesan dakwah. Caranya juga bukan seperti yang biasa dilakukan para wali sebelumnya, namun ada canda dan filsafat.” terang Sunan Kalijaga. “Maksud, Kanjeng? Jika demikian gamelan itu dijadikan sarana dakwah, bukankah itu seperti lakon, yang didalamnya diselipi pesan-pesan.” “Begitulah, Kanjeng Sunan Bonang. Namun sarana kita adalah wayang kulit. Karakter wayang yang kita ciptakan harus mencerminkan sosok orang baik, jahat, kejam, ulama, dan sebagainya. Karakter yang kita ciptakan adalah cermin lelaku kehidupan manusia.” Sunan Kalijaga, sejenak menatap awan yang melingkari puncak gunung, lalu kembali menatap lawan bicaranya. “Lelaku manusia yang berbuat baik akan menerima pahala baik, jahat pun sebaliknya. Setelah itu mereka bercermin, dalam karakter itu munculah sosok yang diteladani, yaitu karakter Kanjeng Nabi Muhammad dan para Sahabatnya.” “Tapi kita tidak boleh mencipta Kanjeng Nabi dan para sahabat agung dalam sebuah bentuk ukiran..” sela Sunan Bonang. “Tentu, dan kita tidak akan berbuat seperti itu. Namun kita akan menciptakan karakter wayang yang memiliki lelaku Islam. Rukun Islam itu ada lima, maka ciptakan lima sosok wayang berkarakter cerminan muslim. Kanjeng Nabi itu punya empat sahabat terbaik, hingga menjadi lima dengan Junjunan Alam Rasulullah. Bentuklah Pandawa Lima, cerminan dari lelaku Kanjeng Nabi dan keempat sahabat terbaiknya. Lalu karakter jahatnya kita bentuk juga dari cerminan orang-orang jahat…” ujar Sunan Kalijaga. ——————- “Benar…” Sunan Bonang mengamini. Hingga keduanya berbicara panjang lebar membahas metode berdakwah dengan menggunakan gamelan sebagai pemikat dan wayang kulit sebagai medianya. *** Matahari mulai menyelinap dibalik bukit, kirimkan sinar keemasan di langit sebelah barat. Awan berubah menjadi jingga, mengitari puncak pegunungan. Masa keemasan akan tiba seiring dengan perputaran roda kehidupan dan waktu. Lagu Ilir-ilir bergema sebelum waktu Magrib tiba, nyanyian bermakna mendalam ciptaan para wali. Rakyat menyanyikannya dengan gembira, ada yang memahmi akan makna dan maksudnya, ada pula yang masih buta akan isinya, ada pula yang hanya menikmati lirik dan syairnya saja. Bedug Magrib tiba, mereka berbondong-bondong menuju masjid Demak Bintoro untuk shalat berjamaah. Shalat Isya pun tidak mau mereka lewatkan, meski ajaran Islam belum diterima secara merata. Dakwah yang dilakukan sebagain Wali melalui media wayang kulit dan tabuhan gamelan sebagai daya tarik. Cara seperti itu benar-benar efektif bisa mengikat banyak orang berbondong-bondong memeluk agama Islam. Sunan Kalijaga melepas jubah kewalian, mengenakan pakaian serba hitam ala petani, rakyat jelata. Hingga tidak ada antara dirinya dengan rakyat. Rakyat lebih mudah didekati tanpa rasa curiga, karena Sunan Kalijaga berbaur didalamnnya. *** “Kita belum juga menemukan jejak Syekh Siti Jenar,” ujar Loro Gempol. “Bukankah dia ke arah sini?” “Tidak mungkin, saya punya keyakinan jika Syekh Siti Jenar menuju pusat Kota Demak Bintoro.” potong Kebobenowo. “Kalau betul dia menuju Kota Demak, sangatlah sulit untuk menemukannya.” Lego Benongo menghentikan langkah, lalu duduk di atas batu di tepi jalan. “Benar juga, Benongo.” Kebo Benowo mengerutkan keningnya, langkah pun terhenti sejenak, matanya menatap jalan yang masih panjang. Menarik napas dalam-dalam. “Sebaiknya kita duduk-duduk disini sambil cari makan, menunggu Syekh Siti Jenar pulang. Jika memang dia dari pusat Kota Demak Bintoro, tentulah pulangnya akan melewati jalan ini.” “Itu baru benar,” sahut Lego Benongo, langsung saja merebahkan tubuhnya di atas rumput hijau di bawah rindangnya pohon jalan. Sayap malam mulai mengembang, matahari telah menyelinap di balik bukit. Kelelawar beterbangan keluar dari sarangnya, bergembiraria menyambut datangnya malam. “Ki Benowo, hari sudah malam. Apakah kita mau tetap disini menunggu Syekh Siti Jenar?” tanya Loro Gempol bangkit dari duduknya. Kepalanya mendongak ke atas menatap langit yang mulai tampak dihiasi gemintang. “Benar juga, Gempol.” Kebo Benowo berdiri, menatap jalan yang terbentang panjang menuju pusat Kerajaan Demak Bintoro. “Lihat! Mungkinkah dia yang kita tunggu?” “Syekh Siti Jenar?” timpal Lego Benongo. “Kelihatannya Syekh Siti Jenar, Ki Benowo.” ujar Loro Gempol gembira. “Hebat, wajahnya memancarkan cahaya terang, padahal dia tidak membawa obor atau lampu.” “Saya rasa itulah kehebatan ilmu yang dimilikinya.” duga Kebo Benowo. “Kita sudah benar menemukan seorang guru.” “Tapi apa mau Syekh Siti Jenar mengangkat kita sebagai muridnya?” Loro Benongo meragukan. “Kalau tidak mau kita bunuh saja!” geram Loro Gempol. “Kamu seperti tidak ingat saja, Gempol. Bukankah Syekh Siti Jenar itu sangat sulit dilukai?” Kebo Benowo mengingatkan. “Mana mungkin kita bisa membunuh, apalagi mengancamnya agar diagkat jadi murid. Sebaiknya kita bersikap lunak pada orang yang memiliki ilmu tinggi seperti dia.” “Benar juga, Ki Benowo.” Loro Gempol mengagukan kepala. “Jika tetap tidak mau menerima kita sebagai muridnya?” “Kita coba saja dulu,” ujar Kebo Benowo. Syekh Siti Jenar telah mendekat, lalu melintas dihadapan Kebo Benowo dan kedua temannya. Syekh Siti Jenar sedikit pun tidak menyapa apalagi meliriknya, terus melangkah ke depan dengan tenang. “Syekh,” Kebo Benowo mengerjanya. “Bolehkah saya berguru?” “Mengapa mesti berguru? Kepada siapa kisanak akan berguru?” Syekh Siti Jenar tidak menghentikan langkahnya, dan tidak melirik. “Karena saya ingin memiliki ilmu. Tentu saja saya ingin berguru pada Syekh Siti Jenar.” jawab Kebo Benowo. “Mengapa harus kepada saya? Ilmu apa pula yang kisanak inginkan dari saya.” ucap Syekh Siti Jenar. “Padahal saya manusia biasa seperti kisanak, bukan pemilik ilmu dan tidak memiliki ilmu apa pun. Baik kisanak atau pun ilmu ada yang memilikinya.” “Saya tidak mengerti pada ucapan, Syekh?” Kebo Benowo mengerutkan keningnya. “Kenapa jawaban Syekh membingunkan kami?” timpal Loro Gempol. ——————- “Apanya yang membuat kisanak pada kebingungan? Saya tidak pernah membuat bingung orang lain apalagi menyusahkan orang.” Syekh Siti Jenar menghentikan langkahnya, lalu menatap ke tiga rampok tersebut. “Hanya kisanaklah yang ingin membuat susah dan menyusahkan diri sendiri.” “Apa maksud ucapan, Syekh?” ke tiga rampok hampir serempak menepuk dahinya masing-masing. Kepala seakan-akan mau pecah ketika mendengar setiap perkataan Syekh Siti Jenar. “Saya manusia biasa seperti kisanak, bukan pemilik ilmu. Bukankah kisanak sendiri dan ilmu itu ada pemiliknya? Itukah yang membuat kisanak bingung?” tatap Syekh Siti Jenar, mengulang ucapannya. “Itulah yang tidak kami pahami. Karena kami orang awam, tidak tahu segala hal yang Syekh ucapkan.” Kebo Benowo berusaha mencerna ucapan Syekh Siti Jenar. “Syekh tadi mengatakan, kalau diri Syekh adalah manusia biasa seperti saya,” “Ya,” ”Bukankah Syekh memiliki ilmu yang hebat? Sedangkan kami tidak bisa apa-apa?” ujar Kebo Benowo. ”Saya tidak memiliki ilmu yang hebat. Kisanak mengaggap tidak bisa apa-apa, itu merupakan pernyataan yang sangat keliru.” Syekh Siti Jenar diam sejenak, matanya menatap satu persatu wajah orang yang diajak bicaranya. “Kenapa tidak mau mengakui kalau diri Syekh memiliki ilmu yang hebat.” sela Kebo Benowo. Pikirannya semakin sumpek mendengar setiap perkataan Syekh Siti Jenar yang bersebrangan dengan realita yang dia pahami. “Malah pengakuan saya dianggap keliru,” “Memang benar kisanak sangat keliru.” Syekh Siti Jenar, mendongak ke atas langit, “Tataplah bintang gemintang yang ada di atas kepala kisanak nun jauh di langit.” “Apakah ada yang aneh dengan bintang-gemintang di langit?” tanya Kebo Benowo. Belum menemukan celah terang atas segala perkataan Syekh Siti Jenar, pikirannya semakin ngejelimet. “Bukan ada yang aneh atau tidak. Perhatikanlah bintang-bintang? Kenapa tidak jatuh ke bumi dan menimpa kepala kita? Pernahkah terpikir dalam benak kisanak, siapa yang menahannya di langit?” Syekh Siti Jenar kembali menatap ke tiga rampok tadi. “Benar juga. Tidak tahu. Mungkinkah kekuatan yang tidak nampak?” “Kenapa kekuatannya tidak nampak? Siapa pula yang memiliki kekuatan yang tidak nampak itu?” tanya Syekh Siti Jenar. “Saya tidak mengerti Syekh? Jika memang ada kekuatan siapa pemiliknya?” “Dialah Allah. Allah itu penguasa semesta alam. Penggenggam setiap jiwa makhluknya.” ujar Syekh Siti Jenar. “Kita kembali pada ucapan saya semula. Maksud saya itulah tadi.” “O…ya.” Kebo Benowo mengangguk-anggukan kepala, rupanya mulai ada titik terang di benaknya. “Jika demikian saya mulai terbuka dengan apa yang Syekh Siti Jenar uraikan tadi. Namun yang masih membingungkan, mengapa dianggap keliru jika saya mengatakan tidak bisa apa-apa di banding kisanak.” “Jika kisanak mengatakan tidak bisa apa-apa, tentu saja mati. Hanya orang matilah yang tidak bisa apa-apa.” terang Syekh Siti Jenar. “Benar perkataan kisanak, Syekh.” Kebo Benowo mengagguk. “Namun maksud tidak bisa apa-apa disini bahwa ilmu yang saya miliki jauh dibawah kehebatan ilmu Syekh.” “Ya,” Syekh Siti Jenar mengangguk. “Itu bukan berarti bahwa saya lebih hebat dari kisanak. Hanya kisanak belum menemukan ilmu yang saya miliki.” “Itulah yang saya inginkan dari Syekh. Beritahu saya cara menemukan ilmu tadi.” ucap Kebo Benowo. “Akan saya tunjukan. Ikutlah kisanak ke padepokan saya!” Syekh Siti Jenar membalikan tubuhnya, kemudian melangkahkan kakinya dengan tenang. “Terimaksih, Syekh.” Kebo Benowo dan kedua temannya sangat senang akan diberi ilmu hebat yang dimiliki oleh Syekh Siti Jenar. *** Walisongo terus menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Sunan Kalijaga berbeda cara dengan wali lainnya. Lebih menyukai berbaur dengan rakyat kebanyakan, tanpa mengenakan pakaian serba putih seperti yang lainnya. “Kanjeng Sunan Kalijaga, ternyata pendekatan budaya lebih bisa diterima ketimbang hanya membawa pesan belaka.” ujar Sunan Bonang. ——————- “Karena antara kita dengan mereka nyaris tidak ada jarak pemisah.” jawab Sunan Kalijaga. “Ternyata hanya dengan cara berpakaian saja, mereka sudah sulit didekati.” “Benar,” Sunan Bonang memaksakan tersenyum. “Namun dibalik keberhasilan andika ternyata menuai protes dari sebagian wali, terutama Kanjeng Sunan Giri. Hingga pada hari ini andika harus menghadap mereka dipersidangan para wali.” tambah Sunan Bonang. “Tidak mengapa Kanjeng Sunan Bonang. Itulah resiko yang harus saya tanggung. Asalkan saya tidak menyimpang dari ajaran Islam,” Sunan Kalijaga menghela napas, seraya kakinya tetap melangkah beriringan dengan Sunan Bonang. “Saya menyimpang hanya dalam soal budaya, yang semestinya tidak harus terjadi perbedaan paham seperti sekarang.” “Mungkin salah satunya itu.” Sunan Bonang mulai menginjakan kaki di gerbang masjid Demak. “Kita sudah sampai, Kanjeng.” “Silakan Kanjeng Sunan Bonang duluan,” Sunan Kalijaga memasuki masjid Demak beriringan dengan Sunan Bonang yang sudah terlebih dahulu masuk. “Selamat datang, Kanjeng Sunan Kalijaga dan Kanjeng Sunan Bonang.” ujar Sunan Muria. “Silahkan duduk, Sunan Giri dan para wali sudah menunggu.” Keadaan hening sejenak. Para wali saling tatap satu sama lainnya, tatapan Sunan Kalijaga beradu dengan Sunan Giri, lalu beralih ke Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan terakhir Sunan Bonang. Sunan Kalijaga masih beradu tatap dengan Sunan Bonang, saling menembus batin, saling bercakap. Sementara percakapan batin mereka tidak bisa ditembus oleh sebagian wali. “Pahamkah Kanjeng Sunan Kalijaga pada hari ini sidang para wali mengundang?” Sunan Giri membuka pembicaraan. “Daripada saya menduga-duga, alangkah lebih baiknya jika Kanjeng Sunan Giri menjelaskan.” ujar Sunan Kalijaga tenang. “Tidakah andika menyadari akan tindakan yang dilakukan?” Sunan Giri melanjutkan. “Haruskah andika mengganti pakaian dengan mengenakan pakaian rakyat kebanyakan?” “Itukah yang ingin Kanjeng Sunan Giri persoalkan?” tatap Sunan Kalijaga. “Benar, karena tidak selayaknya seorang wali mengenakan pakaian serba hitam seperti halnya rakyat kebanyakan. Sudah semestinya seorang ulama atau wali memiliki ciri dengan mengenakan pakaian kebesaran yang serba putih, bersorban, dan lainnya.” urai Sunan Giri. “Apakah setiap orang yang mengaku muslim akan batal keislamannya jika seandainya tidak berpakaian serba putih dan mengenakan sorban serta jubah?” tanya Sunan Kalijaga. “Tentu tidak. Selama dia tidak murtad atau keluar dari agama Islam.” jawab Sunan Giri. “Lalu apakah yang salah pada diri saya?” kembali Sunan Kalijaga bertanya. “Karena andika tidak mengenakan pakaian seperti halnya wali lain. Bukankah pakaian itu cermin dari seseorang yang mengenakannya? Juga pakaian serba putih itu ciri para wali?” ujar Sunan Giri. ”Saya tidak bisa disebut seorang ulama atau wali karena tidak mengenakan sorban dan pakaian serba putih? Jika hal itu alasannya maka saya tidak keberatan meski tidak disebut seorang ulama atau pun wali. Karena tujuan saya bukanlah ingin mendapat julukan dan dielu-elukan banyak orang. Namun tujuan utama saya adalah berdakwah di tanah Jawa ini agar orang mau berbondong-bondong masuk Islam, tanpa harus dibatasi oleh cara berpakaian dan latar belakang budaya yang mereka anggap asing.” urai Sunan Kalijaga. “Untuk keberhasilan dakwah saya rela menanggalkan jubah putih, serta berbaur dengan rakyat jelata. Itu cara saya. Jika cara saya berbeda dengan Kanjeng Sunan Giri itu hanyalah masalah teknis, bukankah aqidah kita tetap sama?” Sunan Giri sejenak terdiam. Dahinya tampak dikerutkan, seakan-akan merenungi ucapan Sunan Kalijaga. Belum juga dia berbicara, Sunan Kalijaga melanjutkan perkataannya. “Bukankah rakyat kebanyakan berbondong-bondong masuk Islam, mereka tidak segan lagi bersama-sama saya untuk melakukan shalat berjamaah? Lantas sasaran Kanjeng Sunan Giri sangatlah terbatas, dengan hitungan tidak terlalu banyak dan ekslusif. Karena Kanjeng Sunan Giri menerapkan metode dakwah serta sasaran tertentu menurut Kanjeng.” ujar Sunan Kalijaga. “Setelah saya renungkan dan saya pikirkan, baiklah kita tidak harus saling memaksaan dalam urusan metode dakwah.” Sunan Giri mencair. “Saya kira andika telah menyimpang dari Islam seiring dengan ditanggalkannya jubah putih, ternyata hanya cara yang berbeda.” ——————- “Kenapa saya harus mengingkari ajaran Islam? Padahal dengan susah payah saya meraihnya. Tidak mungkin saya melepaskan ajaran Islam dari diri saya seperti halnya saya menanggalkan jubah putih. Itu berbeda, Kanjeng Sunan Giri.” tukas Sunan Kalijaga. “Saya lebih memilih melakukan pendekatan budaya, ketimbang menggunakan tata cara yang bersipat asing bagi mereka.” Masjid Demak Bintoro sejenak dalam keadaan hening. Tidak terdengar lagi suara yang bercakap-cakap, selain bergeraknya tasbih di tangan para wali. *** “Inilah padepokanku, Kisanak!” ucap Syekh Siti Jenar. “Indah dan asri pemandangannya, Syekh.” Kebo Benowo tercengang melihat keindahan Padepokan Syekh Siti Jenar. Udaranya sejuk, keadaannya tenang, pohon hijau berselang dengan tanaman hias memagari jalan setapak yang sedikit menanjak menuju gerbang padepokan. “Tentu saja harus indah dan asri, karena Allah itu Maha Indah. Kita selaku umatnya sudah seharusnya menciptakan suatu keindahan, agar kita mudah menyatukan diri dengannya. Kita berdialog dengan Allah, yang memiliki segala hal dan menciptakan segala makhluk.” terang Syekh Siti Jenar. “Masuklah kisanak!” “Terimakasih, Syekh.” Kebo Benowo, masuk lebih dulu diikuti kedua teamnnya. “Sebab jika kita merasa tertarik pada sesuatu, tentu saja kita akan selalu ingin memandangnya dan merasa kerasan untuk menikmatinya.” Syekh Siti Jenar duduk bersila di atas tikar pandan. Dihadapannya Kebo Benowo dan kedua temannya. “Sungguh benar yang Syekh katakan.” ucap Kebo Benowo datar. “Namun ruangan ini cukup luas, banyakkah orang yang berkumpul disini dan berguru pada, Syekh?” matanya mengitari seluruh ruangan. “Untuk apa saya membuat ruangan sebesar ini jika tidak ada orang yang mau menempatinya.” Syekh Siti Jenar melirik ke arah gerbang padepokan. “Lihatlah disana!” “Banyak sekali orang yang sedang menju ke padepokan ini?” Kebo Benowo dan dua temannya tercengang, melihat rombongan orang yang berduyun-duyun memasuki gerbang padepokan. “Jika demikian, bukanlah kami ini murid Syekh yang pertama.” “Itulah sebuah kenyataan.” ujar Syekh Siti Jenar tenang. “Jika demikian saya tidak akan bisa berkonsentrasi menyerap ilmu yang akan diajarkan Syekh?” wajah Kebo Benowo menggambarkan kekhawatiran. “Mengapa tidak, Kisanak? Sebab saya tidak memiliki ilmu apa pun, dan tidak pula menganggap istimewa satu sama lainnya. Karena mereka memiliki asal yang sama dan kembali pada tempat yang sama.” terang Syekh Siti Jenar. “O,…” Kebo Benowo dan temannya mengangguk-anggukan kepala. Namun tetap dalam hatinya merasa keberatan jika harus berjubel dan belajar dengan banyak orang. Karena tujuan mereka berguru ingin memiliki ilmu lebih dibandingkan dengan orang lain, tujuannya pun untuk menguasai orang lain. ——————- Pengikut dan murid Syekh Siti Jenar yang jumlahnya cukup banyak mulai memasuki ruang padepokan. Satu persatu mulai mengambil tempat duduknya masing-masing. Duduk bersila, berjejer memadati ruangan, pandangannya luru ke depan, memandang Syekh Siti Jenar dengan takjub. “Baiklah, jika semuanya sudah berkumpul kita mulai pelajaran ini.” Syekh Siti Jenar mulai mengajarkan ilmunya. “Saya akan memulai dengan pertanyaan. Darimanakah asalnya manusia?” matanya mulai memandang muridnya satu persatu. “Tentu saja manusia berasal dari kedua orang tuanya.” jawab Loro Gempol. “Terutama sekali ibunya yang melahirkan. Saya rasa semua orang juga tahu, Syekh.” urainya sangat percaya diri. “Jika jawabannya seperti itu, semua orang tahu. Maka saya tidak perlu memberitahukannya lagi.” terang Syekh Siti Jenar. “Lalu bagaimana menurut, Syekh?” Kebo Benowo menindaklanjuti pertanyaan temannya. “Secara lahiryah, manusia dilahirkan oleh seorang ibu. Ibu pun tidak akan bisa melahirkan tanpa pasangannya yang bernama suami.” sejenak menghentikan ucapannya. Matanya mulai menyisir wajah para muridnya yang dengan khusu memperhatikannya. “Ya, kami tahu.” Loro Gempol yang tidak sabaran selalu menyela. “Syekh, kedatangan kami kesini bukan untuk mempelajari ilmu seperti itu. Tapi kami meminta kesaktian yang Syekh punyai.” Loro Gempol seraya bangkit dari duduknya, tabiat rampoknya mulai tumbuh kembali. Andika terlalu tergesa-gesa, Kisanak.” Syekh Siti Jenar mengayunkan telunjuk dari tempat duduknya. ”Akkkhhhhh! Tolong!” tiba-tiba Loro Gempol terbanting, dan roboh di atas lantai. “Bukankah saya belum selesai berbicara?” Syekh Siti Jenar tidak mengubah posisi duduknya, “Mana bisa orang mendapatkan ilmu ma’rifatullah jika tidak bisa mengendalikan emosi.” “Aduhhhh…” Loro Gempol memijat-mijat bokongnya yang terasa sakit akibat benturan. “Maafkan saya, Syekh.” “Kembalilah andika ke tempat duduk!” perintah Syekh Siti Jenar. Sementara yang lainnya tidak ada yang berani menentang, apalagi berujar yang tidak karuan di depan orang yang memiliki tingkat kesaktian tinggi. Mereka termasuk para murid yang taat, karena sudah mulai mendalami sebagian ilmu yang diajarkannya. “Kenapa andika ceroboh, Gempol?” Kebo Benowo berbisik pada Loro Gempol yang telah duduk kembali disampingnya. “Bukankah andika sudah tahu, bagaimana kehebatan Syekh Siti Jenar ketika kita rampok. Masih untung andika tidak diusir dari padepokan ini.” “Memang saya ceroboh, Ki Benowo. Tapi saya tidak akan mengulang kesalahan ini,” bisik Loro Gempol. “Jika andika mengulang kesalahan, kemungkinan besar kita akan ditolak menjadi murid beliau.” Kebo Benowo merasa khawatir kalau tidak memperoleh kesaktian yang dimiliki Syekh Siti Jenar. ”Lupakanlah peristiwa tadi.” Syekh Siti Jenar menghela napasnya. ”Kita kembali pada pertanyaan semula. Darimana asalnya manusia?” “Darimanakah itu Syekh? Saya kira Syekhlah yang lebih tahu.” ujar Kebo Benowo. “Manusia berasal dari Allah. Dari dzat Allah yang menciptakannya. Seluruh manusia yang belum lahir kedunia ini berada pada suatu tempat yang bernama ‘bahrul hayat’.” berhenti sejenak. “Apakah itu, Syekh?” tanya Kebo Benowo. “Yaitu tempat hidup dan kehidupan. Disitu manusia merasakan kenikmatan yang tidak ada taranya. Manusia tidak pernah merasakan lapar, sakit, sedih, duka, lara, bahkan bahagia. Itu karena sangking nikmatnya kehidupan sebelum lahir ke dunia. Kita merasakan penderitaan, kesedihan, kemiskinan dan sebangsanya karena telah terlahir ke dunia ini. Bukankah sebelumnya kita tidak pernah merasakan penderitaan dan kemiskinan…” urai Syekh Siti Jenar. Para murid Syekh Siti Jenar sejenak merenungkan uraian gurunya. Mereka ada yang bisa mencerna dan memikirnnya, namun ada juga yang belum memahami maksud uraian tadi. “Jadi dunia ini tempatnya kita menjalani kesedihan, kemiskinan, kemelaratan, penderitaan, tertawa, bergembira. Setelah semuanya secara berurutan atau tidak kita alami, maka kembali berputar. Setelah sedih kita akan bahagia, setelah bergembira kita akan menangis….dan seterusnya.” Syekh Siti Jenar memandang ke setiap sudut. ——————- “Jika demikian kehidupan dunia ini berbeda dengan alam asal muasal kita, yang didalamnya tidak pernah terasa kesedihan, tidak pernah pula setelah bergembira kemudian bersedih. Bukankah disana nyaris kita tidak pernah merasakan apa pun, Syekh?” ujar Kebo Benowo, seraya menatap wajah Syekh Siti Jenar yang memancarkan cahaya. “Benar. Alam asal muasal manusia adalah alam milik dzatnya. Sehingga kita pun berada didalam kenikmatannya. Berbeda dengan alam yang sedang kita jalani sekarang.” lanjut Syekh Siti Jenar, tangan kanannya tetap memegang tasbih, sementara tatapan matanya terus berputar. Waktu terus merangkak pelan, menggiring para murid Syekh Siti Jenar pada ajarannya. Mereka semakin khusuk mendengarkan, hati mulai terbuka akan segala hal yang sebelumnya tidak diketahui. *** “Syekh, andika membawa ajaran Islam. Padahal agama yang saya kenal sebelumnya adalah Hindu dan Budha.” ujar Kebo Kenongo. “Namun stelah saya perhatikan ternyata inti dari ke tiga agama tersebut memiliki kesaamaan.” “Benar, Ki Ageng Pengging.” ucap Syekh Siti Jenar, matanya menatap tajam wajah lelaki yang masih keturunan Majapahit. “Semua agama sebenarnya dari asal yang satu. Itulah tadi yang saya uraikan.” “Saya paham dan tertarik untuk mengambil kesamaan dari ke tiga ajaran tadi.” tambah Kebo Kenongo. “Hanya yang membedakan agama-agama tadi adalah lelaku lahiryahnya saja.” “Benar, Ki Ageng Pengging. Sebab hakikatnya sama, mencari yang namanya Sang Pencipta, Sang Pemilik, Sang Maha Perkasa.” ujar Syekh Siti Jenar, seraya jari jemari tangannya memberi gambaran simbol pada Kebo Kenongo. “Kita hanya bisa merasakan nikmat saat bergumul dengan Dzat Yang Maha Kuasa. Mungkin syariat dari ajaran Hindu dan Budha bersemadi, mungkin orang Islam dengan tata cara berdzikir, berdoa, dan Shalat. Tapi semua itu hanyalah bentuk pendekatan secara jasadiah saja, sedangkan batinnnya tertuju pada Yang Maha Segalanya.” urai Syekh Siti Jenar. “Benar, Syekh.” Kebo Kenongo sejenak memandang ke arah puncak gunung, “Kenikmatan kita saat bersemadi ketika wujud kita telah menyatu dengannya.” “Itulah Manunggaling Kawula Gusti.” terang Syekh Siti Jenar pelan. Lalu bangkit dari duduknya, melangkah pelan menyusuri jalan setapak di ikuti Kebo Kenongo menuju padepokan. “Mereka sedang memperbincangkan apa di atas sana?” Loro Gempol melirik ke arah Kebo Benowo yang sedang berdiri di halaman padepokan. “Kelihatannya sangat serius.” “Apalagi yang mereka perbincangkan kalau bukan masyalah ilmu.” jawab Kebo Benowo datar. “Mengapa mereka kelihatannya khusuk dan serius. Mungkinkah karena Syekh Siti Jenar berbincang-bincang dengan keturunan Majapahit? Sehingga dia memperlakukan Ki Ageng Pengging lebih istimewa dibandingkan dengan kita, mantan rampok.” tatapan mata Loro Gempol tertuju kembali pada Syekh Siti Jenar dan Kebo Kenongo, mereka sedang menuruni bukit menuju padepokan. “Andika jangan berprasangka buruk, Gempol!” Kebo Benowo memberi apalagi mengistimewakan satu dengan lainnya. Hanya Syekh Siti Jenar akan mudah diajak berbincang-bincang jika kita memahami yang dibicarakannya. Kita belum bisa dianggap selevel dengan Ki Ageng Pengging. Karena kita latar belakangnya rampok dan tidak pernah mengenal ajaran agama apalagi filsafat, sedangkan Ki Ageng Pengging sudah mengenal agama-agama sebelum datang ajaran Syekh Siti Jenar, ditambah lagi dia orang cerdas.” urai Kebo Benowo. “Mungkin ya…mungkin tidak?” Loro Gempol menghentikan pembicaraannya, karena mereka sudah mendekat. “Andika berdua memperbincangkan saya?” Syekh Siti Jenar menatap Kebo Benowo dan Loro Gempol. Keduanya hanya mengangguk dan selanjutnya menundukan kepala. Karena mereka baru menyadari kalau Syekh Siti Jenar memiliki ilmu batin yang sangat hebat. “Tidak mengapa, jika memang pertemuan saya dengan Ki Ageng Pengging menjadi bahan perbincangan andika berdua.” ujar Syekh Siti Jenar enteng. “Andika pun hendaknya bisa mencapai tahapan yang sedang kami perbincangkan.” melanjutkan langkahnya, di belakangnya Kebo Kenongo mengiringi. “Inti dari ajaran Manunggaling Kawula Gusti?” Kebo Kenongo memulai lagi perbincangan, setelah beberapa langkah jauh dari Loro Gempol dan Kebo Benowo. “Ya, ketika kita menyatu dengan Dzat Sang Pencipta, Allah.” terang Syekh Siti Jenar. “Disitu terjadi penyatuan antara Gusti dan abdinya. Setelah kita menyatu dengannya, apa masih perlu yang namanya dzikir, shalat, ritual?” ——————- “Bukankah tujuan dari dzikir, shalat, dan ritual itu untuk mendekatkan diri kita dengan Yang Maha Agung?” timpal Kebo Kenongo. “Benar sekali Ki Ageng Pengging.” langkahnya terhenti di tepi jalan, sejenak, lalu memandang awan yang berserak di langit biru. “Jika kita sudah dekat apalagi menyatu dengannya masihkah kita perlu melakukan upaya dan tata cara pendekatan?” “Tentu saja jawabnya tidak.” Kebo Kenongo menatap keagungan sinar yang terpancar dari wajah Syekh Siti Jenar. “Upaya pendekatan apalagi yang harus kita lakukan, jika kita sudah melebihi dari dekat. Apa pun yang kita inginkan bisa terwujud hanya dengan kalimatnya. Kun, jadi. Maka terjadilah!” tambah Syekh Siti Jenar. “Namun ketika kita sudah berada pada tahapan tadi, mana mungkin akan tertarik pula dengan urusan dunia dan seisinya. Karena lebih nikmat didalam kemanunggalan tadi dibandingkan dengan dunia dan segala isinya.” “Mungkin juga, Syekh.” Kebo Kenongo mengerutkan dahinya, mencoba mencerna uraian Syekh Siti Jenar. “Untuk meyakinkan segala hal yang saya katakan sebaiknya Ki Ageng Pengging mencobanya.” saran Syekh Siti Jenar. “Saya sering melakukan semedi dan tapabrata, Syekh. Namun yang dikatakan kemanunggalan kita dengan Sang Pencipta itu di sisi mana?” tanya Kebo Kenongo. “Ketika wah’datul wujud.” Syekh Siti Jenar menghela napas dalam- dalam. “Saya baru bisa menjelaskan lebih mendalam jika Ki Ageng Pengging mencoba, lalu ada perbedaan dari sebelumnya. Maka hal itu baru saya uraikan kembali menuju Manunggaling Kawula Gusti. Sebab tidak mungkin saya mengurai sebuah persoalan jika seandainya Ki Ageng tidak menjelaskan terlebih dahulu hal yang mesti dibahas.” Saya paham maksud, Syekh.” Kebo Kenongo menganggukan kepala. *** “Saya mendapat kabar tentang pesatnya ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar.” ujar Sunan Bonang, duduk bersila di hadapan Sunan Kalijaga. “Saya juga demikian, Kanjeng.” Sunan Kalijaga mengamini. “Kenapa dia bisa berhasil dengan pesat dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Padahal dia bukanlah seorang wali?” Sunan Giri menyela. ”Benar, Kanjeng. Penyebaran ajaran dengan pesat di sini bukan berarti mayoritas, sebab Kanjeng Sunan Kalijaga pun cukup berhasil dalam upaya ini.” terang Sunan Bonang. “Tidak lupa pula para wali yang lain.” ”Bukankah kita pun sebagai para wali telah menyisir seluruh pulau Jawa dalam upaya penyebaran ajaran Islam?” ujar Sunan Giri. Sunan Bonang menatap Sunan Kalijaga, berbicara melalui batinnya. ’Bukankah maksud kita bukan urusan pesatnya penyebaran yang akan dibicarakan. Tetapi tentang isi ajaran yang disampaikannya.’ ‘Itulah yang membuat saya khawatir, Kanjeng Sunan Bonang. Namun mudah-mudahan yang kita khawatirkan itu tidak..’ “Kenapa andika berdua terdiam?” Sunan Giri menatap Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. “Ada apa?” ”Tidak, Kanjeng Sunan Giri. Kita hanya memaklumi saja kemampuan seorang rakyat jelata seperti Syekh Siti Jenar mampu mengembangkan dan menyebar luaskan ajarannya. Itu yang sedang kami renungkan.” terang Sunan Bonang. “Tetap saja pesatnya ajaran yang dia bawa penyebarannya tidak akan seluas para wali, termasuk pengaruh dan wibawanya. Mungkin hanya sekelompok kecil saja yang kemungkinan terserak di pelosok Negeri Demak Bintoro.” ujar Sunan Giri. “Namun itu bukan sebuah persoalan selama dia tidak menyimpang dari aturan para wali.” ‘Apa boleh buat, justru itulah nantinya akan menuai persoalan.’ batin Sunan Bonang. ——————- ‘Namun biarlah waktu yang menjawab, Kanjeng. Sebab kita tidak mungkin bisa merubah alur kehidupan yang akan terjadi. Bukankah kita hanya sebatas mengetahui dengan keterbatasan ilmu kita, Kanjeng.’ urai Sunan Kalijaga dengan bahasa batinnya. *** Prajurit Demak yang pernah berhadapan dengan Syekh Siti Jenar, si Kerempeng dan si Tambun sedang berbincang-bincang di bawah pohon beringin menunggu giliran berjaga di gerbang alun-alun Demak Bintoro. “Syekh Siti Jenar ternyata temannya para wali.” ujar si Tambun. “Namun apakah dia juga termasuk salah seorang wali di antara wali songo?” matanya menatap si Kerempeng. “Tanyakan saja pada Kanjeng Sunan Kalijaga. Jangan pada saya!” jawab si Kerempeng tinggi. “Tapi jika melihat kesaktian dan kehebatan ilmunya saya yakin bahwa dia masih termasuk wali.” si Tambun mengerutkan dahinya, coba menebak-nebak. “Buktinya dengan Sunan Kalijaga sangat akrab, terkadang bicara melalui tatapan matanya. Tentang pembicaraannya tidak kita pahami.” “Andika sepertinya tertarik oleh Syekh Siti Jenar, Gendut?” si Kerempeng berdiri. “Benar,” jawab si Tambun tenang. “Saya jadi ingin memiliki ilmunya.” “Kenapa mesti berguru pada Syekh Siti Jenar yang tidak jelas asal usulnya? Bukankah Kanjeng Sunan Kalijaga juga sangat sakti dan beliau jelas asal usulnya.” terang si Kerempeng. “Ya, tetapi tidak mudah untuk mendapatkan ilmu dari para wali tanpa melalui tahapan-tahapan yang berat.” ujar si Tambun. “Apa bedanya dengan Syekh Siti Jenar?” si Kerempeng menyandarkan punggung ke pohon beringin. “Jelas beda. Kalau Syekh Siti Jenar sangat mudah memberikan ilmu,” tambah si Tambun. “Tahu dari mana?” si Kerempeng penasaran. “Itu dugaan saya.” jawab si Tambun. “Lha, baru menduga-duga. Saya kira sudah tahu dan yakin.” ucap si Kerempeng. “Meskipun hanya berupa dugaan tapi saya yakin.” si Tambun membetulkan penutup kepalanya. “Jika Syekh Siti Jenar sangat mudah memberikan ilmu. Makanya ingin membuktikannya, kalau tahu tempat tinggalnya atau padepokannya akan saya datangi.” jelas si Tambun seraya mengangkat tombak, langkah kakinya pelan menuju gerbang alun-alun Demak Bintoro untuk melaksanakan tugas mengganti yang lain. “Cari saja kalau mau!” ujar si Kerempeng melangkah dibelakangnya. “Saya rasa mudah mencari tempat tinggal orang sakti seperti Syekh Siti Jenar. Tentu orang-orang Demak Bintoro pada kenal seperti halnya para wali.” sama-sama menuju gerbang alun-alun. “Pasti.” si Tambun mengangguk-anggukan kepala. “Karena dia salah seorang dari wali, hanya saja tidak termasuk wali sembilan. Mungkin karena tidak tinggal di pusat kota Demak Bintoro. Mungkin juga dia punya tugas lain di pedesaan dalam penyebaran agama Islam?” langkahnnya terhenti tepat di depan gerbang alun-alun Demak Bintoro. “Kenapa andika punya dugaan, bahwa Syekh Siti Jenar seolah-olah ditugaskan menyebarkan ajaran Islam di Pedesaan?” tanya Si Kerempeng. “Pertama karena dia jarang berkumpul di dalam masjid Demak. Keduanya dia sangat terlihat akrab dengan Kanjeng Sunan Kalijaga yang memilki kesaktian seimbang dengannya.” terang si Tambun. “Bisa jadi?” si Kerempeng mengerutkan dahinya. “Namun meskipun Kanjeng Sunan Kalijaga orang sakti tapi pembicaraannya tentang agama bisa dipahami oleh kita, berbeda dengan Syekh Siti Jenar yang kadang-kadang ucapannya membingungkan kita?” ——————- “Itulah bedanya Kanjeng Sunan Kalijaga dengan Syekh Siti Jenar.” ujar si Tambun, berdiri tegak sambil memegang tombak. “Maksud andika?” “Kalau belajar dengan Kanjeng Sunan Kalijaga untuk sampai pada tahap atas harus bertahap, tidak bisa langsung. Sedangkan Syekh Siti Jenar bisa loncat pada tingkatan yang kita inginkan, buktinya dia berbicara yang tidak bisa kita pahami, berarti sudah bisa loncat.” si Tambun mencoba menerangkan. “Cerdas juga andika, Gendut.” ujar si Kerempeng. “Saya yakin Kanjeng Sunan Kalijaga mengajarkan dengan bertahap karena beliau melihat kemampuan orang yang menerima. Sedangkan Syekh Siti Jenar tidak, makanya pembicaraannya kadang-kadang melantur.” “Melantur itu menurut kita, karena kita ilmunya masih rendah. Coba saja jika kita sudah berada pada tahapan atas mungkin sangat paham pada setiap ucapan Syekh Siti Jenar.” bela si Tambun. “Tida mungkin,” si Kerempeng mengerutkan dahinya. “Masa dia pernah bilang kalau Allah itu punya empat prajurit? Bukankah Allah itu punya para Malaikat? Kenapa mesti ada lagi prajurit, aneh bukan?” tambahnya. “Justru itulah, kisanak.” si Tambun tersenyum. “Saya penasaran dengan yang disebut empat prajurit Allah oleh Syekh Siti Jenar. Siapakah itu? Dan mengapa prajurit Allah bisa diperintah juga oleh Syekh Siti Jenar. Kalau saya memiliki ilmu seperti itu dan menguasai prajurit Allah seperti dia tentu pangkat akan naik. Tdak lagi jadi prajurit tapi jadi Raja…hahaha.” “Mengkhayal,” si Kerempeng mencibir. *** “Syekh, saya telah mencoba untuk menuju ‘manunggaling kawula gusti’.” Kebo Kenongo menghampar serban di depannya. Lalu berdiri. “Andika sekarang akan shalat?” Syekh Siti Jenar duduk bersila di sampingnya. “Bukankah andika telah mencoba menuju maunggaling kawula gusti?” “Benar, namun saya belum sampai. Sekarang saya akan shalat.” terang Kebo Kenongo. “Tujuan andika shalat?” Syekh Siti Jenar tersenyum. “Bukankah shalat jalan kita untuk menuju manunggaling kawula gusti, Syekh?” Kebo Kenongo mengerutkan dahinya. “Bukan.” ujarnya pendek. Syekh Siti Jenar memutar tasbih seraya mulutnya komat-kamit berdzikir. “Apakah harus berdzikir menuju maunggaling kawula gusti, Syekh?” tanyanya kemudian. “Tidak juga.” jawab Syekh Siti Jenar pendek. “Lantas, untuk apa shalat dan berdzikir?” kerutnya. “Bukankah Syekh pernah mengatakan kalau semua itu upaya untuk mendekatkan diri dengan Allah?” “Jika itu jawaban Ki Ageng Pengging benar adanya.” Syekh Siti Jenar sejenak memejamkan mata, kemudian membukanya lagi dan menatap Kebo Kenongo yang masih berdiri hendak shalat. “Bukankah mendekatkan diri kepada Allah sama saja dengan menuju manunggaling kawula gusti?” tanya Kebo Kenongo selanjutnya. “Tidak juga, Ki Ageng.” ujar Syekh Siti Jenar. “Lantas?” “Manunggaling kawula gusti sangat berbeda dengan mendekatkan diri kepada Allah.” terang Syekh Siti Jenar. “Perbedaannya?” keningnya semakin berkerut. “Karena yang namanya dekat berbeda dengan manunggal. Manunggal bukanlah dekat. Dekat bukanlah manunggal.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak. “Namun sekarang sebaiknya Ki Ageng Pengging shalatlah dulu, berceritalah setelah selesai mendirikannya.” tambahnya. “Baiklah, Syekh.” Keadaan di padepokan Syekh Siti Jenar sore itu terasa segar. Panas matahari tidak menyengat seiring dengan bayang-bayang manusia yang kian meninggi. ——————- Udara pegunungan terasa sejuk, pepohonan dan tumbuhan berdaun lebat menambah suasana asri. Padepokan yang ditata sedemikian rupa menambah khusuk para pencari ilmu. “Syekh…” Kebo Kenongo mendekat, “Shalat saya sudah selesai.” “Baiklah,” Syekh Siti Jenar bangkit dari duduknya, “Apa yang andika rasakan saat shalat?” “Tidak ada.” “Tidakah merasakan sejuknya udara pegunungan? Tidakkah andika melihat kain serban yang terhampar di tempat sujud?” lanjut Syekh Siti Jenar. “Tidak,” jawab Kebo Kenongo. “Tidakkah andika mendekati Allah?” tanyanya kemudian. “Saya tidak merasakannya. Tidak pula menjumpainya.” ujar Kebo Kenongo. “Mungkin shalat saya terlalu khusuk.” Syekh Siti Jenar menengadah ke langit, lalu duduk bersila di atas rumput hijau yang dihampari tikar pandan. Gerak-geriknya tidak luput dari pandangan Kebo Kenongo. “Lihatlah!” kedua tangannya ditumpuk di bawah dada. Tiba-tiba tubuhnya mengangkat dari tikar yang didudukinya dengan jarak satu jengkal, dua jengkal, satu hasta, dua depa. “Apa yang terjadi, Syekh?” Kebo Kenongo garuk-garuk kepala, keningnya berkerut-kerut. “Ini hanyalah bagian terkecil akibat dari pendekatan dengan Allah…” dalam keadaan melayang, matanya menatap tajam ke arah Kebo Kenongo. “Hasil pendekatan? Jadi bukan manunggaling kawula gusti?” dengan menahan kedip Kebo Kenongo bertanya. “Saya belum menerangkan tentang manunggaling kawula gusti. Namun kita tadi berbicara tentang upaya pendekatan…” terang Syekh Siti Jenar, perlahan menurukan kaki satu persatu hingga akhirnya kembali menyentuh tanah. “Dengan jalan shalatkah?” tanya Kebo Kenongo. “Bukankah saya tadi waktu shalat tidak menemukan apa pun, bahkan tidak bisa melakukan seperti yang Syekh perlihatkan.” “Jangan salah ini bukan shalat! Namun shalat adalah salah satu upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Shalat tadi merupakan syari’at bagi pemeluk Islam, juga ibadah bagi hamba atau abdi Allah. Maka hukumnya wajib.” urai Syekh Siti Jenar, “Namun ketika orang belum lagi menemukan hakikat dari shalat, itulah seperti yang Ki Ageng Pengging rasakan.” “Hampa.” desis Kebo Kenongo, seraya menatap Syekh Siti Jenar dengan penuh kekaguman. “Kebanyakan orang adalah seperti itu, Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar melangkah pelan. “Jika demikian saya baru berada pada tahapan syari’at. Bisakah saya menemukan hakikat yang dimaksud oleh Syekh Siti Jenar?” Kebo Kenongo seakan-akan kehilangan gairah. “Hakikat menuju pada pendekatan sebelum manunggaling kawula gusti, maka seperti yang pernah saya jelaskan pada Ki Ageng. Kita meski berbeda agama namun bukanlah andika harus memaksakan syari’at ajaran yang saya miliki untuk Ki Ageng kerjakan. Karena kebiasaan andika adalah bersemadi. Bukankah dengan cara itu andika merasakan hal yang berbeda, terutama dalam upaya pendekatan.” Syekh Siti Jenar kembali mengurainya. ——————- “Benar, Syekh.” sejenak Kebo Kenongo merenung. *** “Syekh, maafkan kami menghadap.” ujar Kebo Benowo dan dua temannya. “Katakanlah!” Syekh Siti Jenar menatap Kebo Benowo dan teman-temannya. “Kalau boleh, saya menginginkan ilmu yang Syekh miliki. Namun hendaknya Syekh tidak marah terhadap permintaan saya.” Kebo Benowo dengan nada pelan. “Jika seandainya saya memiliki ilmu maka tidaklah keberatan untuk memberikan. Sudah sepatutnya ilmu itu diamalkan.” jawab Syekh Siti Jenar. “Ilmu jika semakin sering diamalkan dan diajarkan maka akan semakin bertambah. Namun sebaliknya jika ilmu itu tidak pernah diamalkan (dibagikan) apalagi kikir untuk mengajarkannya, secara perlahan akan hilang dari diri kita. Hendaklah tidak ditukar dengan emas atau uang, apalagi dijual belikan, kalau tidak ingin hilang hakikatnya.” urainya kemudian. “Ya, Syekh. Jadi kalau begitu saya bisa memohon kepada Syekh untuk diajari ilmu.” Kebo Benowo semeringah kegirangan. “Ternyata Syekh sangatlah baik, berbeda dengan orang-orang yang memiliki ilmu tinggi lainnya. Mereka selalu meminta imbalan, kalau tidak berupa tumbal.” “Apa yang andika inginkan dari ketidaktahuan saya?” tanya Syekh Siti Jenar. “Syekh selalu merendah. Saya menginginkan ilmu untuk bertarung, dan ilmu untuk mengubah daun menjadi emas.” ujar Kebo Benowo. “Bukankah andika sudah jago bertarung? Mengapa mesti saya yang mengajari?” Syekh Siti Jenar membetulkan duduknya. “Untuk apa bisa mengubah daun menjadi emas?” “Dalam urusan bertarung secara fisik saya bisa. Namun saya masih kalah dengan ilmu Syekh waktu bertarung saat itu.” Kebo Benowo menelan ludah. “Juga jika saya bisa mengubah daun menjadi emasmaka saya akan menjadi orang kaya raya seantero negeri Demak Bintoro.” “Baiklah, pelajarilah itu.” ujar Syekh Siti Jenar. “Bagaimana cara mempelajarinya?” tanya Kebo Benowo mengerutkan keningnya. “Dekatkanlah diri andika pada Sang Pencipta, niscaya apa pun yang andika inginkan akan terkabul. Karena Sang Penciptalah yang memiliki segalanya.” terang Syekh Siti Jenar. “Caranya itu yang susah, Syekh. Harus bagaimana?” ——————- “Banyak cara untuk menuju Allah. Laksanakanlah itu, baru andika akan bisa. Mintalah apa yang andika inginkan.” terang Syekh Siti Jenar. “Saya tidak mengerti dan paham, Syekh.” Kebo Benowo garuk-garuk kepala. “Saya ingin langsung bisa tanpa harus melalui tahapan rumit yang Syekh sebutkan. Mustahil Syekh tidak bisa memberikannya.” “Tidak mustahil bagi Allah. Jika memang Dia menghendaki. Jadi, maka jadilah.” ujar Syekh Siti Jenar. “Saya sudah bisa?” Kebo Benowo bangkit dari duduknya, lalu memetik selembar daun basah dan diusapnya dengan kedua telapak tangan. “Wahhh…benar-benar hebat ilmu yang Syekh berikan. Saya sudah bisa mengubah daun menjadi emas. Terimakasih Syekh!” berjingkrak-jingkrak kegirangan. “Saya juga, Syekh?” Loro Gempol bangkit dan mencabut golok dari sarungnya, “Lego Benongo, babatlah tubuh saya dengan golok ini. Cepat!” menyodorkan golok pada temannya. “Baik, bersiaplah!” tanpa ragu-ragu lagi Lego Benongo membabatkan golok pada Loro Gempol yang berdiri tegak. “Hiaaaaaaattttt….!!!” “Hebat, benar-benar hebat.” Loro Gempol ternyenyum bahagia, ketika tubuhnya dibabat oleh Lego Benongo tidak merasakan apa pun bahkan seperti membabat angin. “Sudah, Benongo. Cukup!” lalu duduk bersila dihadapan Syekh Siti Jenar. “Itu yang kalian inginkan. Sudah saya berikan.” Syekh Siti Jenar menggenggam tasbih dengan tangan kirinya. “Terimakasih, Syekh. Syekh telah mengajarkan dan mengamalkan ilmu kepada kami semua dengan satu kalimat, hingga keinginan kami tercapai.” Kebo Benowo tampak senang, begitu juga temannya. “Kami tidak akan pernah melupakan jasa baik Syekh, yang telah kami anggap sebagai guru. Untuk itu izinkanlah kami pulang kampung.” “Kembalilah, karena hanya itu yang kalian ingin raih.” Syekh Siti Jenar masih dalam keadaan bersila, terdengar mulutnya komat-kamit membacakan dzikir, sambil memutar tasbih. Perlahan-lahan tubuhnya samar dari pandangan Kebo Benowo dan temannya. Hingga akhirnya tidak terlihat. “E..eh, menghilang!” Kebo Benowo menggosok-gosok kedua matanya, begitu juga ke dua temannya. “Aneh, kemana beliau?” “Ya, hebat.” Loro Gempol memutar matanya menatap ke segala arah, menyisir keberadaan Syekh Siti Jenar, “Benar-benar lenyap.” “Tidak jadi soal. Karena apa yang kita inginkan telah kita peroleh. Disamping itu kita pun sudah meminta izin untuk kembali ke kampung. Menghilangnya Syekh Siti Jenar berarti merestui kita semua. Mari kita turun dari padepokan ini!” Kebo Benowo bangkit dari duduknya, diikuti temannya. Mereka pun turun dari padepokan menuju kampungnya. *** “Kalian orang-orang miskin! Sebaiknya tunduk dan takluk pada saya.” Loro Gempol berkacak pinggang di hadapan orang-orang yang berbondong-bondong menuju tempa sabung ayam. “Keparat! Apa maumu?” Joyo Dento pemimpin kelompok sabung ayam “Masa andika tidak mendengar? Bukankah saya menyuruh andika dan kawan-kawan agar tunduk!?” Loro Gempol dengan sorot mata meremehkan. “Tunduk? Jangan harap, keparat!” Joyo Dento mencabut keris dari sarungnya. “Memangnya andika seorang senapati? Enak saja.” “Hahaha…ternyata andika punya keberanian Joyo Dento?” Loro Gempol tidak bergeming melihat ketajaman ujung keris yang terhunus. “Kawan-kawan, habisi dia!” perintah Joyo Dento pada temannya. “Majulah kalian semua! Buktikan kehebatan kalian jika memang sanggup membunuhku…hahaha!” Loro Gempol tertawa renyah. “Matilah andika keparat!” Joyo dento menyodokan keris ke arah uluhati. Diikuti empat orang temannya, menyodok perut, membabat leher, punggung, kepala, dan kaki. “Hahahaha….hanya ini kemampuan kalian!” Loro Gempol menanatang. “Ayo teruskan…hahaha!” sedikit pun tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Membiarkan lawan melakukan serangan. “Gila?” Joyo Dento menghentikan gerakan, tenaganya merasa terkuras. Begitu pula teman-temannya. “Ilmu apa yang dimiliki si Loro Gempol? Rampok kampungan ini mendadak punya kesaktian yang luar biasa. Seluruh senjata yang kita gunakan untuk mecabik-cabik tubuhnya, laksana menghantam angin?” mengerutkan keningnya. “Percaya kalian sekarang dengan kesaktian saya?” Loro Gempol dengan tangan kiri berkacak pingging, tangan kanannya memutar kumis. “Darimana andika punya ilmu sihir?” tanya Joyo Dento. ——————- “Hahaha…ini bukan ilmu sihir bodoh! Tapi ilmu miliknya orang sakti yang berasal dari Sang Pencipta Alam Semesta.” ujar Loro Gempol. “Percaya kalian sekarang pada saya? Jika percaya dan tidak punya lagi keberanian sebaiknya jadi pengikut saya! Tunduk pada saya!” “Mana mungkin saya harus tunduk pada andika? Sedangkan saya belum andika kalahkan.” tantang Joyo Dento. “Jadi kalian mau saya musnahkan ketimbang tunduk pada saya?” Loro Gempol menghunus goloknya. “Sebaiknya kita ikuti saja keinginannya.” ujar teman Joyo Dento, meringis ketakutan. “Benar, Kang. Sebaiknya kita jadi pengikutnya saja ketimbang dihabisi.” bisik yang lainnya. “Benar juga. Ketimbang kita mati mengenaskan.” jawab Joyo Dento, seraya kakinya mundur beberaba langkah. “Ayo pikirkan sekali lagi! Saya masih memberi kesempatan pada kalian. Pilih mati atau jadi pengikut saya?” ujar Loro Gempol sembari menyilangkan golok di depana dadanya. “Kami menyerah saja, Ki.” ujar Joyo Dento serempak. “Hahaha…bagus. Kenapa tidak dari tadi kalau mau menyerah, untung saja golok ini belum bersarang pada leher kalian.” Loro Gempol kembali menyarungkan goloknya. “Ikutlah kalian ke tempat saya.” *** “Syekh, ternyata saya lebih bisa merasakan mendekati Sang Pencipta dengan cara bersemadi.” Kebo Kenongo melangkah pelan di samping Syekh Siti Jenar. “Karena Ki Ageng Pengging sudah terbiasa dengan cara itu.” ujar Syekh Siti Jenar pandangannya tertunduk ke ujung kaki. “Benar, seperti Syekh sampaikan. Cara pendekatan dan kebiasaan ternyata tidak mudah untuk dirubah. Namun ketika kita menggunakan jalan yang berbeda ternyata memiliki tujuan sama.” Kebo Kenongo menghela napas dalam-dalam. “Kenapa? Ya, karena itulah yang disebut manunggal. Satu.” terang Syekh Siti Jenar, menghentikan langkahnya seraya matanya menatap puncak gunung yang berkabut. “Benar, Syekh. Orang melakukan tata cara dan ritual dalam wujud pisik yang berbeda namun tujuannya tetap satu. Sang Pencipta.” tambah Kebo Kenongo. “Satu harapan untuk mendapatkannya. Mendekatkannya, meraihnya, dan manunggal.” terang Syekh Siti Jenar. “Namun belum manunggaling kawula gusti, yang akhirnya wahdatul wujud.” “Lantas?” “Mereka mendekatkan diri kepadanya bukan untuk tujuan manunggal, tetapi untuk mengajukan berbagai macam permohonan dan keinginan. Karena mereka lebih mencintai urusan lahiriyah yang cenderung duniawi ketimbang urusan alam kembali, akhirat.” Syekh Siti Jenar melirik ke arah Kebo Kenongo. “Bukankah ada juga orang yang tidak terlalu tertarik pada urusan lahiriyah saja? Namun mereka menginginkan kesempurnaan hidup dan masuk dalam tahap akrab dengan Sang Pencipta?” kerut Kebo Kenongo, tatapannya mendarat pada wajah Syekh Siti Jenar yang bercahaya. “Itulah yang jumlahnya sangat sedikit, Ki Ageng Pengging.” lalu Syekh Siti Jenar memberi isyarat dengan jari jemari tangannya. “Kecenderungan orang melakukan pendekatan pada Allah karena mengharapkan sesuatu, atau orang tadi dalam keadaan susah. Ketika mereka merasa senang dan bahagia, lupalah kepadanya.” “Mengapa, Syekh?” ——————- “Karena tujuan pendekatan mereka untuk meraih dan memohon kebaikan lahiriyah saja.” terang Syekh Siti Jenar. “Ketika merasa sudah terkabul keinginannya, kemudian melupakan Allah.” “Bukankah tidak semua orang seperti itu, Syekh?” tanya Kebo Kenongo. “Tidak, hanya hitungannya lebih banyak.” Syekh Siti Jenar melipat jari jemarinya. “Sangat sedikit orang yang punya kecenderungan untuk mengikat keakraban dengan Sang Pencipta. Padahal tahap terkabulnya permohonan mereka bukan karena akrab, tapi dalam upaya mendekat dan kemahamurahannya saja. Jika seandainya mereka sudah merasa akrab dan berada dalam keakraban tidak mungkin melepas ikatannya semudah itu.” urainya. “Jika sudah akrab saya kira tidak mungkin orang untuk menjauh. Karena untuk mengakrabi perlu upaya mendekatan yang memerlukan waktu tidak sebentar.” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan kepala. “Ya, maka tahap akrab dengan Allah itulah ketika orang dalam keadaan ma’rifat. Ketika kita tidak memiliki lagi garis pemisah untuk saling bertemu. Kapan pun, dimanapun, tidak ada lagi sekat-sekat dan ruang kosong sebagai jeda untuk mengakrabinya.” Syekh Siti Jenar menghela napas dalam-dalam. “Ya, ya, benar, Syekh.” Kebo Kenongo berkali-kali mengangguk-anggukan kepalanya. “Nah, pada tahap akrab itulah kita meminta apa pun tidak mungkin tertolak. Mana ada keakraban tanpa adanya keterikatan kasih sayang?” Syekh Siti Jenar perlahan melangkah lagi. “Tentu, Syekh. Saya sangat paham.” Kebo Kenongo terkagum-kagum dengan uraian Syekh Siti Jenar. “Keakraban dengan Allah tidak mudah. Namun ketika kita sudah berada dalam lingkarnya tidak mudah pula untuk melepas.” Syekh Siti Jenar berdiri mematung di bawah pohon kenanga. “Benar, meski saya pun dengan susah payah mendekat untuk meangkrabinya belum juga sampai. Karena upaya saya bukan hanya untuk mendekat dan mengajukan berbagai permohonan. Namun ingin mengakrabinya.” ujar Kebo Kenongo. “Jika dalam keadaan sangat akrab bukankah tidak memohon pun akan diberinya?” “Ya,” ujar Syekh Siti Jenar. “Berjuanglah dan bergeraklah ke arah sana. Jika sudah tercapai, keinginan lahiryah pun secara perlahan tidak lagi menjadi persoalan yang sangat istimewa. Itu semua dirasakan hanyalah sebagai pelengkap lahiryah saja. Sebagai syarat hidup.” ——————- “Benar, Syekh.” Kebo Kenongo kembali mengiringi langkah Syekh Siti Jenar. “Padahal tidak hanya Raden Patah yang memiliki darah biru dan sekarang menjadi Penguasa Demak Bintoro. Saya pun masih keturunan Majapahit. Namun saya tidak punya hasrat sedikit pun untuk menjadi penguasa. Tujuan saya bukan itu, tetapi seperti Syekh terangkan tadi.” “Keinginan lahiryah itulah yang memenjarakan kita menuju ma’rifat. Ruang kosong, antara, jarak, jeda, pemisah, yang merintangi keakraban kita dengan Sang Pencipta.” terang Syekh Siti Jenar. “Perintang tadi berupa semua keinginan lahiryah yang distimewakan oleh nafsu keduniawian, karena ingin berkuasa, ingin kekayaan, dan banyak keinginan. Itu semua yang dinomor satukan. Lahirnya keserakahan.” “Jika itu yang masuk ke dalam jiwa dan pikiran, hati ini akan terasa gelap.” ujar Kebo Kenongo. “Mana mungkin menuju akrab untuk mendekat pun kita harus mencari cahaya jika tidak tentu membabi buta.” “Nah, itulah penggoda manusia untuk meraih keakraban dengan Allah. Jernihkan hati, tenangkan jiwa, damaikan gejolak nafsu, merupakan upaya untuk membuka jalan keakraban.” tambah Syekh Siti Jenar. “Manusia terkadang sangat sulit menyusuri jalan yang penuh dengan godaan tadi. Karena dalam dirinya memiliki nafsu yang sangat sulit untuk dikendalikan. Itulah upaya perjuangan menuju keridloannya. Menuju akrab pada Allah. Terkadang manusia hanya sebatas berucap dibibir, bahwa dirinya telah akrab tetapi dalam kenyataannya tidak. Lalu mengakui bahwa saya telah ma’rifat. Sebenarnya ma’rifat bukan sebuah pengakuan, tetapi realitas dalam tahapan akrab. Terbelenggulah dengan ikatan kata-kata.” “Ya.” Kebo Kenongo menghentikan langkahnya seiring dengan Syekh Siti Jenar. “Adakah perbedaan antara ma’rifat dengan akrab? Atau memang sama ma’rifat adalah akrab, sedangkan akrab adalah ma’rifat?” tanyanya kemudian. “Orang yang sudah ma’rifat tentu akrab. Orang yang sudah akrab tentu sudah ma’rifat.” terang Syekh Siti Jenar, jubahnya yang berwarna hitam berlapis kain merah tersibak angin pegunungan. “Ma’rifat itu sendiri?” kerut Kebo Kenongo. “Tahu, Mengetahui.” berhenti sejenak. “Namun tidak cukup itu, tentu saja harus diurai dengan maksud dan makna yang terarah. Mengetahui tentang apa? Tahu tentang apa? Tentu saja tentang dirinya dan Tuhannya. Bukankah terkait dengan makna akrab. Sehingga ada istilah kalau ingin mengenal Gustimu, Allahmu, maka harus mengenal dirimu sendiri.” Lanjut Syekh Siti Jenar. “Saya pernah mendengar, Syekh.” Kebo Kenongo merenung. “Bukankah Tuhan itu lebih dekat dari pada urat leher dan lehernya, bola mata putih dengan hitamnya?” “Tentu,” Syekh Siti Jenar melirik ke samping. “Namun itu sifatnya umum. Tidak masuk ke dalam makna akrab. Bahkan ma’rifat juga mungkin tidak.” “Bukankah untuk menuju ma’rifat pun tidak mudah, Syekh? Tetapi ada tahapannya, yaitu Syariat, hakikat, tharikat, dan akhirnya ma’rifat.” ujar Kebo Kenongo. ——————- “Harusnya demikian.” Syekh Siti Jenar memutar lehernya seiring dengan tatapan matanya, tertuju ke puncak pegunungan. “Bukan berarti orang harus memahami tahapan tadi. Karena tanpa memahami tahapan tadi pun orang bisa berada dalam tingkat ma’rifat, disadari atau diluar kesadarannya. Sebab tidak semua orang wajib tahu tentang sebuah istilah, yang penting adalah sebuah pencapaian, lantas bisa merasakannya.” “Bukankah istilah tadi hanya ada dalam agama Islam yang dianut Syekh sendiri.” tambah Kebo Kenongo. “Sedangkan dalam agama yang saya pahami tentu saja punya nama yang berbeda.” “Benar,” timpal Syekh Siti Jenar. “Namun tetap maksudnya sama. Hanya sebutannya saja yang berbeda. Sehingga saya tadi mengurai seperti itu.” “Ya.” Kebo Kenongo menganggukkan kepala. *** “Ki, saya sudah berhasil mengumpulkan orang-orang untuk dijadikan pengikut kita.” ujar Loro Gempol menjatuhkan patatnya di atas kursi rotan. “Saya juga sama, Ki.” timpal Lego Benongo. “Mau kita apakan mereka, Ki?” “Menurut kalian?” Kebo Benowo balik bertanya. “Ki, bukankah andika masih keturunan dari raja-raja yang ada di tanah Jawa?” Loro Gempol menatap wajah Kebo Benowo. “Siapa turunan raja? Raja rampok yang andika maksud?” Kebo Benowo tersenyum. “Kenapa andika pun berbicara seperti itu, Gempol?” “Maksud saya, tidak lain mengumpulkan banyak pengikut tidak untuk dijadikan rampok, tapi mereka kita jadikan prajurit yang tangguh.” terang Loro Gempol. “Jadikan prajurit? Memang andika mau mengadakan pemberontakan pada raja Demak yang sah?” tatap Kebo Benowo. “Benar, rajanya andika, Ki.” Loro Gempol menganggukan kepala. “Saya jadi patih, sedangkan Lego Benongo sebagai Senapati. Joyo Dento kita angkat sebagai Panglima.” terangnya. “Andika ini tidakkah sedang bermimpi disiang bolong, Gempol.” Kebo Benowo terkekeh. “Mengapa bertanya seperti itu, Ki?” Loro Gempol mengerutkan dahinya. “Bukankah andika layak menjadi seorang raja. Kita sudah banyak pengikut. Kita punya kesaktian dan uang, yang belum kita miliki adalah kekuasaan dan wilayah, karena saat ini sedang dikuasai Demak. Tidak ada salahnya jika Raden Patah kita taklukan, berada dalam perintah kita.” urainya. “Gempol, andika jangan berpikir terlampau jauh.” Kebo Benowo bangkit dari duduknya. “Kenapa aki selalu berbicara seperti itu. Tidakkah aki yakin pada kekuatan kita, bukankah banyak pengikut, bisa menciptakan uang, dan ilmu yang tinggi.” Loro Gempol meninggi. “Bukan demikian maksud saya, Gempol.” Kebo Benowo diam sejenak. “Meski kita punya banyak pengikut, menciptakan uang dan emas, serta ilmu tinggi, tentu saja semuanya tidak sebanding dengan kekuatan Penguasa Demak, Raden Patah. Selain itu mereka memiliki para wali yang selalu mendampingi dan memakmurkan masjid demak. Mereka semua memiliki ilmu yang cukup tinggi, kita tidak ada apa-apanya dibanding mereka.” urainya. “Benar juga ya, Ki.” Loro Gempol mengerutkan dahinya. “Namun untuk menghadapi para wali bukankah kita punya guru yang hebat, Syekh Siti Jenar, beliau bisa menghadapi para wali.” “Andika jangan berpikir seperti itu, Gempol.” Kebo Benowo bangkit dari duduknya. “Karena Syekh Siti Jenar bukan orang yang gila kekuasaan. Mana mungkin dia mau melakukan pemberontakan dan meraih kekuasaan. Syekh Siti Jenar adalah orang yang sangat bersahaja, tidak tertarik pada urusan duniawi apalagi kedudukan dan kekuasaan. Beliau adalah ulama yang telah menyatu dengan Sang Pencipta. Mustahil tertarik dengan hal-hal yang berbau lahiryah. Karena menurut beliau kesenangan lahiryah hanyalah sekejap, yang paling nikmat adalah ketika beliau berada dalam tahap manunggaling kawula gusti. Bukan begitu? Tentu berbeda dengan kecenderungan kita.” terangnya. “Baru terpikirkan, Ki.” Loro Gempol membetulkan duduknya. “Namun aki sendiri apakah punya keinginan untuk meraih kekuasaan dan menikmati kesenangan dunia?” ——————- “Tentu saja. Karena saya orang biasa dan seperti halnya orang lain, punya ambisi. Sebab saya bukanlah Syekh Siti Jenar.” ujar Kebo Benowo. “Namun seandainya kita memiliki keinginan seperti andika jelaskan tadi tentunya harus dengan cara lain.” “Cara lain?” Loro Gempol meletakan telunjuk di keningnya. “Ya, karena jika ingin memberontak. Kita harus mengukur kekuatan pasukan kita, lalu bandingkan dengan kekuatan Demak. Pikirkan pula tentang logistik kita selama berperang, selain itu ilmu kadigjayaan kita sudah sejauhmana, mungkinkah bisa mengalahkan para wali yang berilmu tinggi?” ujar Kebo Benowo. “Benar juga, Ki.” Loro Gempol mengangguk-anggukan kepala. “Itulah yang mesti kita pertimbangkan sebelum bertindak.” timpalnya. “Kita haruslah berpikir matang jika tidak ingin mati sia-sia, seperti halnya anai-anai menyambar api.” “Jika demikian harus bagaimana caranya, Ki?” Loro Gempol menatap Kebo Benowo, seraya dahinya mengkerut. “Itulah yang mesti kita pikirkan…” Kebo Benowo memijit dahinya. Keadaan hening sejenak, pikiran mereka menerawang ke alam kejadian yang akan datang. Berbagaimacam cara mereka olah dan cerna, demi tercapainya ambisi kekuasaan. *** “Lantas ketika Syekh melayang apa yang terjadi?” tanya Kebo Kenongo. “Saya bisa melayang karena bisa mengatur berat tubuh.” Syekh Siti Jenar menatap langit, “Lihatlah di sana, Ki Ageng! Mengapa burung itu bisa beterbangan, lalu saling kejar di ketinggian yang tidak bisa kita jangkau karena keterbatasan.” “Tapi kenapa syekh sendiri bisa meloncati keterbatasan tadi?” “Sebenarnya bukan saya bisa meloncati keterbatasan, namun kita bisa mengatur batas, menjauh dan mendekatkan.” terang Syekh Siti Jenar. ——————- “Maksud Syekh?” kerut Kebo Kenongo. “Samakah dengan yang saya dengar tentang Isra Mi’rajnya Nabi Muhammad?” “Ya, namun berbeda.” “Maksudnya?” “Jika Rasululah Isra Mi’raj dengan kehendak dan kekuasaan Allah. Sedangkan saya tidak.” ujar Syekh Siti Jenar. “Saya kurang paham, Syekh?” Kebo Kenongo memijit keningnya. “Ya, saya tidak bisa seperti Rasulullah. Sebab saya bukan beliau…” terang Syekh Siti Jenar. “Namun saya bisa menyatu dengan kekuatannya dan dzatnya. Hingga ketika saya menghendaki berada di pusat Negeri Demak dengan sekejap itu bukan persoalan yang mustahil.” tambahnya. “Benarkah itu, Syekh?” Kebo Kenongo semakin mengkerutkan dahinya. “Jika Ki Ageng Pengging ingin bukti, maka tataplah saya! Jangan pula Ki Ageng berkedip! Karena kepergian saya ke pusat kota Demak Bintoro bagaikan kedip, kembali pun dihadapan Ki Ageng seperti itu pula. Saya dari pusat Kota Demak Bintoro akan membawa makanan segar.” usai berkata-kata, samarlah wujud Syekh Siti Jenar, hingga akhirnya lenyap dari pandangan Kebo Kenongo. “Lha,” Kebo Kenongo menggosok-gosok kedua matanya. “Benarkah yang sedang terjadi dan kuperhatikan ini?” “Inilah makan segar dari pusat kota Demak Bintoro, Ki Ageng.” “Lha, aih..aih..!” Kebo Kenongo terperanjat, ketika dihadapannya Syekh Siti Jenar sudah berdiri kembali seraya menyodorkan makanan hangat dengan bungkus daun pisang. “Itulah yang bisa saya lakukan, Ki Ageng.” ujar Syekh Siti Jenar, seraya duduk bersila di atas hamparan tikar pandan, dihadapannya terhidang dua bungkus makanan hangat yang beralaskan daun pisang. “Sekarang marilah kita makan alakadarnya.” “Ya,” Kebo Kenongo hanya menjawab dengan anggukan. “Saya tidak sanggup untuk memikirkannya, Syekh? Kenapa andika hanya dalam kedip pergi ke pusat kota Demak Bintroro untuk mendapatkan hidangan makan pagi. Padahal jika kita bejalan dari padepokan ini ke pusat kota Demak memakan waktu satu hari satu malam?” ——————- “Benar, Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar mengangguk. “Namun bukankah kita tidak sedang berbicara tentang perjalanan jasad?” “Maksud, Syekh?” “Ingatkah Ki Ageng Pengging ketika saya pernah bercerita tentang Kanjeng Nabi Sulaiman AS.?” ujar Syekh Siti Jenar. “Yang pernah Syekh baca dari ayat suci Alquran itu? Saya agak lupa.” Kebo Kenongo menempelkan telunjuk didahinya. “Ketika Kanjeng Nabi Sulaiman meminta kepada para pengagung negaranya untuk memindahkan kursi Ratu Balqis ke istananya. Siapakah yang bisa memindahkan singgasana Ratu Balqis dalam waktu yang sangat cepat, hingga jin Iprit menyanggupi.” “Ya, saya ingat, Syekh.” Kebo Kenongo tersenyum. “Namun bukankah Jin Iprit itu terlalu lama menurut Kanjeng Nabi Sulaiman, karena dia meminta waktu saat Baginda Nabi bangkit dari tempat duduk maka singgasana akan pindah…” “Benar, waktu seperti itu lama menurut Kanjeng Nabi Sulaiman. Karena bangkit dari duduk memerlukan waktu beberapa saat. Hingga berkatalah seorang ulama serta mengungkapkan kesanggupannya, yaitu hanya sekejap. Kanjeng Nabi Sulaiman berkedip maka Singgasana Ratu Balqis pun akan berhasil dia bawa. Hanya satu kedipan.” terang Syekh Siti Jenar. “…dan terbuktilah kehebatan ulama tadi.” “Ya, benar, Syekh.” ujar Kebo Kenongo, “Itulah ilmu Allah. Mana mungkin bisa dicerna dan dipahami dengan keterbatasan berpikir manusia.” “Tidak semua manusia seperti itu, Ki Ageng.” terang Syekh Siti Jenar. “Itulah manusia kebanyakan, terkadang perkataannya dan pendalamannya dibidang ilmu dangkal. Namun meski pun memiliki kedangkalan berpikir terkadang dalam dirinya mencuat pula rasa angkuh dan sombongnya. Jika hal itu terjadi maka akan gelap untuk meraba dan meraih yang saya maksud.” ——————- “Benar, Syekh. Hanya kejernihan berpikir dan menerima yang bisa membukakan kebodohan dan kekurangan diri kita…” timpal Kebo Kenongo. “Namun dalam uraian tadi apa yang membedakan kehebatan ilmu yang dimiliki oleh Jin Iprit dan Ulama?” “Tentu saja sangat berbeda.” Syekh Siti Jenar bangkit dari duduknya, seraya menatap langit. “Jin itu makhluk gaib, tidak aneh bagi bangsa mereka terbang, melayang-layang di angkasa, melesat secepat angin, menembus lubang sekecil lubang jarum, bahkan merubah wujud berbentuk apa pun yang dikehendakinya.” “Bisa pula tidak terlihat oleh manusia?” “Sangat bisa. Ya, karena memiliki sifat ghaib itulah. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menembus alam jin. Sebaliknya hanya jin tertentulah yang bisa menampakan diri pada manusia.” terang Syekh Siti Jenar. “Sehebat apa pun bangsa jin tentunya tidak bisa melebihi manusia.” “Bukankah pada zaman ini banyak pula orang-orang yang memiliki ilmu jin bahkan mengabdikan diri, karena ingin mendapat kesaktiannya.” timpal Kebo Kenongo. “Para dukun sakti saya rasa tidak terlepas dari kekuatan dan kesaktian atas bantuan bangsa jin yang dijadikan tuannya.” “Itulah kedangkalan berpikir manusia, Ki Ageng. Mereka tidak melihat asal usul, jika manusia itu makhluk yang paling mulia di banding yang lainnya. Termasuk jin.” “Jika demikian, Syekh. Berarti kita harus menaklukan jin agar bisa memerintah mereka dan memanpaatkan kekuatannya. Namun apa mungkin kita bisa menaklukan jin?” “Kenapa tidak mungkin. Bukankah Kanjeng Nabi Sulaiman sendiri prajuritnya terdiri dari bangsa jin, selain binatang dan manusia?” “Tapi untuk menaklukan bangsa jin tentu saja ilmu kita harus di atas mereka, Syekh?” “Tentu saja, Ki Ageng.” ujar Syekh Siti Jenar. “Namun jika kita sudah memiliki ilmu dan kesaktian sebetulnya menjadi tidak perlu memiliki dan menaklukan jin. Karena kita bukan raja seperti Kanjeng Nabi Sulaiman, yang memerlukan prajurit dan abdi setia. Untuk dijadikan balatentara dan membangun negara, dengan arsitek-arsitek yang kokoh. Jin dijaman Nabi Sulaiman di suruh menyelami laut untuk mengambil mutiara, di suruh membangun keraton berlantaikan kaca yang membatasi kolam dibawahnya.” “Meski bukan raja kita juga butuh prajurit pengawal, Syekh?” “Saya rasa tidak perlu bangsa jin yang dijadikan prajurit pengawal. Bukankah Kanjeng Nabi Muhammad juga tidak dikawal oleh bangsa jin, namun selalu disertai oleh Malaikat Jibril kemana pun beliau pergi.” “Lalu haruskah Kanjeng Nabi menundukkan Malaikat agar mengawalnya? Sakti mana dengan jinnya Kanjeng Nabi Sulaiman?” “Tentu saja Malaikat itu lebih sakti dari bangsa jin. Karena yang mencabut nyawa jin juga Malaikat seperti halnya nyawa manusia. Kanjeng Nabi Muhammad pun tidak perlu menundukan Malaikat, karena dengan sendirinya Malaikat akan di utus oleh Allah untuk menyertai orang-orang shalih. Apalagi Malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu Allah yang disampaikan kepada Kanjeng Nabi Muhammad.” urai Syekh Siti Jenar. “Syekh sendiri siapa yang mengawal?” “Karena saya manusia biasa, bukan nabi dan juga keshalihannya tidak saya ketahui, entahlah. Mungkinkah Allah mengutus Malaikat untuk mengawal atau tidak saya tidak tahu. Yang jelas saya tidak dikawal oleh bangsa jin…” Syekh Siti Jenar kembali duduk bersila. “Tapi kenapa Syekh memiliki kesaktian?” ——————- “Ya, itu sedikit ilmu yang saya pelajari dari keMaha Besaran Allah. Mungkin yang mengawal saya kemana pun pergi adalah ilmu yang saya miliki. Sehingga dengan ilmu itu saya pun bisa memanggil prajurit Allah yang empat.” tambah Syekh Siti Jenar. “Prajurit Allah?” kerut Kebo Kenongo. “Apakah para Malaikat? Kalau di dalam agama saya para Dewa dan Hyang Jagatnata, penguasa triloka.” ”Prajurit Allah bukan Malaikat. Saya tidak akan berbicara tentang para Dewa.” berhenti sejenak, lalu tatapan matanya menyapu wajah Kebo Kenongo. “Namun yang akan saya bicarakan prajurit Allah. Ingat bukan Malaikat,” “Kenapa bukan Malaikat? Bukankah Malaikat bisa mencabut nyawa manusia dan bangsa jin yang goib?” tanya Kebo Kenongo. “Meskipun demikian Malaikat hanyalah makhluk Allah, tidak beda dengan kita. Hanya yang membedakan kita dengan Malaikat, dia adalah goib. Malaikat memiliki keimanan tetap dan tidak pernah berubah, berbeda dengan bangsa manusia dan jin. Namun meski bagaimana pun tetap saja manusia makhluk yang paling mulia, tetapi sebaliknya derajat kemulian yang diberikan Allah kepada manusia akan lenyap. Bahkan manusia akan didapati sebagai makhluk yang lebih rendah dan hina dibawah binatang.” urai Syekh Siti Jenar. “Lalu prajurit yang dimaksud?” ”Yang dimaksud prajurit tentu saja penyerang, penghancur, perusak, dengan segala tugas yang diembannya.” “Mungkinkah mirip dengan Dewa Syiwa?” “Mungkin, Ki Ageng.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak. “Sedangkan prajurit Allah yang empat disini pun fungsi dan tugasnya untuk menghancurkan, merusak, dengan tujuan manusia berbalik pada jalan lurus. Mengingatkan kekeliruan yang pernah diperbuat oleh para khalifah bumi. Tujuannya tentu saja menyadarkan, jika yang menedapatkan taufiq dan hidayah. Adzab dan siksa bagi mereka yang tidak pernah mau bertobat dan kembali kepada jalan yang lurus.” “Lalu siapa yang dimaksud dengan prajurit Allah yang empat tadi, Syekh?” ——————- “Prajurit Allah yang empat itu diantaranya…” Syekh Siti Jenar melangkahkan kakinya perlahan. “…pertama adalah angin. Lihatlah angin yang lembut dan sepoi-sepoi, namun perhatikan pula jika angin itu mulai dahsyat serta bisa memporak-porandakan bangunan sehebat apa pun, menghancurkan pohon-pohon yang tertancap kokoh, menerbangkan segala hal yang mesti diterbangkannya, bahkan menghancurkan sebuah kota atau perkampungan. Lantas ketika angin mengamuk siapa yang bisa membendung dan menghalang-halangi?” “Tidak ada, Syekh.” “Itulah kehebatan prajurit Allah yang disebut manusia, angin pada syariatnya. Padahal angin itu hakikatnnya membawa pesan pada manusia, pada para khalifah bumi, agar menyadari kekeliruan yang pernah diperbuatnya. Manusia yang melakukan keruksakan di muka bumi maka akan kembali pada perbuatannya, akibatnya. Namun dalam hal ini manusia hanya memandang sebelah mata pada hakikat angin. Mereka lebih banyak bercerita dan memandang akan hal yang berbau logika dan penalaran semata, karena itu semua akibat dari keterbatasan ilmu yang dimilikinya. Ilmu yang manusia miliki tidak mencakup berbagai hal, namun terbatas hanya pada bidangnya saja. Sehingga manusia terkadang melupakan Allah yang memiliki lautan ilmu.” urai Syekh Siti Jenar, seraya langkahnya terhenti. Sejenak berdiri di tepi jalan, matanya menyapu tingginya puncak gunung yang diselimuti awan putih yang berlapis-lapis. “Bukankah manusia akan selalu merasa pintar jika seandainya berhasil menangani sedikit persoalan saja, Syekh?” “Itulah manusia. Namun tidak semuanya seperti itu. Tetapi itulah watak orang kebanyakan. Maka jika demikian tertutuplah pintu ilmu berikutnya, terhalang oleh keangkuhan dan kecongkakan yang terselip dalam batinnya.” ujar Syekh Siti Jenar. “Berbeda jika dibandingkan dengan manusia yang batinnya terang. Dia tidak akan pernah berbuat congkak, apalagi sombong, yang bisa membutakan mata hatinya. Sehingga orang seperti itu akan selamanya sanggup memahami segala hal dengan jernih….” ——————- “…sangat sulit, Syekh.” Kebo Kenongo menarik napas dalam-dalam. “…pantas saja diri Syekh bisa terangkat pada derajat ma’rifat, karena telah sanggup membersihkan batin dari noda-noda tadi. Mungkin saya sulit mencapai ma’rifat tadi karena batin ini masih dijejali dan dikotori hal-hal yang membutakan, menghalangi, mengganggu dan merintangi. Pada intinya masih berbau keangkuhan, kesombongan, angkara, rasa iri dan dengki. Namun rasanya sulit untuk melepaskan hal-hal tadi, Syekh. Mungkin karena kesulitan itu datang akibat kita berada dalam hiruk pikuk kemewahan duniawi, yang selalu hadir di sisi kiri, kanan, depan, dan belakang kita?” “…jangan salah, Ki Ageng. Bukankah setiap manusia hidup memerlukan kebutuhan jasadiyah?” timpal Syekh Siti Jenar. “Duniawi adalah kebutuhan lahiriyah, sedangkan menuju ma’rifat adalah proses perjalanan batin menuju akrab.” “Benar, Syehk. Namun jika gangguan duniawi sangat terlalu kuat, bisa menggelapkan mata batin. Sehingga kita selalu memperjuangkan kepentingan jasadiyah tanpa kendali dan melupakan kebutuhan batinnya. Nah, untuk menyeimbangkan itulah yang sangat sulit.” “Sebetulnya kita tidak perlu seimbang dulu. Namun itu terlalu berat untuk kebanyakan orang dan tidak mungkin dapat tercapai. Sebab bagi yang telah ma’rifat dan akrab tidak perlu jauh melangkah tinggal mengatakannya, apa yang diinginkan akan datang atau berada dalam genggaman.” terang Syekh Siti Jenar, lantas membuka telapak tangannya dan diacungkan ke langit, lalu dikepalkan. “…lihatlah! Inikah yang Ki Ageng inginkan?” “Benar, Syekh. Andika selain bisa membaca keinginan batin saya juga dapat membuktikannya hanya dengan mengepalkan tangan.” Kebo Kenongo menggeleng-gelengkan kepala, seraya memujinya. *** “Sudahkah andika menemukan cara yang tepat untuk menguasai Demak?” Loro Gempol menatap wajah Kebo Benowo. ——————- “Meski saya telah berkali-kali memikirkannya belum juga menemukan cara yang tepat, Gempol.” Kebo Benowo menempelkan telunjuk dikeningnya. Lalu bangkit dari duduknya, menggendong kedua tangannya dibelakang, dahinya berkerut-kerut, kakinya melangkah pelan. “….bagaimana…cara termudah?” “Bolehkah saya berbicara?” Joyo Dento mengangkat kepalanya. “Apa yang akan andika katakan, Dento? Bantulah saya berpikir!” tatap Kebo Benowo. “Menurut hemat saya, negara Demak Bintoro kini dalam keadaan tenang dan tentram. Namun bukan berarti ketenangan ini tidak bisa diusik.” “Semua orang tahu! Apa maksud andika!” timpal Loro Gempol meninggi. “Mohon maaf, Ki Gempol. Bukankah saya belum selesai bicara?” “Lanjutkan, Dento!” ujar Kebo Benowo mengacungkan telapak tangannya, seraya menatap Loro Ge,pol agar memberi kesempatan bicara pada Joyo Dento. “Negeri Demak Bintoro kini dalam keadaan tenang dan tentram. Sangat sulit bagi kita untuk melakukan pemberontakan apalagi penggulingan kekuasaan. Namun bukan berarti suasana tenang dan tentram ini tidak bisa diubah, menjadi kacau balau dan carut marut.” Joyo Dento berhenti sejenak, matanya merayap mengelilingi ruang pertemuan. Kembali tatapannya tertuju pada Kebo Benowo. “Maksud andika?” Loro Gempol tidak sabar. “Maksud saya, untuk merubah suasana tenang dan tentram ini harus menciptakan keadaan sebaliknya.” “Mengacau ketenangan masyarakat?” tatap Kebo Benowo. “Jika itu dilakukan berarti tindakan kita untuk menggulingkan Raden Patah tidak akan berhasil, bahkan akan mendapat kecaman dari rakyat. Karena mereka tahu bahwa kita pengacau. Sedangkan yang kita harapkan dukungan rakyat, yang membetulkan tindakan kudeta. Jadi pada intinya tindakan kita harus mendapat simpati dari rakyat.” “Benar, maksud saya itu.” ujar joyo Dento. “Maksud andika jelas salah, Dento! Tidakah andika membayangkan jika kita merampok rakyat, mengganggu rakyat, sebaliknya mereka akan lebih simpati pada Sultan.” sela Loro Gempol. “Tentu, jika kita salah dalam melakukan tindakan.” terang Joyo Dento. “Saya meskipun sehari-hari berada di pasar dan melakukan perbuatan sabung ayam, hanya untuk melampiaskan hobi saja. Andika belum paham jika saya dulu pernah mengabdi di Kadipaten Majapahit. Bahkan saya pun banyak belajar tentang politik dan ketatanegaraan. Namun orang-orang Majapahit kini tidak mau lagi memperlihatkan diri dan merasa antipati terhadap Raja Demak Bintoro, karena membaca kekuatan sendiri. Jika melakukan hal tadi berarti akan ditangkap, termasuk Ki Ageng Pengging, beliau lebih memilih hidup menjadi seorang petani, dengan nama lain.” Mendengar uraian Joyo Dento yang membuka jatidirinya dan mengurai keahliannya, Kebo Benowo, Loro Gempol, Lego Benongo, juga seluruh peserta sidang pada kesempatan itu terkagum-kagum. “Pantas saja, andika berbeda.” Kebo Benowo menggelengkan kepala. “Jika demikian lanjutkanlah rencana dan dasar pemikiran andika. Andika mulai hari ini saya angkat sebagi penasehat saya dan yang lainnya.” ——————- “Terimakasih, Ki Benowo.” Joyo Dento menghela napas, “Saya sebetulnya sejak dulu mencari teman dan orang yang ingin melakukan pemberontakan, sekaligus penggulingan kekuasaan terhadap Raden Patah. Namun kini saya baru menemukan orang yang benar-benar punya niat dan tujuan yang sama dengan saya. Jadi tidak ada salahnya jika saya pun mendukung gerakan ini.” “Kita tidak salah bergabung, Dento.” ujar Kebo Benowo. “Hanya sayang, yang semestinnya Ki Ageng Pengging yang harus maju dan bergabung dengan kita sama sekali tidak tertarik. Ki Ageng Pengging sesungguhnya memiliki darah biru yang sangat kuat, karena beliau keturunan raja Majapahit.” Joyo Dento berhenti sejenak, “Namun meski pun demikian andikalah yang ternyata berani maju, Ki Benowo. Tidak ada salahnya, saya akan mendukung. Hanya dalam hal ini kita harus punya strategi yang tepat. Seperti yang saya uraikan pertama kali.” ”Ya, tentang pembicaraan semula. Lanjutkan apa rencana tadi?” pinta Kebo Benowo. “Baiklah,” ujar Joyo Dento. *** ”Dengarkan para pengemis!” teriak Kebo Benowo, matanya menyapu para pengemis yang bersila di pinggir jalan menuju pasar. “Kenapa andika semua mesti jadi pengemis? Tidak inginkah hidup mewah seperti para penduduk kota Demak Bintoro? Tidak inginkah kalian menjadi orang kaya, seperti para pejabat negara? Bukankah mereka itu manusia seperti kita? Harus sadar pula bahwa kita pun memiliki hak yang sama seperti mereka. Tidak sadarkah jika para pejabat Negeri Demak telah mendzalimi kalian semua? Membiarkan kalian terlantar dipinggiran jalan. Sementara mereka bersenang- senang di pusat kota Demak Bintoro. Tidak sadarkah bahwa mereka telah melupakan kita selaku rakyat? Mereka telah menelantarkan kita dalam lingkaran kemiskinan dan penderitaan. Kalian harus paham akan semua itu. Sesungguhnya hak kalian telah dirampas oleh mereka.” “Jadi kami mesti bagaimana, Ki? Sedangkan kami pun tidak ingin menjadi orang miskin.” ujar seorang pengemis paruhbaya. “Ingatlah, bahwa kalian memiliki hak yang sama seperti para penguasa negeri ini. Mintalah hak kalian!” ujar Kebo Benowo. “Tidak mungkin? Mustahil keinginan kita dikabulkan oleh para penguasa dzalim yang tidak peduli akan nasib rakyatnya, yang miskin seperti kami.” ujar si pengemis paruhbaya. “Jika tidak mungkin menurut kalian, tidak perlu menyesal dengan nasib yang dialami. Karena kehidupan dunia ini hanyalah sekejap, setelah itu kita akan mati. Untuk itu biarkanlah mereka itu menikmati hidupnya sebagai penguasa, karena mereka hanyalah mayat-mayat hidup yang menunggu kematian. Sedangkan kematian merupakan pertemuan kita dengan Sang Pencipta, untuk menemui kenikmatan yang abadi.” urai Kebo Benowo. “Benarkah kematian itu merupakan kenikmatan yang abadi dibandingkan dengan para penguasa yang sekarang sedang menikmati kesenangan?” kerut pengemis paruhbaya. “Benar, karena mereka pun akan mati. Setelah mati maka ditangisi oleh keluarganya, lalu harta yang mereka agung-agungkan ditinggalkan untuk diperebutkan oleh keturunannya. Jadi apa artinya harta kekayaan juga kekuasaan. Toh, kita pun akan mati dan meninggalkan semua kesenangan duniawi yang bersifat sekejap. Bayangkanlah kesenangan setelah kematian. Bukankah nenek moyang kalian tidak pernah ingin kembali ke dunia ini dari kuburnya? Mengapa demikian? Karena mereka menikmati kematian yang teramat menyenangkan dan menentramkan.” Kebo Benowo yang memahami secara dangkal ajaran Syekh Siti Jenar, mencoba mengurai sesuka hatinya. “Benar juga yang andika katakan, Ki.” si pengemis paruhbaya mengagguk-anggukan kepala, begitu juga yang lainnya. “Memang kehidupan ini hanyalah samsara, penderitaan dan kesengsaraan. Sedangkan kematian merupakan nirwana, kesenangan yang teramat membahagiakan. Karena bisa melepaskan kita dari berbagai penderitaan.” ”Itu benar, Kisanak.” Kebo Benowo mengacungkan jempolnya. “lihatlah mereka yang tadinya hidup susah, lalu dalam keadaan sakit dan sekarat, akhirnya mati tersenyum. Mereka mengakhiri segala penderitaan dengan kematian. Untuk apa kita hidup di negeri mayat, jika itu bukan mayat yang sesungguhnya. Mereka semua hanyalah mayat-mayat berjalan, tidak memiliki rasa dan kepekaan. Meskipun punya jabatan dan kekayaan namun tidak bisa mereka nikmati. Maka kematianlah sesungguhnya kenikmatan setiap manusia, yang harus kita raih dan dapatkan.” ——————- “Saya setuju, Ki.” pengemis paruhbaya bangkit. “Jika demikian marilah kita songsong kematian…saya ingin mati!” teriaknya. Selanjutnya diikuti oleh para pengemis lainnya. Para pengemis bangkit dari duduknnya seraya berjalan-jalan keliling sambil berteriak-teriak menyongsong kematian. Ada juga yang nekad membenturkan kepalanya ke atas batu hingga pecah dan meninggal, ada juga yang terus berjalan menunggu ajal tanpa makan. “Hahahaha…mungkin itulah yang dimaksud Joyo Dento.” Kebo Benowo mengawasi para pengemis sambil tersenyum. *** “Hebat andika Joyo Dento.” puji Kebo Benowo seraya menepuk-nepuk bahunya. “Sekarang keadaan negeri Demak Bintoro akan dilanda oleh kekacauan, serta krisis kepercayaan. Itu semua alhasil dari hasutan kita agar masyarakat miskin antipati terhadap penguasa. Benar-benar cerdik daya pemikiran andika, Dento.” “Itulah yang harus kita ciptakan. Strategi pertama untuk menggoncang keaadaan negara. Setelah ini berhasil dan di dengar beritannya oleh para penguasa negeri Demak Bintoro, maka pertama-tama mereka akan mencari tahu penyebabnya.” ujar Joyo Dento. “Mungkinkah mereka akan menangkap kita sebagai penghasut?” tanya Loro Gempol. “Sangat tidak mungkin, Ki.” jawab Joyo Dento yakin. “Kenapa? Bukankah kita penghasutnya?” timpal Kebo Benowo. “Karena kita bukan menghasut tapi berbicara berdasarkan kenyataan. Mereka pun tidak mudah menuduh kita sebagi pengasut, dalam menciptakan kekacauan di negeri Demak Bintoro tanpa adanya bukti yang kuat.” terang Joyo Dento. “Benar juga, Dento.” Kebo Benowo menganggukan kepala. “Jika keadaan negara sudah kacau balau, rakyat tidak percaya lagi pada penguasa, maka mereka akan sibuk. Dalam keadaan seperti itulah kita mengadakan tindakan.” Joyo Dento mengepalkan tangannya. “Melakukan kudeta?” celetuk Loro Gempol. “Apa mungkin kita mampuh menggulingkan kekuasaan Raden Patah?” kerut Kebo Benowo. “Karena kekacauan seperti ini tidak seberaba, jika dibanding dengan kekuatan negara Demak Bintoro yang sesungguhnya. Lalu kita juga harus berkaca, apa mungkin kekuatan kita sudah cukup untuk melakukan penyerangan?” ——————- “Apa salahnya jika kita mencoba? Siapa tahu menang.” tambah Loro Gempol seraya menggenggam gagang goloknya. “Benar, kita mesti mencoba dan berusaha. Untuk mengukur kekuatan kita, sudah semestinya begitu.” terang Joyo Dento. “Namun dalam tindakan percobaan kita harus menciptakan strategi penyerangan yang berbeda. Agar kita pada waktunya tidak konyol dan membahayakan diri sendiri.” “Jika demikian ijinkan saya menyiapkan pasukan untuk menyerbu Demak Bintoro, Ki Benowo.” Loro Gempol Bangkit dari duduknya, langkahnya berat dan pasti. “Tunggu dulu, Gempol!” Kebo Benowo berteriak. “Kenapa mesti menunggu lagi? Bukankah kita akan mencoba kekuatan?” langkah Loro Gempol terhenti di depan pintu. “Benar, Ki Gempol. Namun ingatlah yang saya katakan tadi. Meski dikalangan rakyat miskin sedang terjadi kekacauan, namun itu belum seberapa.” terang Joyo Dento. “Kekacauan tadi hanya bersifat lokal, sangat kurang berpengaruh terhadap stabilitas keamanan negeri Demak Bintoro. Sebaiknya sebelum melakukan penyerangan sebarkan dulu kekacauan tadi hingga merebak seantero negeri Demak Bintoro.” urainya. “Benar, Gempol. Apa yang dikatakan Joyo Dento sebaiknya diikuti, karena dia sudah saya angkat sebagai penasihat.” ujar Kebo Benowo, seraya menepuk bahu Loro Gempol. “Baiklah jika itu perintah Ki Benowo.” Loro Gempol menganggukan kepalanya, seraya kembali ke tempat duduknya. ——————- “Baguslah jika andika setuju.” Kebo Benowo tersenyum bahagia, lalu melirik ke arah Joyo Dento, dalam benaknya menaruh berjuta harapan demi cita-citanya menggenggam kekuasaan di negeri Demak Bintoro. “Apa rencana berikutnya, Dento?” “Baiklah, kita menyusun strategi berikutnya.” Joyo Dento menempelkan jari dikeningnya seakan-akan berpikir sangat keras. *** “Syekh, rasanya sangat berat untuk menempuh jalan ma’rifat.” Kebo Kenongo nampak tidak ceria. “Ya, tentu saja.” “Mungkinkah saya harus bertahap? Menurut tahapan ilmu, Syekh?” “Tidak selalu, Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar perlahan bangkit dari duduknya. “Bukankah saya menyarankan jika seandainya andika kesulitan mengikuti ilmu Islam, hendaknya ikutilah ajaran agama yang andika anut. Bukankah andika tinggal satu atau dua langkah lagi menuju ma’rifat, setelah itu akrab. Orang yang akrab dengan Allah itulah seperti yang pernah saya uraikan sebelumnya.” “Ya,” Kebo Kenongo menggeleng, “Itu dibicarakan sangatlah mudah, Syekh. Namun untuk melaksanakannya terasa berat, dan sulit untuk membuka tabirnya. Jika sekali saja tabir itu sudah terbuka tentulah berikutnya akan lebih mudah.” “Benar,” Syekh Siti Jenar terdiam sejenak, matanya yang sejuk dan tajam beradu tatap dengan Kebo Kenongo. “Ya, hanya Sunan Kalijaga yang bisa…” gumamnya. “Sunan Kalijaga?” “Tidak perlu dipikirkan! Apalagi mempertanyakannya.” Syekh Siti Jenar kembali ke tempat duduknya. *** “Kanjeng Sunan Giri, tahukah anda tentang Syekh Siti Jenar?” tanya seorang jemaah paruhbaya, usai melaksanakan sholat zuhur di masjid Demak. “Ya,” Sunan Giri menatapnya, “Memang kenapa dengan Syekh Siti Jenar, Ki Demang?” “Dia telah meresahkan.” jawab Ki Demang. “Meresahkan?” “Ya,” “Memang apa yang telah dia perbuat, Ki Demang?” “Syekh Siti Jenar telah mengacaukan keadaan rakyat negeri Demak Bintoro, Kanjeng.” “Maksud, Ki Demang?” Sunan Giri mengerutkan dahinya. ——————- “Namun sebelumnya saya ingin tahu dulu.” “Tentang apa?” “Apakah Syekh Siti Jenar juga seorang wali seperti anda?” “Bukan! Dia hanyalah sosok yang tidak jelas asal usulnya. Juga ilmu yang didalaminya entah dari mana sumbernya.” “Tapi bukankah dia juga seorang ulama yang memiliki ilmu tinggi?” “Mungkin saja, Ki Demang. Tetapi dia bukan wali seperti saya dan yang lainnya. Selain asal usulnya tidak jelas, dia juga mempelajari ajaran Islamnnya entah dari mana?” “Berkaitan dengan itulah yang kini meresahkan dikalangan rakyat negeri Demak Bintoro, Kanjeng.” “Maksud, Ki Demang?” Sunan Giri menatap tajam wajah Demang Bintoro, dahinya dikerutkan. “Apakah Syekh Siti Jenar membuat ulah?” “Kemungkinan besar itulah yang sedang terjadi, Kanjeng.” “Tolong jelaskan, Ki Demang! Apa yang terjadi?” “Syekh Siti jenar telah menyebarkan ajaran sesat, Kanjeng.” “Ajaran sesat?” Sunan Giri terperanjat. “Benar,” “Maksud Ki Demang ajaran sesat seperti apa?” “Kehidupan ini adalah kematian…kematian adalah keabadian….” “Lalu?” “Lantas mereka banyak yang melakukan bunuh diri. Karena punya anggapan bahwa kehidupan ini adalah penderitaan. Buktinya mereka banyak yang miskin dan menjadi gelandangan. Sedangkan kematian itu adalah indah dan menyenangkan.” Demang Bintoro menghela napas, “Mereka punya anggapan dengan jalan kematian bisa terlepas dari semua penderitaan dan kesengsaraan…” “Celaka!” Sunan Giri menepuk keningnya. “Sehingga banyak yang berteriak-teriak seperti orang gila mencari kematian dan keindahan abadi yang diharapkannya. Lalu bunuh diri…” tambah Demang Bintoro. “Saya pun datang ke mesjid Demak dari kademangan tidak lain hanya ingin menyampaikan kabar ini kepada para wali.” “Ini merupakan hal yang sangat serius yang bisa mengancam ketentraman dan keamanan negeri Demak Bintoro.” Sunan Giri bangkit dari duduknya, lalu matanya menatap para wali lain yang sedang melakukan wirid. Dipanggilnnya mereka untuk berundingsejenak. “Jangan dulu pulang Ki Demang, andika harus menyampaikan kejadian ini pada para wali.” ——————- “Baiklah, Kanjeng.” Demang Bintoro menganggukan kepala, seraya menatap para wali yang mulai duduk berkeliling di tengah masjid sesuai permintaan Sunan Giri. *** ‘Bagaimana pun juga aku harus menghadap Ki Ageng Pengging. Meskipun dia tidak berambisi untuk menjadi penguasa negeri Demak Bintoro. Namun aku tidak rela jika bekas para abdi Majapahit berada dibawah bayang-bayang kekuasaan Raden Patah.’ ujar hati Joyo Dento, seraya tangannya menggenggam tali kendali kuda yang ditungganginya, berjalan pelan mendekati padepokan Syekh Siti Jenar. ‘Siapa tahu Ki Ageng berubah pikiran mendukung perjuangan ini, apalagi jika Syekh Siti Jenar turun tangan untuk membantu. Aku yakin pemberontakan ini tidak akan terlalu berat, karena mereka orang-orang sakti dan cerdas. Jauh berbeda dibanding dengan Kebo Benowo mantan rampok bego, hanya punya ambisi semata dan kekuatan yang belum tentu bisa menandingi para wali.’ Joyo Dento menghentikan langkah kuda, lalu dikatnya pada sebuah pohon di tepi jalan. ‘Tunggu saja kamu disini kuda. Karena tidak mungkin sanggup menaiki jalan yang menyerupai tangga. Biar aku berjalan kaki saja untuk menemui mereka. Joyo Dento meluruskan pandangannya ke depan, usai mengikat kuda tunggangannya. Lalu melangkah pelan, menaiki jalan yang dipapas menyerupai tangga. ‘Banyak juga jumlah anak tangga ini,’ tangannya menyeka keringat yang mulai membasahi keningnya. ‘…tapi akhirnya aku sampai juga dipuncak…eh…ternyata masih ada jalan lurus membentang menuju padepokan.’ Joyo Dento berhenti sejenak menikmati sejuknya udara pegunungan dan hijau ranumnnya dedaunan, serta pemandangan puncak gunung yang tersaput mega putih. “Indah!” gumamnya. “Tempat ini di tata sangat bagus, membuat orang kerasan. Kanan kiri jalan dihiasi oleh pepohonan hijau, rerumputan…Syekh Siti Jenar menyukai keindahan dan keasrian alam.” Joyo Dento menghentikan langkahnya di depan pintu pagar padepokan, “Sampurasun!” “Masuklah Joyo Dento!” terdengar suara yang menyebut namanya, sedangkan wujudnnya entah dimana. “Syekh Siti Jenarkah yang memanggil saya?” Joyo Dento memutar pandanganya, suara itu seakan-akan datang dari segala arah. “Bukankah aku ini sedang berada di depan pintu pagar padepokan?” gumamnnya. “Benar,” “Baiklah.” Joyo Dento membuka pintu pagar, seraya berdiri di depan pintu padepokan dan mendorongnya pelan. “Kenapa didalam tidak ada orang? Lantas Syekh Siti Jenar memanggil saya dari mana?” “Bukalah mata hati andika, Dento!” “Ki Agengkah itu?” Joyo Dento membelalakan matanya, menelisik ruang kosong, di depannya hanya terdapat hamparan tikar. “Benar, ini saya.” “Namun Ki Ageng tidak saya temukan, begitu juga Syekh Siti Jenar? Padahal suaranya seperti berada didepan saya.” Joyo Dento memijit-mijit dahinya. “Tataplah dengan mata terbuka, jangan dengan mata tertutup.” “Tapi saya sudah menatapnnya dengan mata terbuka, Ki Ageng Pengging. Namun saya tidak bisa menemukan keberadaan andika selain suara. Dan ruangan ini kosong, hampa, tidak ada orang?” Joyo Dento semakin kebingungan. Namun matanya merayap dan tertuju pada dua hamparan tikar yang berada dihadapannya. ——————- “Bukankah saya ada dihadapan andika, Dento?” ujar Kebo Kenongo, seiring dengan bergeraknya hamparan terusik angin sepoi tikar. Pelan-pelan wujud keduanya yang sedang duduk bersila mulai tampak. “Ki Ageng, terimalah sembah hormat hamba!” Joyo Dento langsung saja menekuk lututnya seraya mengacungkan kedua tangannya menyembah. “Begitu juga pada Syekh Siti Jenar, seorang wali yang memiliki kesaktian tinggi. Ijinkanlah hamba pada saat ini menghadap!” “Saya ijinkan, Dento.” Kebo Kenongo tersenyum. “Terimakasih, Ki Ageng.” lalu melirik ke arah Syekh Siti Jenar, wajahnya tampak memancarkan cahaya yang menyilaukan matanya, hingga tidak sanggup menatapnya. Joyo Dento pun menunduk. “Saya mohon maaf Syekh Siti Jenar karena telah lancang datang ke padepokan yang indah dan asri ini. Karena hamba punya maksud dan tujuan….” “Saya memaklumi, dan tahu akan tujuan dari kehadiran andika ke padepokan ini. Bukankah untuk meminta restu serta bantuan kami berdua atas upaya ambisi menggulingkan kekuasaan Raden Patah.” terang Syekh Siti Jenar. “Duh, mohon maaf Syekh. Ternyata andika memiliki ilmu sangat tinggi. Pantas saja Kebo Benowo dan kawan-kawannya sakti.” Joyo Dento semakin merunduk dan tercengang, atas kehebatan Syekh Siti Jenar yang tahu akan maksud kedatangannya. “Namun tidakah Syekh….” “Tidak, karena saya mengajarkan ilmu pada siapa saja yang mengingkannya. Kebo Benowo dan kawan-kawan mantan rampok yang memiliki ambisi untuk menggulingkan kekuasaan Raden Patah serta bermimipi ingin menjadi penguasa negeri Demak Bintoro adalah sebuah taqdir.” Syekh Siti Jenar seakan-akan sudah mengetahui setiap rencana, bahkan yang belum terujar masih tersimpan di dalam hati pun bisa diketahuinya. Lebih dari itu dia pun seakan-akan tahu masa depan yang akan terjadi. “Baik saya atau pun Ki Ageng Pengging tidak akan melarang tindakan andika, merestui pun tidak. Merestui atau pun tidak saya dan Ki Ageng Pengging adalah bagian dari taqdir andika semua.” “Lantas?” Joyo Dento bergumam, sudah kehabisan kata-kata. Sebab semua yang akan diucapkannya sudah mereka ketahui. “Jika saya sudah tahu seperti ini mungkin tidak akan berkunjung ke padepokan ini. Cukup dari kejauhan saya minta restu.” “Andika tidak perlu menyesal datang ke padepokan ini. Karena ini adalah perjalanan lahiriyah andika selaku manusia.” Syekh Siti Jenar menatap. “Sedangkan keinginan andika untuk membangkitkan kembali kekuatan Majapahit yang telah runtuh itu pun hak andika. Ki Ageng Pengging junjungan andika tidak mau terlibat bahkan memilih sebagai petani dan hidup di pedesaan itu pun bagian dari taqdir. Ki Ageng dan saya berbuat seperti ini karena sudah tahu apa yang akan terjadi dan teralami berikutnya.” “Saya tidak paham, Syekh.” Joyo Dento Semakin menunduk. “Namun meski pun kurang paham akan semuanya. Saya tidak akan surut untuk terus berjuang bersama yang lainnya demi kembalinya kekuasaan Majapahit. Tetapi bolehkah saya mengetahui apa yang akan terjadi pada saya dan lainnya?” “Tidak hanya andika yang terbunuh. Saya dan Ki Ageng Pengging pun akan mengalami hukuman mati.” jelas Syekh Siti Jenar dengan wajah tenang. “Kenapa? Benarkah itu? Tapi tidak mungkin saya menghentikan rencana ini, Syekh?” Joyo Dento garuk-garuk kepala, dalam benaknya muncul pemikiran antara percaya dan tidak terhadap ujaran Syekh Siti Jenar. “Bukankah Syekh ini orang sakti? Tidak bisakah menghentikan taqdir itu?” ——————- “Sudahlah! Andika tidak perlu bertanya lagi tentang taqdir. Jalani saja ambisi dan rencana semula. Jika ingin berhenti silahkan!” “Tapi tidak mungkin saya menghentikan rencana ini. Sebab kesempatan dan peluang baik seperti sekarang hanya datang satukali, mengingat dukungan penuh Kebo Benowo juga para pejuang Majapahit yang tidak menyukai bayang-bayang kekuasaan Raden Patah.” “Sudah terjawab bukan? Apa yang saya maksudkan tadi?” “Terjawab?” Joyo Dento semakin mengkerutkan dahinya. “Dento,” ujar Kebo Kenongo lirih. “Ya, Ki Ageng.” tatapan Joyo Dento penuh pertanyaan ke arah Kebo Kenongo. “Saya mohon diri, juga Syekh Siti Jenar. Niat dan rencana saya sudah bulat untuk meruntuhkan kekuasaan Raden Patah demi kembalinya kekuatan Majapahit.” lalu perlahan bangkit dari duduknya. Joyo Dento sudah meninggalkan padepokan Syekh Siti Jenar, langkahnya pelan mulai menginjak tangga paling atas, lalu ujung kakinya yang tidak lepas dari tatapannya menurun, menginjak yang berikutnya. Hingga akhirnya habis dan kembali ke sebuah pohon yang dijadikan tempat menambat kudanya. Sejalan dengan itu benaknya terus berpikir, mencerna setiap perkataan Syekh Siti Jenar begitu pula Kebo Kenongo. “Mereka berdua seakan-akan sudah tidak peduli pada urusan duniawi dan kekuasaan. Padahal mereka memiliki kemampuan dan ilmu yang cukup tinggi. Benar benar tidak habis pikir. Masih hidup malah berpikir dihukum mati. Kenapa bisa bilang akan kena hukuman mati? Bukankah itu ucapan seorang pengecut? Belum bertindak sudah takut pada hukuman mati yang dicap sebagai pemberontak dan mengganggu kesetabilan pemerintahan. Dia juga menyebut bahwa aku akan bertemu dengan kematian artinya kegagalan. Tidak mungkin? Bukankah aku suda memiliki strategi yang cukup hebat. Demak Bintoro sebentar lagi akan kacau dan goncang….” Joyo Dento telah berada di atas punggung kuda, lalu tangannya memegang tali kekang. Kuda pun dicambuk hingga berlari kencang meninggalkan padepokan Syekh Siti Jenar. Seiring dengan terbukanya sayap malam, yang diawali senja teramat singkat, ditandai warna langit yang memerah laksana darah peperangan. Taubah angkara yang mengundang banjir darah, hingga menciprat di atas lapisan awan putih. *** “Para wali yang saya hormati, itulah alasannya kenapa pada hari ini ada persidangan.” ujar Sunan Giri. “Haruskah kita melaporkan hal ini pada Sinuhun agar langsung mengirim prajurit ke Kademangan Bintoro untuk menangkap mereka.” timpal Sunan Muria. “Menurut hemat saya, sebaiknya kita selidiki dulu.” Sunan Kalijaga memutar pandanganya, lalu beradu tatap dengan Sunan Bonang. ‘Kanjeng, terjadi juga hal yang akan menyulitkan Syekh Siti Jenar. Rasanya perjalan waktu terlalu cepat untuk hal ini.’ batinnya. ‘Benar, Kanjeng.’ Sunan Bonang membalas tatapan Sunan Kalijaga, seraya bercakap dengan batin. ‘Cepat atau lambat itulah taqdir Syekh Siti Jenar. Namun bukan hari ini…masih ada beberapa saat..’ “Ada apa Kanjeng Sunan Bonang dan Kanjeng Sunan Kalijaga?” tatap Sunan Giri. “Maaf, Kanjeng Sunan Giri. Saya pun sependapat dengan Kanjeng Sunan Kalijaga, alangkah lebih baiknya sebelum bertindak dan melakukan penangkapan diadakan penyelidikan terlebih dahulu.” ujar Sunan Bonang. “Saya setuju, Kanjeng.” timpal Sunan Kudus. Ucapan itu diikuti oleh para wali yang sedang bersidang. “Ki Demang,” Sunan Giri memutar pandanganya ke arah Demang Bintoro. “Itulah keputusan kami selaku para wali. Semoga Ki Demang memaklumi.” “Terimakasih, Kanjeng.” Demang Bintoro mengagukan kepala, seraya menunduk hormat. “Laporan saya telah ditanggapi dan langsung dibawa ke mahkamah persidangan para wali. Serta kami sangat memaklumi sekali atas segala putusan yang telah para wali ambil. Sehingga saya pun akan melakukan penyelidikan yang lebih mendalam, mengenai ajaran Syekh Siti Jenar yang tersebar di Kademangan. Namun dalam hal ini kami bukanlah seorang ulama dan tidak terlalu paham akan ajaran Islam. Semoga bersedia kiranya para wali mengutus seorang ulama atau siapa saja yang paham betul akan ajaran Islam, sehingga dalam mengukur kesesatan ajaran yang disebarluaskan Syekh Siti Jenar tahu batasannya.” ——————- “Baiklah, Ki Demang.” ujar Sunan Giri, seraya memutar pandangannya pada para wali dan ulama yang berkumpul dalam persidangan di dalam masjid Demak. “Mungkin tidak wali yang pergi ke kademangan. Siapakah di antara ulama yang siap melakukan tugas ini, menyertai Ki Demang?” Keadaan hening sejenak, para wali dan ulama saling tatap satu sama lain. Etah apa yang terbersit dalam benak dan pikiran mereka masing-masing, seraya mengelus dada dan menarik napas dalam-dalam. Sepertinya dalam hati mereka ada sesuatu yang mengganjal, seandainya Syekh Siti Jenar dan pengikutnya benar-benar menyebarkan ajaran sesat dan menyesatkan, tentu saja akan mendapat hukuman yang sangat berat. Lantas yang mereka pikirkan, tegakah berbuat seperti itu? Meski disisi lain mungkin harus juga kebenaran itu ditegakan. Lalu barometer kesalahan dan kebenaran yang berlandaskan pada apa? “Adakah yang sanggup?” suara Sunan Giri memecah keheningan. “Saya kira para ulama merasa berat hati untuk menyampaikannya, Kanjeng.” Sunan Kalijaga menatap Sunan Giri. “Bagaimana jika saya saja?” “Jangan dulu, Kanjeng!” potong Sunan Giri. “Mengapa persoalan kecil ini mesti seorang yang berpangkat wali turun tangan? Jika yang lain tidak ada yang mampu saya kira barulah wali turun tangan. Masa diantara para ulama yang hadir disini tidak ada yang sanggup?” “Mohon maaf, Kanjeng Sunan Giri.” ujar Demang Bintoro. “Mungkin saya telah merepotkan yang hadir disini. Biarlah saya saja dan ahli agama yang ada di Kademangan melakukan penyelidikan ini. Semoga ilmu dia bisa saya andalkan, sehingga kami tidak keliru memberikan laporan. Selanjutnya saya mohon diri.” tanpa menunggu perkataan lebih lanjut dari Sunan Giri Demang Bintoro bangkit dari duduknya, setelah mengucapkan salam menghilanglah dibalik pintu masjid Demak Bintoro. ‘Bukankah tidak hari ini, Kanjeng?’ batin Sunan Bonang, matanya beradu dengan tatapan Sunan Kalijaga. ‘Ya, itulah sebuah kenyataan. Itu juga ada rentang waktu dan perjalanan bagi semuanya…..’ balas batin Sunan Kalijaga. ‘Bukankah Syekh Siti Jenar juga….’ ‘Ya, saya sangat paham akan dia…’ “Baiklah, para wali yang saya hormati. Mungkin untuk tindakan selanjutnya kita menunggu penyelidikan Ki Demang Bintoro.” Sunan Giri menutup persidangan. *** “Ki Benowo,” Joyo Dento duduk di atas kursi yang berada di samping Loro Gempol, tatapan matanya menyapu wajah Kebo Benowo. “Seperti yang saya duga, ternyata benar.” “Heran?” Kebo Benowo memijit keningnya. “Mengapa Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging tidak tertarik pada kekuasaan. Padahal kalau seandainnya kita berhasil meruntuhkan kekuasaan Raden Patah, sudah barang tentu mereka berdua akan mendapat kedudukan yang pantas. Disamping dukungan mereka yang sangat kita butuhkan dalam lingkaran perjuangan ini.” “Jangankan andika, Ki Benowo. Saya sendiri sangat kaget akan prilaku junjungan saya sendiri Ki Ageng Pengging.” ujar Joyo Dento. “Dia seakan-akan tidak peduli lagi pada tanah leluhurnya yang telah dikuasai Raden Patah, meski hampir ada keterkaitan darah. Namun Ki Ageng sendiri punya wewenang untuk menjadi penguasa, mengapa beliau rela berada dibawah bayang-bayang kekuasaan Raden Patah, yang seharusnnya kebalikannya.” “Mungkinkah Junjunganmu itu terpengaruh oleh ilmu Syekh Siti Jenar, sehingga dia tunduk dan setia sebagai pengikutnya?” timpal Loro Gempol. ——————- “Janganlah andika berkata demikian, Gempol!” tatap Kebo Benowo. “Bukankah Syekh Siti Jenar juga guru kita dan telah mengajarkan ilmu yang kita pinta, sehingga memiliki kesaktian tak terbatas.” “Namun menurut hemat saya, mereka itu telah benar-benar mempelajari ilmu yang di anut Syekh Siti Jenar?” kerut Joyo Dento. “Bukankah kita juga mempelajari ilmu beliau?” tukas Loro Gempol, “Tapi kita tidak berlaku seperti mereka?” “Karena jiwa kita belum sempurna, Gempol.” “Maksud, Ki Benowo?” “Yang kita pelajari dari Syekh Siti Jenar bukanlah ilmu kebhatinan menuju jalan ma’rifat. Tetapi yang kita pelajari dari beliau adalah ilmu kesaktian dan keduniawian, bagaimana kita menjadi perkasa dan penguasa.” terang Kebo Benowo. “Ya, benar itu, Ki Benowo.” Joyo Dento menganggukan kepala. “Meskipun saya hanya sebentar berada di padepokan Syekh Siti Jenar, sudah paham betul keadaan di sana. Mereka tidak memiliki ambisi untuk menjadi apa pun di dunia ini. Saya yakin mereka punya anggapan bahwa dunia ini tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa yang sedang mereka rasakan pada saat ini.” “Tidak masuk akal!” Loro Gempol garuk-garuk kepal. “Bukankah orang menjadi sakti dan menuntut ilmu itu demi kekuasan, harta berlimpah, dan mendapatkan perempuan-perempuan cantik?” “Sudahlah, Gempol! Kita tidak perlu ambil pusing dengan mereka. Karena kita bukan mereka, mereka bukan kita. Tujuannya pun berbeda, mereka mendapatkan ilmu demi tercapainnya ma’rifat dan kemanunggalan dengan Gusti. Sedangkan bagi kita itu semua tidak mendapatkan tempat dihati, yang harus kita dapat adalah kekuasaan negeri Demak Bintoro.” tandas Kebo Benowo. “Benar, sangat jernih pemikiran andika, Ki Benowo.” Joyo Dento mengacungkan jempolnya. *** Matahari senja di langit sebelah barat tampak menyipratkan warna merah, mengubah putihnya awan menjadi jingga. Seakan-akan cipratan darah di atas serpihan kain putih. Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo, Ki Pringgoboyo, Ki Ageng Tingkir dan para murid lainnya menyaksikan peristiwa itu dari ketinggian tangga yang menuju padepokan Syekh Siti Jenar. “Seperti suatu pertanda, Ki Bisono?” tatap Ki Donoboyo pada rekannya. “Namun pertanda apakah gerangan jika memang itu sebuah pertanda?” Ki Bisono mengerutkan dahinya. “Saya kira itu hal biasa, Ki.” Ki Pringgoboyo seakan tidak tertarik dengan fenomena alam tersebut. “Benar,” Ki Ageng Tingkir menimpali, namun sejenak dahinya mengkerut. “Meskipun ini sebuah kejadian biasa, bahwa setiap senja matahari akan menyipratkan warna jingga? Tetapi ada hal yang aneh….” “Maksud, Ki Ageng Tingkir?” Ki Bisono menatap. “Seperti sebuah pertanda.” “Pertanda?” para murid Syekh Siti Jenar serempak bertanya, jiwa dan pikirannya terhanyut oleh perkataan Ki Ageng Tingkir. “Tafsirkanlah dengan batin, sahabatku.” Ki Ageng Tingkir kembali menatap langit jingga. Sejenak tidak lagi ada yang berbicara, lalu semuanya mengangkat kepala mendongak ke langit. Mata dan batinnya mulai terusik untuk menoba mentafsirkan fenomena alam yang sedang terjadi. Raga mereka seakan-akan tidak merasakan hembusan angin senja itu, semuanya berdiri laksana patung. Jasad mereka sama sekali tidak bergeming dari tempatnnya berdiri, namun jiwa dan rasa menyatu bersama batin, seraya berusaha keras membuka tabir dan membaca alam. Mereka memiliki satu tujuan mencoba menafsirkan dan menterjemah ilmu hamamayu hayuning bawana, setelah berupaya memakmurkan bumi, maka jiwa menyatu dengan bumi. Sukma meresap dengan alam, batin menembus setiap serpih dan gerak, yang ada di alam raya. Pertautan antara alam raya dan ruh. “Ya, rasanya ini benar, Ki Ageng Tingkir.” Ki Bisono memecah keheningan. “Begitu juga yang saya rasakan, Ki Bisono.” Ki Ageng Tingkir menarik napas dalam-dalam, jasadnya mulai merasakan lagi semilir angin pegunungan. Pertautan jiwa dengan alam telah kembali pada raganya masing-masing. ——————- “Meskipun kita bisa merasakan belumlah bisa mentafsirkan tentang pesan yang alam sampaikan.” tambah Ki Ageng Tingkir. “Benar, Ki Ageng Tingkir.” Ki Chantulo menarik napas dalam-dalam. “Meski sukma kita sanggup berkomunikasi dengan alam, bertaut, dan bergumul. Rasanya sulit untuk meterjemah dan menafsirkan sabda alam?” “Padahal kita tahu maksud alam dengan kabaran dan berita yang dibawanya?” tambah Ki Donoboyo, “…itu sebuah pertanda buruk. Namun dalam hal ini kita sangat kesulitan untuk mengurai pesan tadi.” “Meski kita tidak bisa mengurai pesan yang disampaikan alam, yang penting kita paham pada pesan yang disampaikannya.” tukas Ki Bisono, “Disamping kita pun sudah sanggup mengamalkan ilmu hamamayuning bawana yang diajarkan Syekh Siti Jenar. Kekurangan kita kembali pada diri kita sendiri, karena tahapan kita belumlah bisa menyamai guru kita Syekh Siti Jenar.” “Ya, walau pun beliau sangat murah hati untuk memberikan ilmu apa saja yang kita pinta.” tambah Ki Ageng Tingkir, mulai melangkahkan kaki pelan, disampingnya Ki Bisono dan Ki Chantulo, yang lainnya mengikuti dibelakang. “Hanya kita yang menerimanya ternyata berat untuk mengamalkan dan menguasainya, meski pun kita secara bertahap dan berangsur-angsur sanggup menggenggamnya.” “Tidak ada salah, Ki Ageng Tingkir. Jika sekalian dalam pertemuan hari ini di aula padepokan fenomena alam yang kita lihat tadi, juga pesannya kita kemukakan kepada Syekh Siti Jenar.” ujar Ki Donoboyo. “Saya setuju, Ki.” Ki Chantulo mengangguk seraya mengacungkan ibu jarinya. “Saya juga.” begitu pun Ki Pringgoboyo dan yang lainnya menyetujui, seiring dengan langkah kakinya yang dipercepat menuju aula padepokan. Matahari semakin merendah, perlahan menyelinap di balik punggung gunung dengan warnanya yang semakin memerah. Para murid Syekh Siti Jenar satu persatu mulai memasuki aula padepokan, dan mengambil tempat duduk masing-masing bersila di atas tikar pandan yang terhampar. “Sebentar lagi senja berganti malam.” ujar Syekh Siti Jenar, matanya menyapu setiap wajah yang duduk bersila memenuhi aula padepokan. “…warna jingga, merah darah yang menciprat di antara serpihan awan pun akan hilang…semuanya ditelan gelap malam. Tanpa cahaya, tanpa ada redup, tanpa ada remang, sama sekali dalam gelap tidak akan pernah ada yang terlihat setitik bentuk pun. Kecuali hanya warna pekat yang disebut gelap gulita.” “Sungguh hebat beliau, Ki Ageng Tingkir?” Ki Bisono berbisik pada Ki Ageng Tingkir yang duduk disampingnya. ——————- “Benar, Ki Bisono. Baru saja kita akan bertanya tentang sabda alam dan pesannya, beliau sudah mengawali kalimat dengan yang akan kita tanyakan.” bisik Ki Ageng Tingkir, “Syekh Siti Jenar benar-benar waspada permana tinggal.” berdecak kagum. “Hamamayu hayuning bawana, yang telah andika amalkan belumlah cukup. Sehingga alam pun tidak utuh memberikan sabdanya, namun meskipun demikian andika telah sanggup menyatu dengan alam meski belum sempurna.” Syekh Siti Jenar memutar tasbih dengan tangan kirinya sambil duduk bersila, sorot matanya yang penuh wibawa seakan-akan sanggup menembus relung hati para muridnya. Bibirnya selalu meluncurkan dzikir, istigfar, dan takbir pada setiap sela-sela perhentian bicara. “Namun tidaklah terlalu jauh, hanya tinggal satu tingkat lagi. Akhirnya andika pun akan sampai pada tingkat penyatuan dengan alam. Ketika ingin menyatu dengan setiap heningnya malam, tetesnya embun, semilirnya angin, jingganya matahari, bukan soal yang berat. Andika semua akan bisa mencapai tahapan tadi, hanya tinggal selangkah.” “Benar, Syekh.” Ki Bisono menganggukan kepala. “Namun sesungguhnya kami telah berada pada tahap rahmatan lil alaminkah atau belum, Syekh?” “Andika sebetulnya tidak harus mendapat penilaian dariku.” tatapan Syekh Siti Jenar menyapu wajah Ki Bisono yang langsung menunduk, tidak sanggup beradu tatap. “Biarlah Allah SWT. yang memberikan penilaian. Namun dalam hal ini saya hanya memberikan barometer bagi andika tentang rahmatan lil alamin atau hamamayu hayuning bawana.” “Saya pun berpikir, Syekh. Sudahkah saya ini menjadi manusia yang telah memberikan rahmat bagi alam.” Ki Bisono mengerutkan dahinya, “…atau mungkin sebaliknya hanya menjadi laknatan lil alamin. Padahal banyak orang bilang jika dirinya sedang menebarkan rahmatan lil alamin, tetapi dalam kenyataannya mereka malah menciptakan sebuah keruksakan dan kehancuran.” “Benar, Syekh. Seperti yang dikatakan Ki Bisono, kebanyakan orang seperti itu, antara ucapan dan perbuatannya kontroversi.” tambah Ki Chantulo. “Andika tidak harus membicarakan orang lain.” Syekh Siti Jenar menghela napas dalam-dalam, “Biarlah mereka seperti itu, karena mereka berbuat demikian maka hasilnya pun akan mereka tuai pula. Namun sebaliknya, meski pun kita berusaha mengamalkan hamamayu hayuning bawana, tidaklah selalu menuai hasil baik….” “Maksud, Syekh?” para murid Syekh Siti Jenar serempak bertanya dan terkejut. ——————- “Tidakkah andika melihat sabda alam tadi?” Syekh Siti Jenar membelokkan tatapannya melalui jendela padepokan ke arah mentari yang hampir menghilang di balik punggung gunung. “Alam memberikan pesan berdarah?” “Saya belum paham?” Ki Chantulo garuk-garuk kepala. “Artinya berujung pada kematian. Namun andika jangan takut akan kematian, sebab cepat atau pun lambat pasti akan datang.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah murid-muridnya dengan tatapan mata tenang dan penuh wibawa, “Makanya saya ajarkan hamamayu hayuning bawana, agar memudahkan jiwa ini menyatu dengan alam dan kembali padanya. Orang takut akan kematian karena mereka menduga bahwa mati itu sangat sakit dan mengerikan. Padahal itu semua tidak benar, mereka yang merasakan sakit akan mati karena sebuah ketakutan dan ketidaksiapan. Padahal kapan pun dan dimana pun kita bisa menemuinya. Tidak harus sakit atau menyakiti. Hal mati itu sangatlah nikmat dan menyenangkan. Karena kematian itu sesungguhnya menyatunya kembali jiwa kita pada dzat sebelumnya. Bukankah ketika kita belum lahir ke dunia ini, apalagi belum beranjak menjadi manusia dewasa yang mengerti baik dan buruk, ilmu dan akal, miskin dan kaya, senang dan duka, bukankah hal itu tidak pernah kita rasakan sebelumnya? Itulah karena kita berada dalam dzatnya, yang teramat tentram dan tidak terusik oleh sesuatu dan apa pun.” urainya. “Bukankah kematian itu banyak orang yang tidak mengharapkannya?” ujar Ki Pringgoboyo. “Ya,” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, “Karena mereka tidak paham dan mengerti akan kematian.” “Mungkin mereka takut mati karena terlalu sayang pada istri, anak-anak, dan jabatannya?” Ki Bisono angkat bicara, “Sehingga dirinya diliputi rasa takut akan meninggalkan orang-orang yang dicintainya, serta harta benda dan kedudukannya. Akhirnya mati itu dibuatnya menjadi sesuatu yang menakutkan dan menyakitkan, Syekh.” “Andika tidak salah, Ki Bisono.” Syekh Siti Jenar menyapa wajah Ki Bisono dengan sorot matanya yang teduh dan tenang. “Terlalu mencintai kehidupan duniawi, yang bersifat fana dan sejenak. Lalu mereka lupa pada kehidupan hakiki, kehidupan yang sesungguhnya, setelah melewati pintu mati. Padahal kematian itu hanyalah sebuah pintu menuju keabadian yang didalamnya bisa berbalut dengan kenikmatan, penderitaan, kesedihan, tawa, duka, nestapa, itu semua tergantung kita menanamnya pada kehidupan sebelumnya, yaitu di dunia ini. Hasil pekerjaan apa pun yang pernah kita perbuat di dunia fana ini akan kembali kita tuai dan nikmati di alam sana. Bisa bermacam-macam. Namun bagi kita yang mempelajari hamamayu hayuning bawana tidaklah seperti itu. Apalagi kematian itu bukanlah suatu hal yang menakutkan apalagi menyakitkan, tetapi kematian itu sesuatu yang teramat indah dan menyenangkan. Jika mereka tidak bisa menemui ajal kapan pun dan dimana pun, tetapi kita sebaliknya.” “Bisakah kita menentukan ajal sendiri? Setidaknya mengetahui datangnya ajal?” tanya Ki Bisono. “Tentu saja. Karena kita berbeda dengan orang kebanyakan yang tidak mengetahui sama sekali akan ilmu hamamayu hayuning bawana.” Syekh Siti Jenar menghela napas sejenak, “Bukankah telah saya katakan bahwa ketika kita berada pada tahapan ma’rifat semuanya menjadi tampak. Lalu kita berada dalam akrab. Setelah itu barulah manunggaling kawula gusti.” “Ya, saya telah merasakannya pada tahapan ma’rifat. Semuanya jadi tampak, tetapi saya kesulitan menuju tahapan akrab dan manunggaling kawula gusti.” Kebo Kenongo berucap, “Meski pun demikian saya sedang berupaya menuju ke tahap yang ingin saya capai.” ——————- “Itu pasti akan tercapai, Ki Ageng Pengging. Selama kita tidak berhenti berusaha.” terang Syekh Siti Jenar. “Syekh, saya ingin kembali menanyakan tentang sabda alam tadi.” “Silahkan, Ki Chantulo!” “Maksud dari berita kematian itu seperti apa? Bukankah kita semua pasti akan mati?””Benar, Ki Chantulo. Namun maksudnya disini ada keterkaitan dengan Kerajaan Demak. Kematian yang dimaksud disini terkait dengan para penguasa negeri Demak Bintoro.” Syekh Siti Jenar menghentikan bicaranya, seraya jari-jemari tangannya memainkan untaian mata tasbih, dari mulutnya meluncur dzikir, istigfar, tahmid, tahlil dan tasbih. “Terkait pula dengan persoalan keyakinan, terkait pula dengan kekacauan yang mengancam keamanan dan ketentraman negara, terkait pula dengan banyak persoalan.” “Kenapa mesti beritanya sampai kepada kita? Seakan-akan itu semua akan kita alami?” “Ya,” “Jadi?” “Tidak perlu takut, bukankah saya sudah membekali andika semua dengan ilmu sehingga tidak menjadikannya aneh dan menakutkan. Sebaliknya kenikmatanlah yang akan kita sambut.” “Mengapa hal itu mesti harus menimpa kita, Syekh? Bukankah kita tidak melakukan kesalahan?” “Lupakah andika pada uraian saya tadi. Disini tidak lagi berbicara siapa yang benar dan salah? Karena ini semua sudah menjadi kehendak alam, sunatullah. Karena kehendak alam, makanya ilmu hamamayu hayuning bawana sebagai penyempurnanya.” “Saya kurang paham?” Ki Biosono memijit keningnya yang dikerutkan, lalu menatap tikar pandan yang didudukinya. ——————- “Rasanya, tidak perlu dipahami untuk saat ini. Pemahaman tentang hal tadi akan andika genggam menjelang peristiwa itu mendekat.” terang Syekh Siti Jenar tenang. “Meski andika tahu akan hal tadi, amalkanlah hamamayu hayuning bawana. Bertebaranlah seperti sebelumnya andika di atas tanah jawa dwipa ini untuk menyebarluaskan ajaran agama Islam.” “Baiklah, Syekh. Saya tetap akan menebar rahmat bagi sekalian alam. Rahmatan lil alamin, hamamayu hayuning bawana.” ujar Ki Bisono. “Karena apa pun yang saya lakukan dalam penyebaran agama Islam ini bukan untuk mencari popularitas, bayaran, apalagi jabatan atau kekuasaan, serta pengaruh, namun itu semua saya dasari dengan keikhlasan dan keridlaannya. Semoga pula Allah SWT. meridloinya.” “Amin.” *** “Malam ini cuaca cerah. Lihatlah bintang-gemintang berkedap-kedip di langit!” Joyo Dento mengangkat kepalanya mendongak ke langit, ” Persiapkanlah diri kalian, senjata, kuda, dan akal.” lalu menatap pasukan berpakaian serba hitam yang berbaris rapih. Mereka sejumlah pasukan pemberontak yang telah mendapat gemblengan olah kanuragan dari para pendekar berlatar rampok, Kebo Benowo dan kawan-kawan. Disamping ilmu keprajuritan dari Joyo Dento. “Bagaimana kesiapan andika semua?” Kebo Benowo keluar dari sebuah pendopo yang dijadikan markas. Tempat yang mereka diami terpencil dari penduduk, karena berada tepat di pinggiran hutan. “Saya kira mereka suda siap, Ki Benowo.” ujar Joyo Dento mendekat. “Baguslah jika telah siap.” Kebo Benowo mengangguk-angukan kepala. “Sasaran pertama?” “Tentu saja sesuai dengan rencana.” Joyo Dento setengah berbisik, “Malam ini kita harus bisa melumpuhkan Kademangan Bintoro. Jika sudah berhasil, langsung kita duduki dan kuasai. Disanalah selanjutnya pusatkan sebagian kekuatan kita, lalu perlebar sayap.” “Hahaha….andika memang cerdas, Dento.” raut wajah Kebo Benowo berseri, “Namun sudah memungkinkankah kita menggempur Kademangan Bintoro?” “Saya kira mungkin, Ki Benowo. Sebab kekuatan Kademangan Bintoro sudah melemah. Daya pikir rakyatnya sudah terpengaruh dengan ajaran hidup untuk mati. Yang andika ajarkan dari Syekh Siti Jenar itu, sehingga mereka banyak yang bunuh diri dan tidak semangat hidup.” terang Joyo Dento, “Apalagi membela negerinya dari serangan kita, memikirkan diri sendiri pun sudah tidak tenang.” “Benar, Dento.” seringai Kebo Benowo, “Hebat juga pengaruh ilmu Syekh Siti Jenar jika demikian…terutama untuk membuat kekacauan.” “Kapan kita akan berangkat?” Loro Gempol menyilangkan golok di dadanya, “Rasanya saya sudah tidak sabar ingin memenggal leher penguasa Kademangan Bintoro!” ——————- “Kita akan melakukan penyerangan jelang tengah malam.” jawab Joyo Dento. “Ketika mereka lengah dan baru saja menuju tempat tidur untuk bercengkrama dengan mimpi-mimpinya.” “Ya, saya setuju!” ujar Loro Gempol diiringi tawanya yang berderai. “Hai, para pasukan gelap sewu! Andika dalam penyerangan nanti jangan ragu-ragu untuk membunuh. Tidak perlu kalian mengasihani musuh sebelum mereka bertekuk lutut!” “Siap!” jawab pasukan gelap sewu serempak. “Hahaha…bagus jika andika semua sudah siap! Kita akan bergerak dan bertindak sesuai rencana yang telah disusun Joyo Dento.” terang Loro Gempol. Mereka percaya sepenuhnya pada setiap nasehat Joyo Dento. Malam semakin larut, udara terasa semakin dingin, mengusik pori-pori kulit meski berpakaian tebal tetap terasa. Meski berada dalam ruangan tetap angin malam menyelinap melalui lubang-lubang angin yang membentengi pendopo Kademangan Bintoro. Di ruang pendopo Kademangan Bintoro tampak Ki Demang, Ki Sakawarki, ulama yang dianggap berilmu paling tinggi di Kademangan, juga beberapa santrinya, dan ditambah beberapa prajurit senior. “Itulah hasil perundingan saya dengan para wali dan ulama di masjid Demak, Ki Sakawarki.” ujar Ki Demang Bintoro. “Jika memang demikian keputusan sidang para wali, insya Allah saya mulai besok akan melakukan penyelidikan yang lebih mendalam tentang ajaran Syekh Siti Jenar.” ujar Ki Sakawarki. “Mohon maaf, Guru.” ujar Santri penuh hormat, “Menurut yang saya ketahui, sesungguhnya bukan hanya rumor. Namun benar bahwa ajaran Syekh Siti Jenar yang menyesatkan telah tersebar di Kademangan Bintoro.” “Benarkah?” “Benar, Guru. Kemarin saya melewati pasar, di sana banyak orang miskin yang berbicara ngelantur. Serta dari mulutnya komat-kamit menyebut nama syekh Siti Jenar.” “Apa yang dibicarakannya?” Ki Sakarwaki menyapu wajah santri dengan tatapan matanya, “Ngelanturnya seperti apa sehingga andika menyimpulkan sesat?” “Mereka berbicara bahwa hidup itu lebih indah dari pada mati. Tidak ada artinya kita hidup jika hak kita dirampas oleh penguasa Demak. Hidup untuk mati, mati itu indah, hidup Syekh Siti Jenar!” ki santri berhenti sejenak, “Itulah yang saya dengar dan lihat, Guru.” “Mati itu indah? Celaka!” Ki Sakawarki terperanjat. “Yang paling celaka, mereka telah berani mengatakan bahwa hak hidup mereka dirampas oleh penguasa Demak.” Ki Demang tersentak, mukanya berubah angker, “Beraninya Syekh Siti Jenar mengajari rakyat Kademangan Bintoro untuk berkata lancang! Jelas selain menyesatkan juga punya tujuan makar terhadap pemerintahan yang syah.” “Benar pendapat, Ki Demang!” Ki Sakawarki menganggukkan kepala, tangannya terkepal giginya gemeretak. “Sudah sepantasnya kita mengadakan tindakan dengan segera!” “Ya, Ki Sakawarki. Saya kira alasan seperti itu sudah cukup untuk melakukan penangkapan terhadap Syekh Siti Jenar dan pengikutnya.” Ki Demang Bintoro bangkit dari duduknya, tangannya dikepalkan sekuat tenaga. “Karena mereka telah melakukan dua kesalahan. Pertama menyampaikan ajaran sesat, kedua telah berani mempengaruhi rakyat untuk berbuat makar.” “Apakah kita akan langsung menangkap Syekh Siti Jenar? Atau segera melaporkan hal ini pada Para Wali dan Raden Patah?” “Sebelum melaporkan ke kerajan Demak dan para Wali sebaiknya kita melakukan penangkapan terlebih dahulu pada pengikutnya. Agar pelaporan kita disertai oleh bukti yang meyakinkan.” ujar Ki Demang. “Besok pagi saya akan memerintahkan beberapa orang prajurit untuk melakukan penangkapan! Saya minta agar Ki Sakawarki beserta para santri menyertainya!” “Baiklah, Ki Demang. Besok pagi akan saya kerahkan para santri menyertai para prajurit kademangan untuk melakukan penangkapan.” ——————- “Bagus.” “Serbuuuuuuu!!!!” tiba-tiba terdengar teriakan di halaman kademangan, dibarengi suara benturan senjata. “Ada apa diluar sana?” Ki Demang Bintora tersentak kaget, belum juga mulutnya terkatup sudah diusik oleh suara yang menganggetkan. “Sepertinya ada peretempuran, Ki Demang?” Ki Sakawarki bangkitdari duduknya seraya menghunus keris, begitu juga para santrinya. “Ke….” belum juga Ki Demang melanjutkan perkataannya, dengan tergesa masuklah seorang prajurit penjaga. Langsung merunduk di hadapan Ki Demang seraya menghaturkan sembah. “Mohon ampun, Ki Demang.” “Apa yang terjadi diluar sana?” “Celaka, Ki Demang. Kademangn kita telah diserbu para murid Syekh Siti Jenar….” “Murid Siti Jenar?” Ki Sakawarki tercengang. “Itulah yang mereka sebut-sebut ketika melakukan penyerangan di luar sana.” terang prajurit. “Berarti itu bukan hanya dugaan, Ki Sakawarki. Tetapi benar yang kita simpulkan tadi. Mau tidak mau sekarang juga harus bertindak dan mengadakan perlawanan.” Ki Demang segera memasuki kamarnya, seraya kembali menghunus pedang dan mengenakan pakaian perang. “Seluruh prajurit harus berperang dan menumpas antek-antek Syekh Siti Jenar. Jangan segan-segan untuk bertindak tegas!” selanjutnya keluar dari ruangan, diikuti Ki Sakawarki beserta para santrinya dan pasukan prajurit. ——————- Dalam keremangan malam yang diterangi kerlap-kerlipnya bintang di langit. Bulan belum lagi menjadi purnama, di pelataran kademangan Bintoro tampak berkelebatannya bayangan prajurit dan pasukan Gelap Sewu yang sedang bertarung. “Hahaha…..jangan sisakan yang tidak mau menyerah. Ilmu Syekh Siti Jenar menyertai kita!” teriak Loro Gempol yang berada di atas punggung kuda, menerobos pasukan lawan sambil membabatkan goloknya. “Tobaattttt….!” teriak seorang prajurit yang terkena sabetan golok Loro Gempol, terhuyung dan roboh dengan luka parah di lambungnya. “Hahaha….perlihatkanlah kehebatan kalian para prajurit dan petinggi negeri Demak! Saya yakin ilmu para wali tidak akan bisa mengalahkan ilmu guru kita, Syekh Siti Jenar yang agung.” Loro Gempol terus mengamuk, menerjang gelombang pasukan prajurit Kademangan Bintoro yang berlapis-lapis. “Ki Demang, dengarlah teriakan lelaki yang sedang mengamuk dan berusaha menerobos lapisan prajurit kita!” bisik Ki Sakawarki. “Benar, ternyata dia murid Syekh Siti Jenar.” Ki Demang Bintoro menggeleng-gelengkan kepala. “Betapa angkuhnya dengan kesaktian yang dimilikinya, Ki Sakawarki?” “Mengagunggkan Syekh Siti Jenar dan merendahkan para wali terhormat, Ki Demang.” “Sanggupkah kiranya kita mengalahkan mereka?” “Tidak perlu ragu, Ki Demang. Saya punya keyakinan Allah SWT. akan melindungi kita. Lihatlah jumlah pasukan kita lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan pasukan musuh yang berpakaian serba hitam.” “Saya kira pasukan mereka harus ditutup ruang geraknya. Lalu robohkan pimpinannya yang sedang mencoba menembus lapisan pertahanan para prajurit. Jika pimpinannya roboh mereka akan mundur.” ujar Ki Demang Bintoro. “Biar saya yang akan loncat dan merobohkannya!” ujar Ki Sakawarki seraya bersiap-siap untuk loncat. “Kelihatannya dia bukanlah orang yang mudah dikalahkan. Karena tebasan senjata para prajurit seakan-akan tidak bisa melukai tubuhnya.” “Ki Demang, saya kira di dunia ini tidak ada orang yang hebat kecuali Allah. Tidak ada salahnya jika saya mencoba menghadapinya demi mempertahankan tanah tercinta dari kedzaliman. Maka jihadlah jalan keluarnya.” Ki Sakawarki tanpa menunggu ucapan Ki Demang berikutnya, seraya dirinya menghunus keris dan melesat ke angkasa melewati barisan prajurit yang berlapis-lapis. “Hiaaaaattttt…….!!!!” “Pasukan pemanah bersiaplah kalian di belakangku! Jika pasukan terdesak, bertindaklah kalian!” “Siap, Ki Demang!” pasukan pemanah bersiap, untuk melepas anak panah. Busurnya sudah dipegang dengan kuat, talinya ditarik, anak panahnya dipasangkan, tinggal melepas sesuai perintah. Tubuh Ki Sakawarki yang melayang di angkasa terlihat sangat enteng dan ringan, bagaikan burung elang dengan sorot matanya yang tajam. Lalu menukik ke bawah, berbarengan dengan tendangan kaki kanannya yang menghantam dada Loro Gempol. ——————- “Aduhhhh….!!!” betapa terperanjatnya Loro Gempol, ketika ada lelaki berjubah putih yang turun dari langit dan mengirimkan tendangan keras ke arah dadanya, hingga dirinya terpental dan jatuh dari punggung kuda. “Makhluk apakah yang menendang dadaku hingga terasa sesak dan panas….membakar sekujur tubuhku….” “Bukankah andika murid Syekh Siti Jenar yang sakti?” Ki Sakawarki melayang dan berdiri dihadapan Loro Gempol yang terhuyung, seraya tangan kirinya memegang dada. “Siapa andika? Mengapa bisa terbang seperti Syekh Siti Jenar guru saya?” “Saya Sakawarki, muridnya Sunan Kalijaga. Andika mengaku muridnya Syekh Siti Jenar dan menganggap remeh para wali. Ternyata ilmu yang andika pelajari dari Syekh Siti Jenar tidak seberapa?” Ki Sakawarki mendekat, “Andika harus ditangkap karena telah berani melakukan pemberontakan dan……” Hiatttt….belum juga Ki Sakawarki selesai berbicara, Kebo Benowo dengan cepat menyambar tubuh Loro Gempol yang terhunyung-huyung. Dinaikan ke atas kuda dan melarikan diri dari pertempuran. “Mundurrrrrrr!!!!” teriak Kebo Benowo, seraya memacu kudanya dengan cepat. “Jangan lari keparat!” Ki Sakawarki bersiap untuk mengejar, namun Lego Benongo menghadangnya. “Kematian itu indah, kehidupan ini adalah penderitaan. Karena kematian lebih baik dari hidup miskin dan terjajah, hamamayu hayuning bawana.” ujar Lego Benongo, seraya menyilangkan golok di dadanya. “Tidak salah yang andika ucapkan, Ki Sanak?” Ki Sakawarki mengurungkan gerakan silatnya, sejenak berdiri dan mencerna ucapan Lego Benongo. “Mungkin inikah yang dinamakan sesat?” “Siapa yang sesat? Andikalah dan para wali, juga penguasa negeri Demak Bintoro yang sesat?” lalu Lego Benongo menyelinap di antara lautan prajurit yang merangsek, setelah itu melarikan diri. “Aku jadi kehilangan kejaran.” Ki Sakawarki mengincar salah seorang pasukan gelap sewu untuk ditangkap. Mereka terlihat berlarian dari medan tempur setelah pimpinannya menghilang ditelan gelapnya malam. “Sulit juga menangkapnya. Mereka pintar menyelinap!” “Kademangan Bintoro telah terbebas dari pemberontak!” teriak para prajurit. Sebagian berjaga-jaga, yang lainnya menolong yang terluka, serta mengangkut korban tewas. “Ki Sakawarki, benar bukan mereka muridnya Syekh Siti Jenar?” Ki Demang Bintoro berdiri di samping Ki Sakawarki. “Ya, namun mungkinkah beliau mengajarkan ajaran seperti ini?” “Mengapa tidak mungkin?” ujar Ki Demang, “Bukankah kita sudah berhasil menangkap hidup-hidup salah seorang muridnya yang mengaku anggota pasukan gelap sewu. Orang ini kita bawa ke pusat kota Demak untuk memasuki persidangan para wali sebagai saksi dan bukti.” “Dimana dia?” “Dia berada dalam penjagaan para prajurit.” Ki Demang menunjuk ke utara, seraya kakinya melangkah pelan. “Mari kita tanyai!” ——————- “Baiklah, mudah-mudahan bisa memperkuat dugaan kita dalam persidangan di majelis para wali.” Ki Sakawarki melangkah pelan disamping Ki Demang Bintoro. Ketika langkah keduanya hampir mendekat, para prajurit penjaga berteriak. Menyampaikan kabar bahwa, murid Syekh Siti Jenar bunuh diri dengan membenturkan kepalanya ke dinding hingga kepalanya pecah. Mendengar kabar demikian, Ki Sakawarki dan Ki Demang terkejut. Keduanya saling tatap seraya mengurut dada dan menarik napas dalam-dalam. “Sangat kuat pengaruh ajaran Syekh Siti Jenar, Ki Sakawarki.” Ki Demang Bintoro menggeleng-gelengkan kepala saat melihat jasad anggota pasukan Gelap Sewu yang terbujur kaku dengan kepala pecah, berlumuran darah. “Ajaran hidup mati, mati hidup.” “Ki Demang, kita sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa benar ajaran Syekh Siti Jenar itu sesat dan menyesatkan.” Ki Sakawarki berjongkok disamping jasad. “Cukup bukti kita untuk kembali melaporkan hal ini ke hadapan para wali, Ki Sakawarki.” “Benar, kita harus segera melapor ke pusat kota Demak!” Demang Bintoro menganggukan kepala. “Sebagai bukti tidak ada salahnya jika jasad ini dibawa.” “Menurut hemat saya sebaiknya jasad ini kuburkan saja di sini selayaknya. Kasihan jika harus dibawa ke Demak, sebab perjalanan kita memakan waktu hampir seharian. Setelah itu baru keesokan harinya kita bisa menguburkan setelah diperiksa para wali.” terang Ki Sakawarki. “Tidak ada salahnya jika jasad ini dikuburkan berbarengan dengan korban lainnya.” “Tapi dia beraliran sesat, Guru?” ujar seorang santri yang berjongkok disampingnya. “Ajarannya yang kita anggap sesat. Bukankah jasadnya tetap perlu kita hormati dengan penguburan yang selayaknnya.” terang Ki Sakawarki. “Saya setuju,” Demang Bintoro menganggukan kepala, “Prajurit kuburkanlah mereka dengan layak, begitu juga para korban tewas lainnya.” lalu memerintah. *** Padepokan Syekh Siti Jenar yang berada di kaki bukit Desa Khendarsawa, tampak hening. Matahari pagi mulai meninggi, kirimkan sinar terang dan kehangatannya. Cahayanya menerobos setiap celah dan ruang yang berada di atas bumi, tidak ada kecuali, tidak pula membeda-bedakan, seluruhnya terbagi sesuai dengan ketinggian matahari berada. Nun jauh di atas jalan yang terbentang panjang dan penuh kelokan, dua orang penunggang kuda bergerak cepat. Jalan yang membelah Desa Khendarsawa akan melintas ke arah padepokan Syekh Siti Jenar. ——————- Penunggang kuda yang berada disampingkanannya tampak tegap dan kuat, tangan kirinya menuntun kuda disebelahnya, tampak terhuyung. Meringis kesakitan, tangannya berkali-kali memijit dadanya. “Aduhhhhh…..sakit…sesak….” keluhnya. “Tenang, Gempol. Padepokan Syekh Siti Jenar telah dekat.” ujar Kebo Benowo, mempercepat langkah kuda yang ditungganginya. “Saya sudah tidak kuat lagi, Ki Benowo.” keluh Loro Gempol, “Punya ajian apa sesungguhnya Kiai Kademangan Demak itu?” “Saya juga tidak tahu, Gempol.” terang Kebo Benowo, “Kita tanyakan semua ini pada guru kita di padepokan nanti. Hussss…hiahhh!” Kuda yang ditunggangi Kebo Benowo dan Loro Gempol, berhenti di kaki bukit, persis di depan jalan menanjak. Tanah bukit yang dipapas menyerupai anak tangga bertingkat itu tepat berada di bawah padepokan Syekh Siti Jenar. Kebo Benowo loncat dari atas kuda, perlahan menurunkan Loro gempol yang terhuyung. Keduanya menaiki tangga dengan berat, setelah mengikat kedua kuda tunggangannya di bawah pohon rindang. “Keparat!” geram Loro Gempol, “Keterlaluan Syekh Siti Jenar ini, tinggal di dataran tinggi…..” keningnya meneteskan keringat dingin, tangannya memijat dada, langkahpun tidak seimbang. “Tidak perlu bicara seperti itu, Gempol.” bisik Kebo Benowo. “Adikan masih tidak menyadari juga kalau guru kita ini memiliki kesaktian tinggi? Apa pun yang kita bicarakan meskipun jauh beliau bisa mendengarnya.” “Omong kosong! Jika memang demikian tentu dia tahu ketika kita berada dalam kesulitan….” gerutu Loro Gempol. “Sssssssttttttt…” Kebo Benowo meletakan telunjuk dimulutnya. “Andika belum paham juga dengan ajaran hamamayu hayuning bawana.” terdengar suara Syekh Siti Jenar tepat ditelinga keduanya, “….bukankah kalian tidak boleh menebar kerusakan dimuka bumi ini, justru harus sebaliknya.” “Syekh?” Kebo Benowo terperanjat, begitu juga Loro Gempol. “Tuh, benar yang saya katakan, Gempol?” “Ya,…..” wajah Loro Gempol mendadak pucat dan cemas. “Maafkan saya, Syekh. Tidak ada maksud untuk menjelekan…” lalu memutar kepalanya, mencari wujud yang memiliki suara. ——————- “Andika tidak akan bisa melihat saya di sana. Karena wujud saya tidak di sana.” suara Syekh Siti Jenar semakin menempel di dalam gendang telinga keduanya. “Dimanakah, Syekh?” teriak Kebo Benowo, tidak menghentikan langkahnya. Hingga keduanya telah berada di atas tangga terakhir, dalam jarak beberapa depa dari gerbang padepokan. “Itu beliau, sedang berbincang-bincang dengan Ki Ageng Pengging.” matanya terbelalak. “Lalu suara tadi?” Loro Gempol menggeleng-gelengkan kepala. “Bukankah yang berada di halaman padepokan itu Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng pengging? Sedang bercakap-cakap. Mengapa suaranya…..” “Syekh, ketika saya sudah berada dalam tahapan ma’rifat, sangatlah sulit untuk mengungkapkannya dengan kalimat.” Kebo Kenongo berdiri dihadapan Syekh Siti Jenar. “Tadinya saya ragu, tidak bisa mencapainya.” “Ya, itulah ma’rifat.” Syekh Siti Jenar menganggukan kepala, “Terasa lebih nikmat dibanding berada pada tahapan thariqat.” “Benar, Syekh.” Kebo Kenongo menganggukan kepala, “Kenikmatan dalam ma’rifat sepertinya sangat indah. Dunia ini terasa sangatlah kecil dan tidak berarti….” “Ma’rifat itu berada dalam alam jiwa, Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar mengibaskan jubah hitam yang berlapis kain merah di dalamnya. “Sedangkan kita sekarang berada dalam alam jiwa dan jasad. Jasad tetap harus terbungkus pakaian dan jubah, meski bukan kepuasan, tetapi hanyalah syarat yang dinamakan kehidupan bagi orang kebanyakan. Satukanlah jiwa dan jasad itu, maka disitulah ma’rifat seutuhnya akan terwujud.” “Jadi ma’rifat yang saya alami belum utuh, Syekh?” “Tentu.” Syekh Siti Jenar menganggukan kepala. “Kita sebelum mengenal Gusti dan menuju akrab, hendaklah mengenali dulu diri sendiri. Ki Ageng Pengging, saat ini sudah masuk pada tahapan yang saya maksud.” “Jadi saya baru mengenal diri?” “Setelah itu kenalilah Gustimu, barulah akrab. Sebelum akrab ma’rifatlah seutuhnya.” terang Syekh Siti Jenar, “Satukanlah yang tercabik, genapkanlah yang ganjil, dekatkanlah yang jauh, rapatkanlah yang renggang. Hingga manunggaling kawula wujud.” “Manunggaling kawula wujud?” “Maunggaling kawula wujud, ma’rifat seutuhnya. Tahapan orang yang mengenal dirinya, hingga berikutnya manunggaling kawula gusti. Wujud adalah jiwa, jiwa adalah jasad, jasad maujud jiwa, jiwa maujud jasad.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, perlahan tubuhnya menembus pohon, lalu mengeluarkan sebelah tanganya dari dalam. “Saya berada dalam pohon, setelah itu kembali.” “Ya, Allah.” Kebo Kenongo terkagum-kagum, matanya seakan-akan tidak bisa berkedip, menyaksikan Syekh Siti Jenar yang telah keluar dari dalam batang pohon. “Betapa hebatnya ilmu yang Syekh miliki.” “Ilmu itu milik Allah. Saya adalah manusia biasa, itu hanya menjelaskan manunggaling kawula wujud. Hingga wujud ini bisa menjadi halus seperti jiwa, jiwa pun bisa keras seperti wujud.” lalu Syekh Siti Jenar duduk bersila di atas rumput hijau, tidak bergerak. Perlahan keluar satu sosok Syekh Siti Jenar lain, lalu melangkah mengitari yang sedang bersila. “Inilah jiwa, inilah jasad, maka menyatu, manunggaling kawula wujud.” ——————- “Subhanallah…..” Kebo Kenongo terbelalak untuk kesekian kalinya, kedipun seakan-akan hilang dari kelopak matanya. “Itulah manunggaling kawula wujud. Dalam tahapan ma’rifat seutuhnya manusia bisa memisahkan jiwa dengan jasad, menyatukannya kembali. Namun itu bukanlah mati, sebab jasad yang saya lepas dalam keadaan hangat. Hanya gerak dan geriknya berada di luar.” “Lantas orang yang bisa meringankan tubuh dan mengeluarkan tenaga dalam, membuat musuh terpental, berada pada tahapan apa?” “Dalam tahapan syariat.” Syekh Siti Jenar lalu memukul batu padas seukuran kelapa, diremasnya hingga bertebaran laksana debu. Jasadiah yang dilatih akan menghasilkan kanuragan, dipadukan dengan batin keluar tenaga dalam.” lalu membuka telapak tangan dan dihentakan pada batang pohon. Krak, patah, dan jatuh di samping Kebo Kenongo. Kebo Benowo dan Loro Gempol sama sekali tertahan menyaksikan Syekh Siti Jenar dengan ilmunya yang tinggi sangat sulit mencari bandingannya. “Harus selalukah mengeluarkan tenaga dalam dengan batin?” “Maksud batin disini bukanlah ada pada tingkatan ma’rifat, tetapi pikiran dan hati yang terfokuskan. Konsentrasi.” terang Syekh Siti Jenar, “Untuk mencapai ilmu kanuragan dan sebangsanya yang meliputi kekuatan jasadyah, tidak perlu mencapai ma’rifat.” “Termasuk hakikat dan thariqatnya?” “Benar, karena kanuragan masih berada dalam lingkar jasadyah, keangkuhan, kesombongan, emosional, semangat untuk mencari lawan, memukul, dan amarah.” “Saya paham, Syekh.” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan kepalanya, “Meskipun sangat hebat dan sakti orang yang berada dalam tahapan ma’rifat tidak akan sewenang-wenang mempertontonkan kesaktiannya, karena segala hal dalam dirinya telah terkendali termasuk nafsunya.” “Ki Ageng Pengging, jangan melupakan kebutuhan jasad! Meski kita berasa pada tahap ma’rifat seutuhnya.” ujar Syekh Siti Jenar, “Kebutuhan jasad adalah syarat hidup, meski sebetulnya tidak makan pun tidak akan merasa lapar. Namun kita makluk yang memiliki jasad, janganlah menyiksa dan memenjarakan kebutuhannya.” “Saya paham, Syekh.” Kebo Kenongo mengangguk. “Ma’rifat itu seakan kita berada di atas ketinggian dan bisa mencapai ke segala arah, menyentuhnya, merubahnya, menikmatinya, merasakannya….” “Lanjutkanlah, sempurnakanlah ma’rifat itu…..” Syekh Siti Jenar melangkah pelan. “Syekh,” rintih Loro Gempol, baru berani mendekat. “Sembuhkanlah dada saya yang terasa sakit dan sesak.” “Andika mendapat tendangan petir geni dari Ki Sakawarki. Tentu saja akan terasa sesak dan panas….” Syekh Siti Jenar hanya dengan tatapan matanya, mengobati rasa sakit yang di derita Loro Gempol. “Terimakasih, Syekh.” Loro Gempol dengan penuh hormat mencium kaki Syekh Siti Jenar. “Saya sudah kembali pulih. Syekh, benar-benar sakti. Bisakah semua ilmu yang Syekh miliki diturunkan pada saya?” “Jika andika mau,” Syekh Siti Jenar mengangkat bahu Loro Gempol agar tidak lagi mencium kakinya. “….dan sanggup menjalaninya.” “Tidak bisakah jika ilmu kesaktian Syekh langsung diturunkan pada saya?” “Ilmu kanuragan sangat mudah diturunkan! Namun untuk mencapai tahapan ma’rifat perdalamlah sendiri, saya hanya memberi petunjuk.” “Baiklah, kalau ilmu ma’rifat lain kali saja. Sekarang turunkanlah ilmu menendang yang lebih hebat dari Ki Sakawarki.” “Pulanglah! Ilmu itu sudah andika miliki.” “Benarkah itu, Syekh?” “Tendanglah batu padas itu!” Syekh Siti Jenar mengarahkan telunjuknya pada batu padas yang seukuran tubuh kerbau. Terletak di halaman padepokan. ——————- “Hiattttt!” Loro Gempol loncat, tendangannya menghantam batu. Tidak pelak lagi, hancurlah berkeping-keping. “Terimaksih, Syekh. Akhirnya saya bisa mebalas Ki Sakawarki. Sekarang juga saya mohon pamit.” “Gempol….Gempol…” Kebo Kenongo hanya menggelengkan kepala menyaksikan Loro Gempol dan Kebo Benowo, yang sudah turun dari padepokan Syekh Siti Jenar. Hingga lenyap ditelan ketinggian. “Masih ada orang seperti dia? Kenapa pula Syekh memberikan ilmu dengan mudah kepada mereka?” “Tidak sepantasnya kita sebagai makhluk Allah menyembunyikan ilmu.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Kebo Kenongo dengan tatapan matanya. “Jika itu dilakukan maka kita bertentangan dengan sipat Allah yang Maha Pemurah, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang. Kikir itu adalah sipat Syetan, menyembunyikan pun demikian. Bergerak luruslah dengan sipat-sipat Allah, menyatulah didalamnya. Karena sipat-sipat Allah itu bukan untuk dibicarakan dan dibahas secara panjang lebar, tetapi harus diamalkan.” “Mengamalkan itulah yang berat, Syekh.” ujar Kebo Kenongo. “Kebanyakan manusia terkadang sangat keberatan jika orang lain menginginkan ilmu yang dimilikinya?” “Tentu saja. Karena masih menyatu dengan kebalikan sipat-sipat Allah, yang saya ungkap tadi.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, “Terkadang manusia berpikir, betapa susah untuk meraih ilmu, betapa berat untuk mendapatkannya, betapa harus berkorban tenaga dan harta untuk meraihnya, maka jika demikian haruskah diberikandengan cuma-cuma?” “Syekh sendiri?” “Itulah saya seperti Ki Ageng Pengging lihat. Mengapa lagi harus menentang sipat-sipat Allah jika kita sudah berada dalam lingkarnya, bukankah kita berada dalam manunggalnya.”ujar Syekh Siti Jenar. “Apalagi yang saya inginkan?” “Meski saya kurang begitu paham maksudnya, sedikit-demi sedikit akan berusaha mencernanya.”Kebo Kenongo menempelkan telunjuk dikeningnya. “Pantas saja sangat jarang orang pemurah semacam, Syekh. Karena mereka masih berada dalam tahap syariat, kebutuhan jasadyahlah yang paling utama. Hingga saya berpendapat apalagi yang tidak bisa Syekh dapatkan? Semuanya berada dalam genggaman.” “Nafsu duniawi itu akan sirna, seperti saya uraikan sebelumnya.” “Kenapa Sunan Kalijaga dan para wali yang setarap ilmunya dengan Syekh lebih menyukai berada dalam lingkar kekuasaan?” “Itu bukan tujuan mereka untuk meraih kekuasaan. Terutama Sunan Kalijaga, jika dia ingin berkuasa tentu sudah menjadi raja. Karena dia seperti halnya Ki Ageng Pengging keturuan darah biru.” terang Syekh Siti Jenar, “Sunan Kalijaga setelah memperdalam ajaran Islam, melepas kekuasaan dan keduniawian, terutama sekali setelah berada dalam tahapan seperti saya. Dia berada dalam lingkar kekuasaan Demak, semata untuk menyebarluaskan syariat Islam. Bukan berarti gila kekuasaan atau membuntuti penguasa untuk mendapatkan keuntungan. Dia lebih cenderung untuk menterjemahkan, menyampaikan, mengamalkan, ajaran tadi dalam tahapan syariat, juga ilmu politik, sosial, dan budaya.” “Apakah dia mengajarkan pula ilmu ma’rifat?” “Tentu saja.” terang Syekh Siti Jenar, “Namun Sunan Kalijaga tidak seperti saya cara mengajarkannya. Lihatlah tentang gamelan dan wayangnya, lihatlah tentang shalat yang lima waktu…..” “Saya paham, Syekh.” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan kepala. “Dia tidak mudah memberikan ilmu yang lebih tinggi tahapannya….” “Lihatlah tangga yang menuju padepokan saya, Ki Ageng Pengging!” ——————- “Bertahap?” gumam Kebo Kenongo, “Mengapa Syekh memberikan apa saja yang diminta orang tanpa melalui tahapan?” “Bukankah tadi telah saya uraikan? Kenapa tidak jika saya telah berada dalam lingkar dzat Maha Pemurah, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang. Manunggaling Kawula Gusti.” “Hhhhhmmmmmm….” Kebo Kenongo menarik napas dalam-dalam, pikirannya mencoba mencerna segala uraian yang telah disampaikan Syekh Siti Jenar. Terkadang gampang dicerna, kadang pula sangat berat untuk dipahami. “Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk mencapainya. Namun yang dimaksud Manunggaling Kawula Gusti menurut Syekh?” “Manunggaling Kawula Gusti?” Syekh Siti Jenar lantas berdiri di atas satu kaki, “Saya berikan dua arti; pertama manunggaling sifat, kedua manunggaling dzat.” “Maksudnya?” “Manunggaling sifat,” Syekh Siti Jenar kembali berdiri di atas dua kakinya, lalu melangkah perlahan. “Sebelumnya saya akan bertanya pada, Ki Ageng Pengging. Apa rasanya gula? Apa pula rasanya garam?” “Tentu saja gula manis, dan garam asin.” “Berikan pula gula dan garam ini pada seratus orang. Biarkan mereka mengecap dengan lidahnya, lalu tanya oleh Ki Ageng Pengging.” “Semuanya akan mengatakan sama, Syekh. Manis dan Asin. Meski dikasihkan pada seribu orang.” “Itulah yang dikatakan manunggaling sifat.” “O…ya…” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan kepalanya. *** “Selamat datang di Masjid Demak, Pangeran Bayat.” ujar Sunan Giri, lalu duduk bersila di samping Sunan Kudus, Sunan Muria, tidak ketinggalan Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. “Saya kembali kedatangan Ki Sakawarki dan Ki Demang Bintoro.” tatapan matanya menyapu wajah kedua orang yang disebutnya, duduk berhadapan. “Terimakasih, saya mendengar kabar burung tentang ajaran sesat yang disebarluaskan Syekh Siti Jenar.” Pangeran Bayat menatap Demang Bintoro, “Ajaran sesat macam apa?” “Sampaikanlah kabar terbaru tentang ajaran Syekh Siti Jenar dan pengikutnya, Ki Demang!” ujar Sunan Giri. ——————- “Gusti Pangeran, juga Kanjeng Sunan yang saya hormati, ajaran itu benar-benar menyesatkan. Hidup itu untuk mati, mati itu untuk hidup, akhirnya banyak rakyat Kademangan Bintoro yang bunuh diri.” Ki Demang berhenti sejenak, “Saya selanjutnya melakukan penyelidikan bersama Ki Sakawarki. Ternyata bukan hanya isapan jempol belaka tentang kesesatan ajaran Syekh Siti Jenar itu.” “Saya semula tidak percaya tentang ajaran sesat Syekh Siti Jenar.” tambah Ki Sakawarki, “Tapi ketika mendengar langsung dan menyaksikan barulah percaya.” “Adakah penyimpangan lain dari ajaran Islam yang berkaitan dengan aqidah?” tanya Sunan Giri. “Tentu saja, Kanjeng.” Ki Sakawarki menganggukan kepala, “Mereka tidak mesyariatkan shalat lima waktu, begitu pula kewajiban lainnya.” “Menyimpang dan sesat secara aqidah!” Sunan Giri geram. “Benarkah mereka juga melakukan tindakan makar? Selain menyebarluaskan ajaran sesatnya?” tanya Pangeran Bayat. “Itulah yang kami saksikan.” jawab Demang Bintoro. “Dengan bukti melakukan penyerangan terhadap Kademangan.” “Keparat!” muka Pangeran Bayat merah padam, “Saya kira dibelakang semua ini Ki Ageng Pengging juga punya kepentingan?” “Mungkin? Karena merasa masih keturunan Majapahit, Gusti?” tambah Demang Bintoro. “Yang paling mencolok mereka menyebut nama pimpinan pemberontak Kebo Ben….” “Jika itu Kebo Kenongo, maka dugaan saya benar.” potong Pangeran Bayat. “Karena Kebo Kenongo nama lain dari Ki Ageng Pengging….” “Disini telah berbaur antara aqidah islam dan politik…..” “Benar, Kanjeng Sunan Kalijaga!” potong Pangeran Bayat, “Untuk itu kita tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Sebab jika dibiarkan akan mengancam keutuhan negeri Demak Bintoro.” ‘Padahal maksud saya tidak seperti itu, Kanjeng?’ Sunan Kalijaga beradu tatap dengan Sunan Bonang, memulai percakapan dengan batinnya. ‘Saya kira tidak perlu mencampuri persoalan ini terlalu jauh, Kanjeng.’ tatap Sunan Bonang. ‘Jika itu dilakukan sangatlah berlebihan, seakan-akan kitalah yang memiliki ilmu terlalu tinggi. Sehingga tanpa beranjak dari tempat duduk mengetahui yang sesungguhnya telah terjadi.’ ‘Betapa sombong dan angkuhnya kita, Kanjeng.’ Sunan Kalijaga mengaggukan kepala. ‘Namun tidak ada salahnya jika kita dimintai pendapat…’ “Politik macam apa yang terjadi dibalik tersebarnya ajaran sesat ini?” tanya Demang Bintoro. “Mereka akan menciptakan dulu keresahan dikalangan umat beragama, Ki Demang. Dalam keadaan umat resah dan bingung, politik untuk melakukan makar pun berjalan.” terang Pangeran Bayat. ——————- “Itulah yang terjadi di Kademangan Bintoro, Gusti Pangeran.” Demang Bintoro menganggukan kepala, “Pantas mereka mempengaruhi rakyat kademangan dengan ajaran yang menyesatkan, hingga pada suatu malam terjadi penyerbuan. Namun yang paling aneh, ketika salah satu diantara mereka tertangkap, membenturkan kepalanya pada batu hingga tewas.” “Itulah yang mereka anggap jihad!” ujar Pangeran Bayat, “Tentu saja mereka akan memilih mati ketimbang tertangkap, karena mati telah memenuhi panggilan jihad.” berusaha menyimpulkan. “Pantas saja?” Demang Bintoro menggeleng-gelengkan kepala. “Jika demikian kesimpulannya sudahlah jelas persoalan ini, Gusti Pangeran.” Ki Sakawarki penuh hormat, “Syekh Siti Jenar beserta pengikutnya harus ditangkap. Mereka telah berani merusak ajaran Islam yang sesungguhnya. Selain telah berani-berani mencampurbaurkan kepentingan politik dengan agama. Sehingga agama dijadikan alat politik dan kekuasaan.” “Itulah yang terjadi Ki Sakawarki, jika boleh saya berksimpulan.” Pangeran Bayat mengaggukan kepala. “Namun sebelum bertindak saya akan meminta dulu pendapat para wali agung tentang batasan sesat yang disebarluaskan Syekh Siti Jenar. Bagaimana menurut pendapat, Kanjeng Sunan?” tatapan mata Pangeran Bayat menyapu wajah para wali, berhenti pada Sunan Giri, selaku ketua Dewan Wali. ——————- “Pengertian sesat?” Sunan Giri memutar tatapannya, “Saya menyimpulkan, jika Syekh Siti Jenar sudah menganggap shalat lima waktu tidak wajib, puasa bulan ramadan tidak wajib. Hidup untuk mati, mati untuk hidup. Jelas sesat! Sudah keluar dari esensi Islam yang sesungguhnya.” “Tidakah kita menelisiknya terlebih dahulu, Kanjeng Sunan Giri?” Sunan Kalijaga beradu tatap. “Apa lagi yang mesti kita selidiki, Kanjeng Sunan Kalijaga?” ujar Sunan Giri, “Penyebaran ajaran sesat harus segera dihentikan. Jika tidak maka umat akan resah, kesetabilan negeri Demak Bintoro akan terancam.” “Tidakkah kita ingin memastikan sekali lagi tentang sesatnya ajaran Syekh Siti Jenar dengan mengutus seorang wali?” tatap Sunan Kalijaga. “Bukankha Ki Sakawarki saja sudah cukup sebagai seorang Kiai membuktikan kesesatan tadi?” “Apakah Ki Sakawarki sudah secara langsung mendengar dan melihat jika ajaran Syekh Siti Jenat itu sesat?” “Maafkan Kanjeng Sunan Kalijaga, saya belum bertemu dengan Syekh Siti Jenar. Namun saya hanya melihat dan mendengar dari para muridnya, ketika beberapa malam lalu melakukan pemberontakan.” “Bisakah itu dijadikan sebagai bukti?” Sunan Kalijaga memutar tatapannya ke arah Pangeran Bayat dan Sunan Giri. “Dari Segi politik, yakin tujuan utamanya ingin makar. Bukan semata menyebarkan ajaran sesat, Kanjeng.” Pangeran Bayat mengerutkan dahinya, “Yang memperkuat tuduhan saya dengan adanya nama Kebo Kenongo. Jelas-jelas dia masih keturunan Majapahit dan memiliki pengaruh sama dengan Gusti Raden Patah. Hanya dia tidak seberuntung junjungan kita.” “Pangeran, bagaimana jika kita pisahkan dulu masalah politik dan agama?” “Maaf, Kanjeng. Saya rasa persoalan politik dan agama dalam hal ini sudah menyatu.” tukas Pangeran Bayat. “Saya menduga jika kepentingan politik yang ditebarkan Kebo Kenongo dibungkus rapih dengan agama. Dengan tujuan orang terfokus pada persoalan agama, padahal politis.” “Makanya saya tadi berpendapat, untuk menjernihkan persoalan ini dan menangkap makna yang sesungguhnya, kita pisahkan dulu…” “Kanjeng Sunan Kalijaga, sebaiknya perdebatan ini dihentikan. Saya takut di antara para wali terjadi perbedaan paham yang runcing, begitu pula dengan kalangan pemerintah.” potong Sunan Giri. “Selanjutnya kita renungkan sejenak sebelum mengambil keputusan. Bagaimana jika kita memperbincangkannya dengan Raden Patah, semoga dari hasil persidangan nanti ada keputusan. Jika Syekh Siti Jenar perlu ditangkap, kita tangkap!” ——————- “Saya setuju!” ujar Pangeran Bayat. “Apa pun yang terjadi jika itu keputusan raja, sudah semestinya kita taati.” “Baiklah.” Sunan Kalijaga menganggukan kepala, tatapan matanya tertuju pada Sunan Bonang, mata hatinya mulai bersentuhan dan bercakap-cakap. ‘Kanjeng Sunan Bonang, saya secara syariat tidak bisa melawan kehendak Allah.’ ‘Ya, karena itu sudah menjadi sebuah taqdir dan ketentuan yang mesti dijalani. Kita lihat dan ikuti saja…meski secara lahiryah tetap harus berikhtiar. Saya kira Syekh Siti Jenar juga paham perjalanan hidupnya…’ batin Sunan Bonang, tatapan matanya menerbar sinar kemerah-merahan beradu dengan sorot mata pancaran jingga Sunan Kalijaga. “Ada apa?” Sunan Drajat tersentak dari duduknya, “Mengapa ada pancaran sinar dari…” “Disini tidak ada yang aneh, Kanjeng Sunan Drajat.” tegur Sunan Giri, “Kenapa Kanjeng tersentak?” tatapan matanya mengikuti sudut pandang Sunan Drajat, tetapi tidak menemukan hal yang perlu dikejutkan. “Tidakkah Kanjeng me…” “Benar, Kanjeng Sunan Drajat.” tatap Sunan Bonang. Seakan-akan menembus batin hingga tidak berdaya. ——————- “Kanjeng Sunan Bonang?” Sunan Drajat mengangukan kepala, meski tidak mengerti. Hatinya seakan-akan disusupi nasihat yang sebelumnya tidak pernah diketahui. “Saya harus menafsirkannya…” “Apa yang telah terjadi? Kenapa saling memberi isyarah?” Pangeran Bayat kebingungan. “Kanjeng Sunan Giri?” “Saya juga tidak terlalu paham, Pangeran.” bisiknya, lalu menatap Sunan Bonang. “Kanjeng Sunan Bonang?” “Tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan, Kanjeng Sunan Giri.” ujar Sunan Bonang, “Putusan terbaik dalam menyikapi Syekh Siti Jenar dan pengikutnya, kita mesti menunggu keputusan Raden Patah, sesuai dengan pendapat Kanjeng. Kami berisyarah setuju pada perkataan Kanjeng Sunan Giri tadi.” “Baiklah jika demikian. Kita bersidang dengan pihak pemerintahan demi mengambil keputusan.” Sunan Giri mengaggukan kepala, lalu perlahan bangkit dari duduknya. “Kanjeng, jika demikian saya mohon pamit.” ujar Demang Bintoro. “Karena tugas saya sudah selesai, sedangkan persidangan merupakan wewenang para wali dan pemerintah.” “Baiklah, Ki Demang.” Sunan Giri menerima kedua telapak tangan Demang Bintoro yang mengajak bersalaman. “Semoga kalian selamat diperjalanan. Persoalan tadi akan kami tindaklanjuti, agar tidak terlanjur dan terlunta-lunta hingga mengakibatkan kesesatan bagi umat.” *** Matahari mulai merayap, perlahan meredup seakan-akan terlihat lelah dan ngantuk. Seharian memelototi bumi beserta isinya, menatap setiap tingkah dan laku manusia yang beragam. Matahari sudah waktunya kembali dan beristirahat di peraduannya, seiring dengan datangnya gelap malam. Namun penghuni jagat raya seakan tidak peduli meski matahari tidak lagi memelototi dan menerangi, biar kerlip gemintang sebagai pengganti, saksi mereka bertingkahlaku. Malam hanya perpindahan dari terang pada gelap, dari benderang pada kremangan. Hingga tidak pernah menghalangi dan menyurutkan niat dan langkah manusia dengan segenap tekad dan keinginannya untuk berbuat. Pinggir hutan di halaman pendopo milik Kebo Benowo dan pengikutnya, berkelebatan bayangan tubuh yang sedang berlatih silat. Joyo Dento dan Kebo Benongo bergantian mengajarkan setiap jurus dan strategi perang. ——————- Tidak lama berselang terdengar suara kuda yang bergerak ke arah mereka. Dua ekor kuda yang ditunggangi Kebo Benowo dan Loro Gembol telah berada di tengah-tengah pengikutnya. “Ki Gempol,” ujar Joyo Dento mendekat, “Terlihat segar malam ini….” “Benar, Dento.” Loro Gempol turun dari punggung kuda, “Syekh Siti Jenar benar-benar hebat. Hanya dengan tatapan mata beliau menyembuhkan luka dalam akibat tendangan Ki Sakawarki.” “Hebat!” Joyo Dento menggelengkan kepala. “Artinya Ki Gempol sudah siap memimpin kembali pemberontakan?” “Tentu saja, Dento.” Loro Gempol menepuk-nepuk dadanya, “Bahkan ilmuku sudah mulai bertambah meski dalam waktu sangat singkat. Saya sudah memiliki tendangan yang lebih hebat dari Ki Sakawarki.” lalu memutar lehernya mengikuti sudut pandangnya yang tertuju pada sebongkah batu. “Seperti apa tendangan itu, Ki?” tanya Kebo Benongo. “Lihatlah! Saya akan menghancurkan batu sebesar perut kerbau itu hanya dengan satu kali tendangan.” Loro Gempol lalu mengambil ancang-ancang, seraya loncat dan mengarahkan tendangannya pada batu. Dragkkkk….tendangan kaki Loro Gempol menghantam sasaran, tidak pelak lagi hancur lebur berkeping-keping. Prilakunya disambut dengan tepukan pasukan gelap sewu, serta Joyo Dento dan Kebo Benongo. “Bisa seperti itu Syekh Siti Jenar mengajarkan ilmu kanuragan, Ki Gempol?” Joyo Dento mengerutkan keningnya. “Bukankah dia orang sakti, Dento?” Loro Gempol tersenyum. “Sayang, Ki Gempol?” “Kenapa, Dento?” “Seandainya beliau bersedia mendukung perjuangan kita dengan kesaktiannya, sudah barang tentu sangat mudahlah menghancurkan Kademangan Bintoro.” ujar Joyo Dento, seraya duduk di atas bangku yang terbuat dari kayu. “Sungguh sayang, begitu juga Ki Ageng Pengging, sangatlah sulit untuk diajak serta.” “Jangankan Kademangan, Demak pun jika beliau mau tentu bisa dihancur leburkan!” timpal Loro Gempol. “Sangat aneh?” Joyo Dento menggelengkan kepala, “Semakin tinggi ilmunya, semakin digjaya kesaktiannya, malah semakin tidak tertarik pada kekuasaan?” lalu menghela napas dalam-dalam. “Itulah keanehan mereka, Dento.” Kebo Benowo ikut nimbrung, “Bukankah menurut andika tidak perlu lagi memikirkan mereka yang sudah tidak memiliki keinginan untuk berkuasa.” “Ya, lupakan saja semuanya!” Joyo Dento bangkit dari duduknya, “Sebaiknya kita tidak terpengaruh….” ——————- “Bagus,” ujar Loro Gempol, “Sekarang kesaktian saya telah bertambah. Mengapa tidak digunakan untuk kembali mengadakan penyerangan terhadap Kademangan Bintoro?” “Haruskah malam ini?” tanya Kebo Benongo. “Tidakah merasa lelah sepulang dari padepokan?” “Tidak!” “Gempol, bukannya saya tidak percaya pada tendangan maut yang baru saja andika miliki.” Kebo Benowo mendekat, “Cukupkah jumlah prajurit kita untuk menggempur Kademangan Bintoro?” “Benar!” Joyo Dento meletakan kedua tangannya di belakang, “Meski pun Ki Gempol bisa mengalahkan Ki Sakawarki, tidak ada salahnya kmemperhitungkan jumlah kekuatan yang kita miliki. Sebenarnya ada taktik perang gelap…” “Maksud andika?” Loro Gempol menatap tajam. “Harus menghindari perang terbuka. Mengingat jumlah pasukan kita lebih sedikit di banding musuh.” dahinya dikerutkan, “Serangan kita harus bersifat memecah konsentrasi musuh, lantas menyerang, lalu menghilang.” terang Joyo Dento. “Berhasilkah dengan cara demikian?” tanya Kebo Benowo, “Tidak lebih baikah jika kita menambah jumlah pasukan?” “Bisa saja, menambah pasukan. Artinya untuk sementara kita menghentikan penyerangan….” “Jadi saya tidak bisa mencoba ilmu baru dalam waktu dekat?” Loro Gempol garuk-garuk kepala. *** Dewan wali yang di pimpin Sunan Giri mulai memasuki istana kerajaan Demak Bintoro. Mereka menginjakan kakinya di atas karpet berwarna hijau, kiriman dari Bagdad. Di setiap sudut istana berdiri para prajurit dengan tombak dan tameng di tangannya. Raden Patah sudah berada di atas singgasananya, perlahan bangkit menyambut kedatangan para wali. Pangeran Bayat, serta para abdi kerajaan lainnya berdiri, menyalami. Hari itu tampaknya ada pertemuan penting antara Raden Patah dan Walisongo. “Selamat datang di keraton, Kanjeng Sunan.” Raden Patah menyalami dan memeluk Sunan Giri, lalu yang lainnya. “Silahkan…” ——————- “Terimakasih atas sambutannya, Raden.” Sunan Giri lalu duduk di atas kursi yang telah disediakan. Diikuti para wali lain menempati kursi yang telah disediakan. “Rasanya sangat bahagia hati ini, batin pun terasa tentram jika sudah bertemu dengan para wali yang terhormat.” Raden Patah perlahan duduk kembali di atas singgasana kerajaannya, para abdi pun mengikuti. “Sudah sekian lama Kanjeng Sunan tidak menyempatkan diri memasuki istana yang megah ini.” “Tidaklah harus terlena dengan kemegahan istana, Raden.” ujar Sunan Giri tersenyum tipis, “Singgasana berlapis emas, serta empuk, terkadang menyebabkan kita untuk bermalas-malas. Saking nikmatnya kita dalam sehat dan istirahat, terkadang lupa pada tugas yang sesungguhnya. Bukankah kita mendapatkan kepercayaan dari rakyat demi kesejahteraannya, demi ketentramannya, demi ketenangannya, demi melayaninya?” “Alhamdulillah, Kanjeng.” Raden Patah sekilas menyapu wajah Sunan Giri dengan tatapan matanya, “Saya sudah berupaya menjalankannya sesuai dengan amanah dan ajaran Islam. Namun saya sebagai manusia terkadang terlena dibuatnya…..” “Jika Raden terlena dengan kekuasaan dan kemegahan, hendaklah istigfar.” Sunan Giri mengacungkan telunjuknya, “Karena singgasana ini tidak abadi, kekuasaan akan berakhir dengan ketidakuasaan, kenikmatan dan kemewahan hanya bisa dikecap dalam sekejap. Semua itu diingatkan ketika diri kita tidak sempat untuk istirahat dan menikmati, bahkan saat sakit mengusik kita. Disitu tidak ada nikmat yang bisa dirasakan meski sekejap. Itu semua mengingatkan pada diri kita, semua yang kita miliki akan ditinggalkan, semua yang kita kuasai pada suatu saat akan menjauh. Bukankah kehidupan di dunia ini telah ditentukan batasnya? Seindah apa pun dunia tetaplah fana, semegah apa pun dunia akan berkesudahan. Tidak ada bedanya saat kita merasakan lapar bergegas mencari makanan, setelah rasa lapar tergantikan dengan kekenyaang nikmat pun tidak ada lagi.” “Jika perut sudah terlalu kenyang tidak mungkin meneruskan makan, meski masih terhidang beraneka kelezatan di atas meja.” Raden Patah mengangguk-anggukan kepala, “Hanya sekejap….dan ada akhirnya…bukankah datangnya rasa nikmat ketika kita merasakan lapar?” “Andai lapar itu berada pada tahapan Raden. Tentu akan terobati, tinggal memanggil pelayan kerajaan. Tetapi jika rasa lapar menimpa rakyat miskin, bisakah terobati dalam sekejap?” tatap Sunan Giri. “Ya, saya paham, Kanjeng.” Raden Patah menundukan kepalanya, “Dimas Bayat, masihkah di negeri ini ada rakyat yang kelaparan?” lalu tatapan matanya tertuju pada Pangeran Bayat. “Menurut hamba negeri ini sangatlah makmur, Gusti.” Pangeran Bayat mengacungkan sembahnya, “Sangat tidak mungkin di negeri semakmur Demak Bintoro ada rakyat yang kelaparan?” “Benarkah, Dimas?” “Hamba yakin, Gusti.” “Baguslah jika tidak ada yang kelaparan,” Raden Patah menundukan kepala dihadapan Sunan Giri. “Seandainya masih ada rakyat yang miskin dan kelaparan? Sementara kita serba berkecukupan? Tidakah di akhirat nanti akan menuai kecaman dari Allah SWT.? Mungkin rakyat negeri Demak Bintoro, meski pun lapar tidak akan banyak berbuat selain mengganjal perutnya dengan kesedihan, bisa juga menangis?” desak Sunan Giri. ——————- “Maafkan saya, Kanjeng.” Raden Patah perlahan mengangkat kepalanya, “Jika itu terjadi dan menimpa rakyat negeri Demak Bintoro, mungkin saya sebagai pemimpin akan menerima hukumannya di akhirat. Mudah-mudahan yang dilaporkan Dimas Bayat benar. Hal itu tidak terjadi di negeri ini….” “Yakinkah, Raden?” “Saya percaya pada Dimas Bayat, Kanjeng Sunan.” “Hamba melaporkan dengan sesungguhnya. Berdasarkan pendengaran dan penglihatan hamba.” ujar Pangeran Bayat. “Baguslah jika yakin sebatas laporan, Raden.” Sunan Giri perlahan bangkit dari duduknya, lalu mengitari singgasana Raden Patah. “Tahukah Raden tujuan utama kedatangan kami, dewan wali ke istana ini?” “Tentu saja, Kanjeng.” Raden Patah perlahan memicingkan sudut matanya, menatap langkah kaki Sunan Giri. “Bukankah di negeri ini telah muncul persoalan yang terkait dengan Syekh Siti Jenar dan pengikutnya, Kanjeng?” “Benar,” Sunan Giri menghentikan langkahnya, lalu kembali duduk di atas kursinya. “Ada kabar jika Syekh Siti Jenar menyebarkan ajaran sesat. Pengikutnya terutama rakyat miskin dan kelaparan banyak yang mengakhiri hidupnya.” “Mereka bunuh diri, Kanjeng?” ujar Raden Patah, “Mereka mengaggap bahwa mati lebih nikmat dari pada hidup dalam kemiskinan. Syekh Siti Jenar pada pengikutnya menghembuskan ajaran hidup untuk mati, mati untuk hidup.” “Pisahkan dulu persoalan mati untuk hidup, hidup untuk mati, tentang ajaran Syekh Siti Jenar!” “Kenapa, Kanjeng?” “Lihat dan perhatikan, jika yang bunuh diri itu si miskin dan menderita…” “Mengapa harus dipisahkan persoalan ini? Rakyat Demak Bintoro yang miskin tentu saja mudah dihasut akhirnya nekat bunuh diri. Apalagi mendengar ajaran yang menyesatkan ini.” “Persoalannya karena miskin, Raden. Bukankah tadi dikatakan, jika di negeri makmur ini sudah tidak ada lagi yang miskin dan kelaparan?” “Astagfirullah!” Raden Patah lalu mengusapkan kedua telapak tangannya pada wajah, “Ya, Allah maafkan hambamu ini. Hamba telah berbuat hilap….” dari sela-sela jemarinya menetes buliran air mata, semakin lama semakin banyak. ——————- Suasana istana yang hening terusik dengan isak tangisnya Raden Patah, seakan-akan mengubah dan memecah suasana. Pangeran Bayat semakin menundukan kepalanya, dagunya seakan-akan menyentuh lutut, hatinya mulai ketar-ketir, jika seandainya Raden Patah marah. Sunan Giri hanya berbagi tatap dengan para wali, termasuk Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Drajat, dan Sunan Gunung Jati. Mereka memahami setiap maksud perkataan Sunan Giri, namun tidak ada yang mengusik isak tangis Raden Patah meski hanya sepatah kata penghibur. “Mereka mudah dihasut karena miskin…” isak Raden Patah, “…bukankah menurut laporan yang saya dengar tidak ada lagi rakyat miskin dan menderita…seandainya itu masih ada artinya…telah berdosa dan menyia-nyiakan amanah…” *** Matahari mulai menyelinap di balik bukit Desa Kendharsawa, awan tipis berlapis-lapis laksana serpihan sutra merah. Angin senja bertiup sepoi-sepoi mengusik setiap daun dan ranting kering, selanjutnya jatuh di atas tanah, tanpa daya. Sorot mata Ki Chantulo tidak beranjak dari jatuhnya daun dan ranting kering di hadapannya. Lalu duduk dan memungutnya. “Ranting dan daun kering, rupanya usiamu telah berakhir senja ini.” perlahan bangkit, seraya mengangkat kepalanya, tatapan mata menyapu awan jingga berlapis dan berarak laksana kereta kencana. “Betapa indah, taqdir kepergianmu diiringi warna keemasan….” “Ya, sangat indah kematian daun dan ranting kering ini…” bisik Ki Donoboyo yang berdiri disampingnya. Tatapan matanya tidak beranjak dari tingkah laku teman seperguruannya. “Mungkin itulah yang dikatakan menyatunya kembali dengan dzat yang maha kuasa?” “Mungkin?” tatap Ki Chantulo. Lalu melangkah pelan menuju padepokan Syekh Siti Jenar, Ki Donoboyo mengiringi. Di halaman padepokan Syekh Siti Jenar sedang bercakap-cakap dengan Kebo Kenongo. Kebo Kenongo seakan-akan larut pada setiap perkataan dan nasehat gurunya, terkadang berkali-kali mengangguk-anggukan kepalanya. “Syekh, manunggaling sifat Allah ternyata bisa dibuktikan. Hingga saya mengerti dan memahami…” ujar Kebo Kenongo, “…bahkan ma’rifat pun kini mulai bisa saya capai. Ternyata dalam pencapaian ini tidak harus melalui tahapan yang dulu pernah Syekh ungkapkan.” “Bukankah saya pernah mengatakan, menuju ma’rifat tidak perlu melalui tahapan syariat, hakikat, thariqat, lantas ma’rifat. Jika demikian berarti hanya orang yang beragama Islam saja yang bisa. Mungkin dalam agama hindu atau budha yang sebelumnya Ki Ageng Pengging ketahui tidak akan menemukan tahapan itu. Bisa saja namanya berbeda, tetapi tujuannya sama.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Kebo Kenongo dengan tatapan matanya. “Saya kira semua agama memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mencapai dan menggapai dzat Yang Maha Kuasa. Yang membedakan semuanya hanyalah tata caranya, jalan, dan nama-nama proses pencapainya.” ——————- “Ya,” Kebo Kenongo tersenyum, “Pencapaian itulah yang memerlukan proses yang cukup lama dan panjang. Hingga terkadang orang merasa putus asa…” “Putus asa, penyebab petaka. Itu tidak perlu terjadi,” terang Syekh Siti Jenar, “Untuk menghindari keputusasaan dalam hal pencapaian diperlukannya guru yang selalu membimbing dan mengarahkan.” “Benar, supaya tidak kesasar dan gila?” “Ya, mungkin kata lain sesat. Orang akan menyatakan sesat atau kesasar pada orang lain, karena menurut ilmu dan pengetahuan yang dia milki bahwa jalan menuju Desa Kendharsawa hanya satu. Jalan yang biasa Ki Ageng Pengging lalui beserta orang kebanyakan. Padahal setahu saya ada banyak jalan menuju Desa Kendharsawa, bisa memutar dulu ke Utara, bisa berbelok dulu ke Selatan, bisa juga mengambil jalan pintas.” urai Syekh Siti Jenar, “Salahkah jika orang yang berpendapat harus berlok ke Utara atau ke Selatan, bahkan mengambil jalan pintas? Jelasnya tidak pernah mengambil jalan yang biasa dan diketahui umum. Salahkah?” “Saya kira tidak,” “Mengapa?” “Karena sudah tentu semuanya akan sampai ke Desa Kendharsawa. Hanya waktu sampainya yang berbeda, ada yang cepat, lambat, dan alon-alon.” “Itulah maksud saya, Ki Ageng Pengging.” ujar Syekh Siti Jenar. “Nah, yang diributkan orang kebanyakan soal perbedaan jalan itulah. Sehingga memicu pertengkaran, demi mempertahankan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya agar diikuti orang lain. Padahal setiap orang memiliki pemahaman dan pendalaman, juga maksud yang berbeda, meski sebenarnya punya tujuan sama.” “Maksudnya?” “Bukan tidak tahu jalan umum menuju Desa Kendharsawa, tetapi berbelok ke Selatan karena punya maksud menemui dulu kerabat. Jalan yang di tempuh lewat Utara, karena ingin membeli dulu hadiah untuk teman di Kendharsawa. Sampaikah mereka semua pada tujuan? Desa Kendharsawa?” “Sampai?” “Mengapa harus bertengkar dan saling menyalahkan?” “Karena jalannya tidak diketahui umum,” “Haruskah umum selalu tahu? Haruskah umum memberikan kesimpulan bahwa jalan Utara dan Selatan sesat?” “Tidak,” “Mengapa?” “Karena pasti sampai.” “Kenapa pula dipertengkarkan?” “Bertengkar karena tidak saling memahami akan persoalan yang sesungguhnya.” ——————- “Nah, itulah Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar melangkah pelan, “Makanya Islam mengajarkan jika di antara kita terjadi perbedaan paham sebaiknya dikembalikan pada alquran dan assunnah. Semua perbedaan pendapat dan pemahaman bisa diselesaikan dengan cara musyawarah. Tidak semestinya melakukan tindakan yang tidak diridhoi Allah, apalagi menciptakan laknat. Bukankah Islam mengajarkan bahwa kita harus selalu menebar rakhmat, hamamayu hayuning bawanna? Seandainya orang tadi belum mengenal Desa Kendharsawa, maka bisa dikatakan tersesat. Salah jalan. Jika salah jalan karena ketidaktahuan itulah yang sesat.” urainya. “Ya, karena tidak akan mungkin sampai pada tujuan.” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan kepala, “Jadi makna “sesat” disini bisa diartikan berbeda?” “Tentu,” Syekh Siti Jenar mengiyakan, “Bisa saja kita yang salah karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Bisa juga orang yang kita anggap sesat benar-benar sesat. Atau bahkan sebaliknya.” “Syekh,” Ki Chantulo mendekat, dibelakangnya berdiri Ki Donoboyo. “Kita telah jauh memperdalam ilmu hamamayu hayuning bawanna, ma’rifat mungkin hampir saya capai. Namun saya khawatir ada akibat….lihatlah daun dan ranting kering ini, sangat mudah terlepas dari batang pohon meski hanya tertiup angin sepoi-sepoi.” “Jika kita sebagai manusia tentu saja harus punya rasa khawatir.” Syekh Siti Jenar membalikan tubuhnya, tatapan matanya menyapu wajah Ki Chantulo. “Kekhawatiran muncul karena keterbatasan ilmu dan ketidaktahuan perjalanan hidup. Ketidaktahuan akan ketidakjelasan kabar.” “Maksudnya?” “Saat orang bilang, awas jangan lewat jalan Kendharsawa karena ada rampok kejam, apa yang akan andika lakukan?” “Saya akan menertawakan orang tadi, karena setahu saya jalan menuju Desa Kendharsawa aman.” “Karena andika tahu betul.” ujar Syekh Siti Jenar, “Tapi sebaliknya bagi orang yang belum mengenal Kendharsawa tentu akan merasa khawatir. Mengenai kabar yang tidak jelas tadi, bahkan akan menimbulkan rasa was-was.” “Ya,” Ki Chantulo mengangguk, “Mungkin karena keterbatasan ilmu saya yang menyebabkan khawatir dan takut.” “Sebenarnya apa yang menjadi kekhawatiran andika, Ki Chantulo?” tanya Kebo Kenongo. “Saya mendengar kabar ditangkapinya orang-orang yang menganut ajaran Syekh Siti Jenar. Jika tidak salah dewan wali menganggap ajaran kita sesat.” Ki Chantulo menundukan kepala. “Syekh?” Kebo Kenongo menatap Syekh Siti Jenar, belum juga kering mulutnya ketika berbincang tentang sesat. ——————- “Tidak perlu khawatir, Ki Angeng Pengging.” lalu Syekh Siti Jenar memutar tatapan matanya, “Lihatlah, daun kering dan ranting yang Ki Chantulo genggam. Jasad manusia tak ubahnya ranting dan daun kering, jika sampai pada waktunya akan jatuh di atas tanah. Penyebabnya bisa karena tertiup angin sepoi-sepoi, mungkin saja ditebas pemilik kebun, bisa juga dimakan ulat atau binatang ternak lainnya. Itulah sebuah taqdir. Kekhawatiran akan muncul, karena tadi itu.” sejenak menghentikan perbincangannya. Senja hening di padepokan Syekh Siti Jenar, para muridnya seakan-akan tenggelam dan hanyut dalam keadaan. Angin semilir mengusik dedaunan dan jubah yang dikenakan Syekh Siti Jenar, berkelebat. “Saya ingat sabda alam yang pernah Syekh sampaikan.” Ki Donoboyo mengerutkan dahinya, “Mungkinkah pesan yang disampaikannya berlaku pada kita…..” “Jika ya? Meskikah kita mengambil tindakan?” tatap Ki Chantulo. “Tentu saja, Ki Chantulo.” Ki Donoboyo mendekat, “Bukankah kita harus berusaha membela diri. Mungkin caranya berbeda dengan orang kebanyakan. Bukankah kita tidak mungkin menyerahkan diri pada hukuman sebelum melakukan pembelaan?” “Begitukah, Syekh?” Ki Chantulo menyapu wajah Syekh Siti Jenar dengan tatapan matanya. “Saya tidak mengharuskan melawan taqdir.” ujar Syekh Siti Jenar, “Berlakulah andika sebagai manusia dengan keterbatasan ilmu dan ketidaktahuan.” “Maksudnya?” Ki Chantulo, Ki Donoboyo, dan Kebo Kenongo mengerutkan dahinya. “Sejauhmana andika paham pada kejadian yang akan datang? Sebatas mana rasa khawatir yang muncul dalam jiwa? Berlakulah dalam keterbatasan dan yang membatasi semuanya.” sejenak berhenti, “Bukankah tidak semua manusia memahami perjalanan hidupnya? Apa yang akan terjadi hari ini? Lantas hal apa besok hari yang akan menimpa kita? Akan bersedihkah? Bahagiakah? Manusia tidak bisa mempercepat, memperlambat, bahkan mundur dari kehendakNya. Hanya orang tertentu saja yang memahami akan perjalanan hidup, mengenai hal yang sebelumnya atau akan didapati.” urai Syekh Siti Jenar. “Saya belum terlalu paham maksudnya?” Ki Donoboyo memijit-mijit keningnya. *** “Saya menyadari akan keteledoran dan ketidaktahuan, Kanjeng.” Raden Patah menyeka air mata, “Sehingga timbul penyesalan yang teramat dalam….” “Tidak cukup dengan sebuah kata dan kalimat penyesalan, Raden.” ujar Sunan Giri, “Seandainya itu berdosa kepada Allah, maka bisa ditebus dengan taubatan nashuha. Setelah itu memperbaiki diri dan tidak berbuat kembali. Tetapi bersalah pada rakyat, meminta maaf pun harus pada mereka…” “Bukankah rakyat negri Demak Bintoro ini sangat banyak, Kanjeng?” “Meminta maaf pada rakyat tidak cukup dengan perkataan dan ucapan, berkeliling menemui penduduk negeri.” Sunan Giri berhenti sejenak, “…rubahlah keadaan negara hingga tidak ada lagi rakyat kelaparan. Meski miskin itu ada, karena sunnatullah. Berupayalah Raden sebagai seorang pemimpin mengubah keadaan negara. Seorang pemimpin tidak saja bertanggungjawab di dunia, tetapi di akhirat juga. Di dunia bisa jumawa, di dunia bisa sewenang-wenang, di dunia bisa teledor, khilaf. Sudah menjadi kewajiban kami para wali mengingatkan umara agar tidak terjerumus di dunia dan akhirat.” “Saya sangat menyadari semuanya, Kanjeng.” Raden Patah semakin menunduk, “Haruskah saya mundur untuk menebus semua kesalahan ini?” “Mana mungkin bisa merubah keadaan jika mundur? Balikan telapak tangan, berbuatlah yang terbaik untuk rakyat.” terang Sunan Giri, “Berbuat untuk rakyat, berati berbuat untuk diri sendiri, negara, agama, dan keluarga.” ——————- “Baiklah, Kanjeng. Saya akan berupaya sekuat tenaga seperti yang Kanjeng Sunan Giri sarankan. Meski saya harus jatuh miskin, itu hanyalah ukuran dunia dan bentuk tanggungjawab pada rakyat.” Raden Patah menatap Pangeran Bayat, “Dimas bantulah mereka yang kelaparan. Berbuatlah untuk mensejahterakan rakyat, tebuslah kesalahan kita. Kakang tidak ingin mendengar kabar ada rakyat yang masih kelaparan, bunuh diri karena miskin. Berbuatlah! Kakang pun akan berbuat dengan tangan ini yang telah berlumur dosa karena bodoh dan khilaf.” *** “Raden,” Sunan Giri perlahan duduk di atas kursi. “Ada persoalan yang lebih penting ketimbang rasa lapar dan kemiskinan.” “Persoalan apa, Kanjeng?” tatap Raden Patah, “Bukankah miskin dan lapar yang bisa memicu orang berbuat nekad? Merampas hak orang lain? Merampok? Mungkin juga bunuh diri?” “Benar Raden, seakan-akan persoalan perutlah yang terpenting dalam kehidupan ini.” Sunan Giri tersenyum, “Jarang sekali orang melakukan penyelidikan lebih mendalam.” “Maksud, Kanjeng?” “Mengapa orang miskin bunuh diri, mengapa yang kelaparan nekad?” Sunan Giri berhenti sejenak, tatapan matanya menyapu wajah Raden Patah, terkadang Pangeran Bayat. “Karena hanya jalan itulah yang dianggap penyelesaian, Kanjeng.” ujar Pangeran Bayat, “Bayangkan seandainya mereka kenyang dan serba berkecukupan. Tidak akan mungkin berbuat demikian.” “Orang miskin merampok hanya butuh makan untuk satu hari, Pangeran. Sedangkan yang kaya disebabkan sifat serakah.” tukas Sunan Drajat, “Bukankah hartanya sudah melimpah ruah, tetapi masih saja ingin menumpuk kekayaan. Menghalalkan segala cara.” “Ya, saya mengerti, Kanjeng.” Raden Patah tersenyum, “Terlepas dari urusan miskin dan kaya, yang jelas penyelesaian dari sebuah perbuatan buruk tadi. Mereka hanya menyantap makanan jasmani, sedangkan rohaninya kosong.” “Terkait dengan hal itulah kami para wali ingin berbincang.” ujar Sunan Giri, “Bukankah para sahabat nabi juga menafkahkan seluruh hartanya demi agama. Lihatlah khalifah Umar bin Khatab, jubah dan pakaiannya penuh dengan tambalan. Meski secara lahiryah terlihat miskin namun hatinya sangat kaya, jiwanya tersisi penuh. Tidak pernah berkhianat, selalu bertaqwa pada Allah.” “Benar, Kanjeng.” “Kemiskinan dan kelaparan yang melanda negeri Demak Bintoro dimanfaatkan pengikut ajaran Syekh Siti Jenar, untuk menyimpang dari agama. Sehingga memicu persoalan baru.” Sunan Giri menghela napas, “Banyak rakyat miskin dan kelaparan bunuh diri, keadaan dibuat kalangkabut dan kacau balau. Selain aqidah mereka masih lemah, pengaruh ajaran sesat dan menyesatkan semakin kuat. Sehingga mereka dengan ajarannya telah mencoba menodai perjuangan para wali.” “Gusti, menurut hemat hamba. Tersebarnya ajaran sesat Syekh Siti Jenar terkait pula dengan persoalan politik.” timpal Pangeran Bayat, “Bukankah Ki Ageng Pengging selain murid, juga sangat dekat dengan Syekh Siti Jenar, disamping masih keturunan Majapahit. Mungkin dia punya anggapan memiliki hak yang sama untuk meraih tahta.” “Tidakkah sebaiknya persoalan politik dipisahkan dulu…” “Maaf Kanjeng Sunan Kalijaga, rasanya ini telah sulit untuk dipilah. Ditebarnya kekacauan dengan isu agama, sangat sarat dengan muatan politik.” “Dimas Bayat, untuk menjernihkan persoalan ini saya sependapat dengan Kanjeng Sunan Kalijaga.” tatap Raden Patah, “Tetapi seandainya belum atau tidak pernah terjadi pemberontakan di Kademangan Bintoro?” “Bukankah dugaan saya telah terjadi, Gusti?” “Dalam hal ini tetap harus ada keputusan, Raden, terkait dengan ajaran sesat Syekh Siti Jenar.” ujar Sunan Giri, “Pemerintah harus segera mengambil tindakan. Sebelum pengaruh ajaran sesat ini semakin meluas….” “Keputusan?” Raden Patah menundukan kepala, pikirannya berputar, sejenak mulutnya terkatup. “Haruskah saya seret Syekh Siti Jenar dan pengikutnya ke hadapan, Gusti?” ujar Pangeran Bayat. “Mudah saja menyeret orang, Pangeran.” timpal Sunan Kalijaga, “Apakah tidak alangkah lebih baiknya mengutus orang dulu ke padepokan Syekh Siti Jenar di Desa Kendharsawa?” ——————- “Untuk apa, Kanjeng?” tanya Sunan Giri. “Membenarkan apa yang kita tuduhkan pada mereka.” jawab Sunan Kalijaga. “Bukankah sudah terbukti? Jika Syekh Siti Jenar mengajarkan dan menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan?” “Maaf, Kanjeng Sunan Giri. Saya setuju dengan pendapat Kanjeng Sunan Kalijaga.” Raden Patah perlahan bangkit, “Dimas Bayat dan Pangeran Modang, saya utus untuk menemui Syekh Siti Jenar. Itu dari pihak pemerintah, Kanjeng. Alangkah lebih baiknya Kanjeng Sunan Giri pun mengutus beberapa orang wali. Saya yakin dengan hadirnya para wali dalam rombongan akan sanggup menilai sesat atau tidaknya ajaran Syekh Siti Jenar.” “Baiklah, Raden. Jika itu harus dilakukan.” tatapan mata Sunan Giri menyapu para wali yang duduk dibelakangnya, “Saya akan mengutus Kanjeng Sunan Kudus, Kanjeng Sunan Muria, Kanjeng Sunan Drajat, dan Kanjeng Sunan Geseng.” “Gusti, tindakan apa yang harus dilakukan seandainya dugaan tadi benar?” tanya Pangeran Bayat. “Kanjeng Sunan Giri?” Raden Patah melirik ke arah Sunan Giri. “Hukuman yang pantas dan setimpal bagi penyebar ajaran sesat. Bentuknya hanya raja yang berhak menentukan.” ujar Sunan Giri. “Baiklah,” Raden Patah mengerutkan keningnya. “Hamba kira hukuman mati sangat pantas….” timpal Pangeran Bayat. “Hukuman apa pun layak diberikan pada orang yang bersalah, sesuai dengan kadar kesalahannya.” sela Sunan Kalijaga, “Saya kira belumlah saatnya kali ini untuk membahas dan memutuskan sebuah bentuk hukuman, sebelum ada kejelasan serta pembuktian.” “Ya, Kanjeng.” Raden Patah menganggukan kepala, “Datangilah dulu! Jika terbukti bawa ke Pusat Kota Demak Bintoro. Barulah kita menjatuhkan hukuman.” lalu menatap pada para utusan yang ditugaskan ke Desa Khendarsawa. *** Sore itu matahari tertutup mega hitam, berlapis-lapis. Seakan-akan tatapan matanya yang bersinar sengaja dihalangi untuk menatap padepokan Syekh Siti Jenar. Angin bertiup sangat kencang, mega pekat membumbung dan berputar-putar, semakin cepat. “Lihat, pertanda alam?” Ki Donoboyo yang berada di halaman padepokan bangkit dari duduknya, kepalanya mendongak ke atas. “Apa yang akan terjadi?” Ki Ageng Tingkir mengerutkan keningnya, “Angin puting beliungkah, Syekh?” matanya tertuju pada Syekh Siti Jenar yang berdiri di samping Kebo Kenongo. “Pernahkah kita merusak alam? Menebang pohon sembarangan, membabad batu padas seenaknya?” tatap Syekh Siti Jenar. “Tidak,” “Bahkan sebaliknya kita memakmurkan bumi, Syekh?” tatap Ki Donoboyo, “Sesuai dengan ajaran hamamayu hayuning bawanna…” ——————- “Jika demikian kita tidak perlu takut dimurkai alam…” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Puting beliung biasanya menghancurleburkan rumah, dan bangunan. Mungkin saja padepokan yang kita diami….” “Saya kurang paham?” tanya Ki Chantulo, “Apa kaitannya dengan memakmurkan bumi?” “Bukankah beberapa waktu lalu saya pernah menjelaskan hamamayu hayuning bawana?” “Yang kita bicarakan pada waktu itu pertautan jiwa dengan alam, Syekh.” kerut Ki Chantulo, “Sabda alam. Tetapi tadi Syekh mengatakan mungkin saja puting beliung bisa menghancurkan padepokan kita? Mengapa?” “Mungkin disini, bukan berarti akan terjadi, atau tidak sama sekali, bahkan bisa saja terjadi.” ujar Syekh Siti Jenar, “Namun mungkin disini saya tegaskan, kemarahan alam sedahsyat apa pun tidak akan pernah menyentuh padepokan kita.” “Termasuk puting beliung?” tanya Ki Chantulo. “Meskipun rumah penduduk disekitar Desa Khendarsawa porak-poranda?” “Benar, justru akan saya usahakan agar enyah dari Desa Khendarsawa.” “Mengapa, Syekh?” “Bukankah saya sedang menjelaskan hal yang terkait dengan ilmu hamamayu hayuning bawana….” “….” Ki Chantulo dan yang lainnya hanya mengerutkan kening, “Rasanya saya belum paham…” “Memakmurkan bumi?” Kebo Kenongo berujar pelan, “Saya kira bencana akan datang jika bumi dirusak. Penduduk Desa Khendarsawa akan kekeringan dan kekurangan air pada musim panas, seandainya pohon-pohon besar yang berada disekitar hutannya ditebang habis. Mungkin saja akan terjadi longsor, bahkan bencana lainnya.” lalu menatap gurunya. “Ya, itu sebuah contoh kecil.” ujar Syekh Siti Jenar, “Seandainya kita telah mengamalkan ilmu hamamayu hayuning bawanna, memakmurkan bumi. Tidak akan pernah kita dimurkai alam atau hidup dalam kesusahan.” “Maksudnya?” Ki Donoboyo mengerutkan dahinya. “Alam sebenarnya akan memberikan imbalan pada kita. Seandainya kita ikut memakmurkan dan memeliharanya…” Syekh Siti Jenar perlahan melangkah, “Lihatlah pohon jambu batu yang di tanam Ki Chantulo itu. Bukankah Ki Chantulo memelihara jambu ini sejak kecil, menanamnya, merawatnya, hingga menghasilkan buah?” “Ya, saya baru mengerti, Syekh.” Ki Chantulo mengagguk-anggukan kepala, “Benar, sekali dengan perawatan dan pemeliharaan saya hingga jambu ini memberikan imbalan pada saya berupa makanan, buah jambu. Saya bisa menikmatinya dan memakannya, saya baru ingat ketika jambu ini berupa bibit. Ya, mengerti.” “Itu salah satu contoh, dimana kita memakmurkan alam…maka alam akan memberi imbalan. Lihatlah para petani dengan jerihpayah menamam padi, lihat pula para petani membuat pematang sawah, menciptakan saluran air dengan teratur, dan memeliharanya. Sebaliknya rusaklah pohon jambu tadi, tebas dan biarkan merana, biarkan pula padi disawah tidak harus dirawat dan diberi pupuk, biarkan pula saluran air dipenuhi sampah. Apa yang akan terjadi? Memeliharakah pada kita? Murkakah mereka?” “Tentu saja murka, Syekh. Saya paham,” Ki Chantulo mengagguk-anggukan kepala. “Namun selain itu, tadi Syekh bisa mengenyahkan angin puting beliung agar enyah dari Khendarswa?” “Bukankah andika pernah mendengar Kanjeng Nabi Musa membelah lautan. Lantas menjinakkan air laut, sehingga dengan sebilah tongkat kayunya bisa menyebrangi lautan yang terbelah. Lantas Kanjeng Nabi Sulaiman menundukan angin kencang?” “Bukankah itu mukjijat, Syekh?” tatap Ki Chantulo. “Ya, tetapi manusia semacam kita apakah tidak berhak mendapatkannya seandainya Allah menghendaki. Hanya namanya saja bukan mukjijat.” “Tentu saja,” ——————- “Bersandarlah kita pada ke Maha Besaran, ke Maha Gagahan, ke Maha Kuasaannya, ke Maha Perkasaannya….agar hal itu bisa terjadi.” “Bukankah mukjijat tidak bisa kita pelajari?” “Saya tidak mengajarkan untuk mempelajari mukjijat, karena bukan sunnah rassul. Tidak ada perintah untuk mempelajarinya, karena bukan untuk dipelajari. Mukjijat hanya pertolongan Allah semata untuk para Nabi dan Rassul. Mungkin bagi manusia semacam kita ada nama lain, ulama terkadang menyebutnya Kharamah?” “Mengapa bisa muncul Kharamah?” “Ya, karena kita telah aqrab. Juga telah berada dalam tahapan ma’rifat.” “Jika tidak sampai pada tahapan tadi? Masih mungkinkah, Syekh?” “Tentu, asalkan hati kita ikhlas dan berada dalam kasih sayangNya. Meskipun orang tadi tidak sepintar Ki Chantulo. Membaca basmallah pun tidak terlalu lancar, tetapi karena hatinya bening, bisa terjadi pertolongan Allah datang tanpa diduga. Sebab hancurnya setiap amalan dan hasil ibadah kita akibat tercemarinya hati.” urai Syekh Siti Jenar. “Maksudnya?” tanya Ki Donoboyo. “Bukankah ketika kita telah berbuat baik, menjadi sebuah catatan amal. Lalu catatan amal tadi bisa tercoreng karena dalam hati timbul ria dan ta’kabur?” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, “Bukankah dalam hadistnya Kanjeng Nabi menjelaskan, pada suatu ketika Islam itu hanya tinggal namanya, Alquran tinggal tulisannya……..” “Keberkahannya yang lenyap, Syekh?” potong Kebo Kenongo, “Banyak orang memahami ajaran Islam bahkan pasih membaca alquran, tetapi prilakunya menyimpang. Kadangkala Alquran dan agama hanya dijadikan alat…” “Ya, dijadikan alat untuk berkuasa dan menguasai serta membodohi rakyat. Seperti halnya para penguasa negeri Demak Bintoro…” “Hentikan, Ki Chantulo! Saya tidak mengharuskan menuduh orang lain seperti yang diuraikan di atas. Jika demikian berarti jiwa dan hati kita pun sudah tercemari dengan rasa benci dan berburuk sangka. Biarlah Allah yang menilai baik dan buruknya seseorang. Bukankah dalam setiap diri manusia ada malaikat pencatat amal kebaikan dan kejelekan?” tatap Syekh Siti Jenar, “Mana mungkin orang bisa menapaki ma’rifat, jika hati belumlah bening.” “O…” Ki Donoboyo mengangguk, “…pantas saya belumlah sampai pada tahapan ma’rifat. Jiwa saya terkadang terusik keadaan dan situasi, yang menurut penilaian saya jelek. Padahal jelek itu bukan menurut pribadi, juga berdasarkan aturan agama yang saya anut.” “Menurunkan penilaian jelek pada orang lain, karena jiwa kita sedang disisipi perasaan merasa paling benar.” ujar Syekh Siti Jenar, “Karena kita sedang merasa paling benar, akan selalu menganggap orang lain salah. Selalu saja ingin mencela, mencercerca, memaki, dan melontarkan ejekan. Padahal kebenaran yang ada dalam diri manusia bersipat nisbi. Kebenaran mutlak hanyalah milik Allah. Seandainya kita selalu menganggap diri paling benar, maka akan lupa introspeksi diri, meski prilaku kita sudah jelas sangat salah menurut banyak orang.” “Ya,” Ki Donoboyo mengangguk, begitu juga yang lainnya, “Justru yang sulit itu mengintrospeksi diri, Syekh?” “Benar, sehingga hal itu jika diperturutkan akan membunuh kehormatan sendiri. Kita akan dibuatnya tidak berdaya. Karena merasa selalu benar, saat orang lain meluruskan dan mengingatkan sangat sulit diterima. Perlahan orang akan menjauh. Jika dia berkuasa dan memiliki pengaruh maka akan digunjingnya dibelakang, jadi bahan obrolan.” “Itulah para pejabat negeri Demak Bintoro….” “Sssssssttttttt, ingat Ki Chantulo?” Syekh Siti Jenar menempelkan telunjuk dibirnya, “Bukankah andika ingin mencapai ma’rifat?” “Maafkan, Syekh.” Ki Chantulo merunduk, “Mengapa saya sulit menahan dan mengendalikan jiwa yang bergolak. Ketika tidak setuju dan benci akan penyimpangan, terutama dari…..” “Sudahlah, bukankah tadi saya telah mengurainya?” “Jika andika berupaya, insya Allah akan sampai pada tujuan.” terang Syekh Siti Jenar. “Sampurasun…” terdengar suara dari kaki bukit, menggema. “Syekh, rupanya kita kedatangan tamu yang memiliki tenaga dalam hebat.” ujar Ki Donoboyo. ——————- “Tahukah andika siapa yang datang?” tanya Syekh Siti Jenar. “Belum terlihat, sama sekali tidak tahu.” jawab Ki Donoboyo, meninggikan kakinya, matanya tertuju ke arah jalan yang akan dilewati tamu. “Tidaklah perlu meninggikan kaki, apalagi menajamkan penglihatan…” “Siapakah dia, Syekh?” tanya Ki Donoboyo, begitu juga yang lainnya. “Mereka utusan dari negeri Demak Bintoro.” “Artinya mereka akan menangkapi kita?” Ki Chantulo menepi. Belum juga Ki Chantulo meneruskan perkataannya, utusan Demak Bintoro telah terlihat menaiki anak tangga padepokan Syekh Siti Jenar. Paling Depan Pangeran Bayat berdampingan dengan Sunan Kudus, diikuti Pangeran Modang, Sunan Muria dan yang lainnya. “Selamat datang para petinggi Demak Bintoro dan para Wali Agung di padepokan saya, Desa Khendarsawa.” Syekh Siti Jenar dengan senyum ramah menyambut para tamunya, “Maafkan seandainya andika dipaksa harus turun dari punggung kuda dan berjalan menaiki anak tangga padepokan yang tidak sedikit. Mungkin langkah andika tersita dan melelahkan?” “Alhamdulillah, Syekh.” ujar Sunan Kudus, “Meski pun kami dipaksa harus berjalan kaki bukanlah soal. Karena sesulit apa pun menuju padepokan ini akan kami lakukan, yang jelas bisa menemui andika.” “Bukankah setelah kesulitan ada kemudahan? Mungkin saja bagi andika semua belumlah bisa bertemu kemudahan dengan segera. Bisa jadi kesulitan yang berikutnya….” “Apa maksud andika, Syekh?” Pangeran Modang geram, lalu mendekat dengan sorot mata beringas, “Hargailah, kami ini utusan Agung dari Kasultanan Demak Bintoro!” ——————- “Apakah sikap saya tidak ramah? Bukankah dari tadi sudah mempersilahkan? Butakah Pangeran pada tujuan sesungguhnya bertemu kami di padepokan? Sehingga membentak saya yang berkata seadanya?” Syekh Siti Jenar tetap tenang, selalu tersungging senyuman tipis dari bibirnya, serta air mukanya yang memancarkan cahaya. “Perkataan andika tadi, Syekh!” Pangeran Modang semakin beringas, tangan kanannya menggenggam gagang keris. “Pangeran, tenanglah!” sela Sunan Kudus, “Izinkanlah saya dulu beramah-tamah dengan Syekh Siti Jenar.” tatapan matanya menyapu wajah Pangeran Modang yang geram. “Maaf, Kanjeng.” Pangeran Modang mundur, kembali pada tempatnya. “Habis penghuni padepokan ini tidak tahu ramah tamah. Bagaimana menyambut tamu terhormat, kami ini para pejabat.” gerutunya. “Dimas Modang, sudahlah!” lirik Pangeran Bayat. “Baiklah, Kakang.” lalu menundukan kepala, setelah beradu tatap dengan Pangeran Bayat dengan sorot mata tajam. Keadaan hening sejenak, tidak ada percakapan dalam beberapa saat. Angin kencang dan mega yang tadinya bergulung-gulung telah kembali tenang. Matahari sore yang tampak terhalang mega tipis mulai bisa menatap padepokan milik Syekh Siti Jenar, seakan-akan ingin menyaksikan sebuah peristiwa yang akan terjadi. Sehingga dengan berani matahari mengusir penghalang dari pandangannya, untuk menyaksikan kejadian penting di Desa Khendarsawa. Mulailah Sunan Kudus beramah-tamah setelah terganggu dan terusik bentakan Pangeran Modang. Meski Pangeran Bayat dan yang lainnya tampak tegang, seperti halnya Ki Chantulo dan Ki Donoboyo, sangat berbeda dengan Syekh Siti Jenar, yang selalu tenang dan menebar senyum. Para murid Syekh Siti Jenar berdatangan dan berada dibelakang Kebo Kenongo, mereka menilai dan memperhatikan pertemuan itu dengan tahapan ilmu yang berbeda. Tentu saja dalam mencerna dan memahaminya pun akan beragam. “Syekh, saya mendengar kabar jika andika dan pengikut telah menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan.” tatap Sunan Kudus. “Ajaran sesat dan menyesatkan?” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Sunan Kudus dan para pengikutnya dengan sorot mata tenang, “Jika seandainya telah melakukan hal tadi, artinya saya telah keluar dari ajaran Islam yang sesungguhnya.” “Nah, itulah, Syekh.” ujar Sunan Kudus, “Alangkah lebih baiknya andika bertobat dan kembali pada jalan lurus. Ajaran Islam yang sesungguhnya, tidak lagi mengajarkan kesesatan. Mumpung masih diberi sisa umur oleh Allah SWT….” “Tapi meskipun andika telah menyadari bahwa itu ajaran sesat, tetap saja proses hukum harus dilalui!” sela Pangeran Modang. “Meskipun andika sudah punya niat untuk bertobat…” “Bicara apa andika, Pangeran?” tatap Syekh Siti Jenar. “E..eeh..” Pangeran Modang melangkah, “Syekh, andika selalu saja membantah dan melawan pada pejabat negara! Yang saya katakan aturan hukum dan negara!” geramnya seraya menghunus keris dan mendekat. “Kenapa andika tidak bisa tenang, Pangeran?” Syekh Siti Jenar mengangkat tangannya ke atas, “Maafkan, Kanjeng Sunan. Juga Pangeran Bayat haruskah saya mendiamkannya?” “Keparat! Memang andika ini apa?” Pangeran Modang menorehkan keris ke dada Syekh Siti Jenar, yang diserangnya tidak menghindar meski sejengkal tanah. “Diamlah andika!” ujar Syekh Siti Jenar. Langkah Pangeran Modang terhenti, berdiri sambil mengayunkan keris dihadapan Syekh Siti Jenar, bergeming laksana patung. Meski seribu kali geram, namun tubuh tidak lagi memiliki daya dan upaya untuk bergerak. “Kanjeng Sunan Kudus?” bisik Pangeran Bayat, “Apa yang dilakukannya terhadap Dimas Modang?” “Jangan khawatir, Pangeran.” lirik Sunan Kudus, “Mungkin agar perbincangan saya tidak terusik dengan tindakan Pangeran Modang, yang sebenarnya membahayakan dirinya sendiri.” ——————- “Ya, saya paham, Kanjeng.” Pangeran Bayat menganggukan kepala. “Kabar, Kanjeng Sunan Kudus?” tatap Syekh Siti Jenar. “Ya, Syekh.” “Bukankah kabar itu sesuatu yang belum pasti?” “Hari inilah saya datang ke padepokan andika untuk membuktikan kabar tadi.” “Bahwa saya telah mengajarkan dan menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan?” Syekh Siti Jenar perlahan mengangkat wajahnya ke langit, lalu kembali menatap Sunan Kudus. “Bukankah andika tadi sudah menyadari, Syekh?” tatap Sunan Kudus, “Jika andika menyebarkan kesesatan artinya telah keluar dari ajaran Islam yang sesungguhnya….” “Benar, Kanjeng.” tampak tersenyum, “Seandainya saya melakukan kesesatan dan menyebarluaskannya. Artinya saya telah murtad, kafir, mungkin juga musyrik. Tetapi benarkah tuduhan itu? Bahwa saya telah sesat dan menyesatkan dengan ajaran yang saya sebarkan. Bukankah saya menyebarkan ajaran Islam? Meskipun kita hanya memiliki satu ayat menurut Kanjeng Nabi, maka sampaikanlah. Tidak bolehkah menyampaikan sesuatu tentang ajaran Islam yang saya anggap benar dan harus disebarluaskan?” “Memang itu tidak salah! Sudah seharusnya karena mengajarkan dan menyebarluaskan agama merupakan kewajiban kita sebagai umatnya.” Sunan Kudus berhati-hati, “Tetapi andika sudah dianggap melenceng, bahkan sesat.” “Mengapa saya dianggap melenceng dan sesat? Karena saya bukan seorang wali seperti andika? Mungkinkah karena saya hanya seorang rakyat jelata?” “Tidak,” “Lantas?” “Ya, ajaran itulah yang mengkhawatirkan? Jika andika terus menyebarkan ajaran sesat saya khawatir rakyat yang menerimanya keluar dari esensi Islam yang sesungguhnya.” “Andika dari tadi menuduh saya telah menyebarkan kesesatan, Kanjeng.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Sunan Kudus dengan tatapannya. “Dimanakah letak kesesatan ajaran Islam yang saya sebarkan?” ——————- “Baiklah,” Sunan Kudus berhenti sejenak, lalu mengerutkan keningnya. Seakan-akan ada sesuatu yang sedang dicerna dalam pemikirannya. “Andika tidak mengajarkan syariat Islam?” “Syariat Islam?” “Andika tidak mewajibkan salat lima waktu, puasa pada bulan Ramadhan….seakan-akan rukun Islam tiada…” “Tidak,” “Mengapa? Bukankah itu hukumnya wajib?” “Tentu saja.” “Disitulah salah satu kesesatan yang andika ajarkan, Syekh!” “Kanjeng Sunan, mengapa hal tadi merupakan salah satu kesesatan yang saya ajarkan?” “Dimana ukuran sesatnya?” “Ya, itu tadi. Mestinya andika mewajibkan salat lima waktu dan puasa di bulan Ramadhan!” “Jika saya harus mewajibkan salat lima waktu dan puasa pada bulan Ramadhan, tidakkah salah?” “Justru andika telah salah dan sesat, Syekh!” “Maaf, andika keliru, Kanjeng. Bukankah saya sebagai manusia biasa tidak punya kewenangan untuk membuat suatu hukum atau aturan, apalagi berkaitan dengan syariat.” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Tidak seharusnya saya memerintahkan wajib pada murid saya tentang salat lima waktu dan puasa di Bulan Ramadhan. Sebab hal itu sudah menjadi ketetapan Allah dalam Alquran, haruskah saya menciptakan hukum baru?” “Andika ini melantur, Syekh. Memutarbalikan kata?” “Saya tidak sedang melantur, Kanjeng. Wajib itu menurut Allah dalam kalimat yang tersurat. Saya sebagai manusia biasa tidak bisa menyebutkan bahwa itu wajib. Jika demikian artinya telah melebihi Allah….” “Bagamaina andika ini, Syekh? Pembicaraan itu seperti anak kecil! Mengada-ngada. Mereka-reka kata, memutar-mutar kalimat!” “Bukankah manusia dalam kehidupannya hanya memainkan kata dan kalimat? Tebaklah permainan kata dan kalimat tadi. Telusurilah tuduhan pertama tentang hal tadi yang andika anggap sesat dan menyesatkan umat….” “Apa yang mereka bicarakan?” gumam Pangeran Bayat mengerutkan keningnya. “Islam itu agama syariat!” ujar Sunan Kudus, “Nampaknya seseorang menganut ajaran Islam karena ada syariat yang dijalankan. Iman itu adanya didalam hati. Rukun Islam itu melibatkan fisik, lahiryah. Misalkan syahadat, shalat, puasa, zakat, dan ibadah haji, tentu terlihat dalam bentuk pengamalannya.” “Tidak bolehkah di dalam Islam mempelajari hakikat, thariqat, dan ma’rifat?” ——————- “Boleh saja. Sebelum mempelajari yang tiga tadi perlajari dulu ajaran syariatnya.” tukas Sunan Kudus, “Sehingga tidak seharusnya andika mentidakwajibkan melaksanakan syariat. Jelas itu sesat!” “Bukankah saya sebagai manusia, Kanjeng?” ujar Syekh Siti Jenar, “Secara syariat dan lahiryah, manusia tidak punya keharusan, bahkan mewajibkan, tentang sebuah perintah terkait syariat…” “Sudah, Syekh!” Sunan Kudus menghela napas dalam-dalam, “Andika malah kembali memutar balikan kalimat. Islam ini agama yang berdasarkan dalil dalam Alquran, bukan berdasarkan pemikiran, pentafsiran, dan hasil proses penelaahan andika semata…” “Baiklah jika ini tetap dianggap memutarbalikan kata menurut andika.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, “Artinya perbincangan ini telah selesai…” “Tidak semudah itu, Syekh!” Sunan Kudus mendekat, “Andika tidak bisa menghindar dari hukum…” “Hukum?” “Ya, hukum negara Demak Bintoro. Andika telah dianggap sesat dan menyesatkan. Persoalan yang pertama tidak menganggap salat lima waktu, puasa serta syariat lain wajib.” Sunan Kudus berhenti sejenak, “Kedua andika telah mengajarkan manunggaling kawula gusti.” “Salahkah ajaran manunggaling kawula gusti, Kanjeng?” “Jelas, artinya andika telah menganggap manunggal dengan Gusti Allah. Musrik, sesat, serta menyamakan derajat andika dengan Allah SWT….” “O…demikiankah?” Syekh Siti Jenar, menggunakan tatapan batinnya menembus jiwa Sunan Kudus. “Rasanya tidak tersentuh…” “Apa?” “Kanjeng, tidak perlu panjang lebar. Jika yang andika inginkan menangkap saya. Maka tangkaplah!” lalu menoleh ke belakang, tampak para muridnya berdiri. “Menghilanglah kalian….” “E..eeh…” Pangeran Bayat tercengang, “Murid Syekh Siti Jenar semuanya lenyap. Kemana mereka?” “Tangkap dan bawalah saya ke pusat kota Demak Bintoro…..” tubuh Syekh Siti Jenar perlahan samar, tembus pandang, menyerupai kabut, tertiup angin sepoi berhamburan. “Kemana dia?” Pangeran Modang baru bisa bergerak, “E…ee..saya telah kembali, Kakang!” dengan girang serta memegang kepala, dada, dan bahunya. “Hebat juga ilmu sihirnya. Bisa menyihir saya hingga tidak bisa beranjak dari berdiri. Sekarang dia menghilang tertiup angin.” “Kanjeng?” tatap Pangeran Bayat, “Bagaimana menurut pendapat, Kanjeng Sunan Kudus?” “Kita kembali ke Demak!” Sunan Kudus membalikan tubuh. “Bukankah kita harus membawanya, Kanjeng?” tatap Pangeran Modang. “Seandainya Pangeran sanggup menangkapnya? Silahkan! Saya menunggu di sini.” “Dia sangat sakti, Kanjeng.” Pangeran Modang mengerutkan keningnya serta menggeleng-gelengkan kepala, terkadang menatap Pangeran Bayat. “Dimas Modang, kita kembali ke Demak!” ujar Pangeran Bayat, “Saya setuju dengan Kanjeng Sunan Kudus.” “Lho…?” Pangeran Modang, menggerutu dalam hatinya, terkadang memijit-mijit keningnya. Sunan Kudus, Pangeran Bayat, dan yang lainnya beranjak dari padepokan Syekh Siti Jenar. Tidak ada satupun yang berbicara, termasuk Pangeran Modang, semuanya seakan-akan hanyut dan tenggelam dalam persoalan. Meninggalkan Desa Kendharsawa menyisakan beragam pemikiran, penalaran, dengan analisis beragam sesuai dengan kemapuan dan ilmu yang dimiliki mereka. “Mereka kembali, Syekh.” ucap Ki Ageng Tingkir, “Padahal kita tidak kemana-mana…” “Ya, hanya tabir tipis saja yang menghalangi pandangan mata lahiryah mereka.” Syekh Siti Jenar melangkah pelan. ——————- “Mengapa mereka demikian, Syekh?” Ki Donoboyo mendekat, “Tidakkah mereka memiliki ilmu yang setarap dengan, Syekh?” “Jika andika bertanya tingkatan, artinya ada yang tinggi dan rendah.” Syekh Siti Jenar menghentikan langkahnya, “Padahal tidak semestinya kita menilai manusia dengan tingkatan. Semua manusia dihadapan Allah sama. Yang membedakan hanyalah cara mensyukuri segala hal yang diberikanNya.” “Maksudnya?” “Menggunakan sesuatu sesuai dengan yang seharusnya….” “Masih bingung, Syekh?” Ki Donoboyo garuk-garuk kepala. “Sang Pencipta telah menciptakan tangan untuk apa? Kaki sesuai fungsinya, tentunya untuk berjalan…” Kebo Kenongo mencoba menjelaskan, “Mata untuk melihat, akal untuk berpikir…” “Itulah artinya mensyukuri nikmat, secara singkat.” tambah Syekh Siti Jenar. “Seandainya mereka mengasah mata batin, tentu bisa memandang keberadaan kita. Tidak ada sesuatu yang tersembunyi meski sebesar zarah, atom, lebih kecil dari debu, seandainya mata hati kita telah terbuka.” “Kenapa saya juga belum bisa?” tanya Ki Donoboyo. “Sebetulnya mereka pun, atau ki Donoboyo sudah bisa, tetapi tidak secantik saya melakukannya.” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Orang lain akan mengatakan mungkin saya yang telah lebih dulu, dia belakangan.” “O, Syekh tahapan lebih tinggi mereka lebih rendah. Pantas tingkat ketinggian pun bisa mempengaruhi sudut pandang dan jangkauan mata kita.” ujar Ki Chantulo, “Di atas ketinggian apalagi dipuncak gunung semuanya akan terlihat, berbeda dengan mereka yang masih di kaki gunung…” “Hahahaha….” Ki Donoboyo tertawa jika demikian saya paham, “Pantas mereka cepat pergi karena merasa kalah dan tidak mampu menangkap kita.” “Tidaklah perlu terlalu gembira.” tatap Syekh Siti Jenar, “Mereka tidak akan berhenti sampai disitu. Suatu ketika akan kembali dan menjemput saya…” “Siapakah yang mampu mengalahkan kesaktian, Syekh?” tanya Ki Donoboyo. “Rasanya saya tidak perlu mendahului kehendakNya. Di antara para wali tentu saja….” Syekh Siti Jenar mendadak menghentikan kalimatnya, wajahnya mendongak ke langit. “Hampir gelap. Andika sebaiknya turunlah dari padepokan ini, keluarlah dari Khendarsawa. Sebarluaskan ajaran kita! Meski jasad kita telah terkubur, ruh, dan ajaran tidak akan pernah mati. Kecuali sebagian saja yang tinggal di padepokan ini….” Tiba-tiba kilat membelah langit, diikuti suara guntur menggelar memekakan gendang telinga. Perkataan Syekh Siti Jenar seakan-akan mendapat restu dan kesaksian dari langit. “Hamamayu hayuning bawanna…” gumam Ki Chantulo ternganga. *** “Gusti, maafkan kami tidak berhasil membawa serta Syekh Siti Jenar.” Pangeran Bayat merunduk di depan Raden Patah. Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Gresik, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Ngudung, Sunan Geseng, Sunan Gunung Jati, Sunan Muria, Pangeran Modang dan para adipati telah lama berada di atas tempat duduknya. Dalam batinnya masing-masing memikirkan dan mencerna, sesuai dengan kadar ilmu yang dimilikinya, tentang ketidakberhasilan memboyong Syekh Siti Jenar. “Kami tidak sanggup melawan ilmu sihirnya, Gusti.” Pangeran Modang mengacungkan sembah. “Haram! Islam tidak boleh menguasai ilmu sihir apalagi mengamalkannya….” “Maaf, Kanjeng Sunan Giri.” Sunan Kudus angkat bicara, “Saya rasa Syekh Siti Jenar tidak memiliki ilmu sihir…” “Tapi, Kanjeng. Bukankah dia bisa menghilang? Saya sendiri dibuatnya mematung bagaikan arca.” timpal Pangeran Modang. “Itu bukanlah ilmu sihir setahu saya…” Sunan Kalijaga menatap Raden Patah, “Merupakan salah satu ilmu yang diajarkan pada murid-muridnya, terkadang kita menganggapnya sesat. Mungkin karena tidak pernah ditemui dalam syariat Islam. Umat Islam tidak disyariatkan untuk bisa menghilang…” “Benar,” Sunan Kudus melirik, “…mungkin itulah ajaran thariqatnya.” “Disitulah letak kesalahannya, Kanjeng.” Sunan Giri perlahan bangkit, “Islam itu seakan-akan ilmu yang terkait dengan hal-hal mistis. Sehingga ajaran yang disebarluaskannya bisa menodai perjuangan kita. Padahal selama ini kita berusaha membasmi ajaran-ajaran yang berbau bid’ah, kharafat, tahayul, dan musrik. Toh…dia malah mengajarkan hal-hal aneh. Tidaklah sebaiknya mengajarkan bagaimana…cara shalat yang benar…” “Ya, padahal keimanan rakyat Demak Bintoro pada saat ini masih rapuh.” ujar Raden Patah, “Belum juga memahami bag-bagan fikih…malah loncat ke hal-hal yang berbau mistis.” “Bagi orang awam sudah barang tentu, akan mengulang perbuatan menyimpang dari syariat Islam.” Sunan Kalijaga berhenti sejenak, “Ya, mungkin inilah warna kehidupan. Saya kira sepenuhnya kebijakan milik negara dan dewan wali…”“Untuk itu tetap, Syekh Siti Jenar harus ditangkap!” ujar Sunan Giri, “Kali ini sebaiknya Sunan Kalijaga saja yang berangkat?” “Saya setuju,” ujar Raden Patah, “Namun tidaklah sendiri…” “Seandainya ini tugas negara dan perintah dari ketua Dewan Wali…insya allah.” Sunan Kalijaga menatap Sunan Bonang, mata hatinya mulai berbincang, ‘Kanjeng, meski bagaimanapun juga tetap hal ini akan terjadi.’ ‘Saya kira guratan taqdir berkata demikian. Terpaksa atau tidak terpaksa Kanjeng Sunan Kalijaga harus melakukannya.’ tatap Sunan Bonang. “Ada apa Kanjeng Sunan Bonang, Kanjeng Sunan Kalijaga?” tatap Sunan Giri, “Adakah hal penting terkait dengan persoalan ini perlu diperbincangkan?” “Rasanya tidak ada, Kanjeng.” ujar Sunan Bonang, “Mungkin saya akan turut serta bersama Kanjeng Sunan Kalijaga…dan beberapa wali lainnya.” “Baiklah,” Sunan Giri Menganggukan kepala. “Saya akan mengutus Dimas Bayat, Pangeran Modang, dan beberapa prajurit tangguh. Seandainya mereka sulit ditangkap!” ujar Raden Patah. “Saya rasa tidak perlu melibatkan banyak prajurit, Raden.” ujar Sunan Bonang, “Sebab kita tidak sedang berperang melawan pasukan musuh. Tetapi kita hanya ingin menangkap sosok Syekh Siti Jenar yang dianggap sesat dan memiliki ilmu cukup tinggi. Bukan lawan prajurit, dia tidak bisa dikalahkan dengan pasukan. Percayalah pada Kanjeng Sunan Kalijaga…” ——————- “Mudah-mudahan berhasil,” ujar Sunan Giri, “Kita harus segera menjatuhkan hukuman. Jika dibiarkan terlalu lama, saya takut ajarannya semakin meluas. Sebab apa yang diajarkannya sangat kental dengan kehidupan masyarakat Demak sebelumnya.” “Mudah-mudahan,” ujar Sunan Bonang. “Pertama ajarannya benar-benar sesat. Masa tuhan bisa manunggal dengan dirinya, manunggaling kawula gusti.” ujar Pangeran Bayat, “Kedua saya melihat dengan mata kepala sendiri, hadirnya Ki Ageng Pengging alias Ki Kebo Kenongo disampingnya. Jadi tuduhan makar dan isu politik melatar belakangi disebarnya ajaran sesat dan menyesatkan. Jika hal ini dibiarkan, sangat jelas akan merongrong wibawa dan keutuhan negeri Demak Bintoro. Padahal selama ini kita berusaha membangun, mempertahankan, dan membelanya.” “Ya, saya pun meyakini hal itu, Gusti.” tambah Pangeran Modang, “Selain ingin menodai perjuangan para wali, padahal tujuan utamanya politik. Ingin mendudukan Ki Ageng Pengging sebagai Raja Demak Bintoro. Ditebarnya isu penyebaran ajaran sesat semata untuk mengalihkan perhatian pemerintah, dimana lengah gerakan makar pun berjalan.” “Sejauh itukah pengamatan, Pangeran?” tatap Sunan Geseng, “Padahal saya lebih sependapat dengan Kanjeng Sunan Kalijaga. Hendaklah persoalan politik dipisahkan dulu dengan persoalan agama.” “Maaf, Kanjeng. Justru agama lebih mudah ditunggangi kepentingan politik, mengingat masyarakat Demak Bintoro mayoritas muslim.” ujar Pangeran Modang, “Saya berkesimpulan demikian berdasarkan hasil penyelidikan, lihat pula latar belakang Ki Ageng Pengging?” “Masuk akal juga,” Sunan Giri menyapu wajah Raden Patah dengan tatapan matanya. “Jika itu terbukti, artinya Syekh Siti Jenar jelas memiliki dua kesalahan. Pertama mengajarkan ajaran sesat, kedua mendukung Ki Ageng Pengging melakukan makar.” ujar Raden Patah. “Untuk membuktikan semuanya, biarlah hari ini juga saya akan menjemput Syekh Siti Jenar.” tatap Sunan Kalijaga, “Hingga kita tidak larut dalam bayang-bayang dugaan…” *** Langit mendung, awan hitam bergulung-gulung bergerak cepat kerumuni angkasa. Petir berkilatan, diikuti guntur menggelegar memekakan gendang telinga. Angin bertiup sangat kencang memisahkan daun dan ranting kering dari cabang pepohonan. Bergerak di atas langit Desa Khendarsawa. Petir menyabar batang pohon, terbakar serta jadi arang dalam sekejap. Abunya berhamburan di halaman padepok Syekh Siti Jenar. Para murid Syekh Siti Jenar tersentak, seraya bangkit dari duduknya, puluhan pasang mata tertuju pada batang pohon yang berubah jadi abu dalam sekejap. “Pertanda alam apa lagi?” gumam Ki Chantulo, tatapannya menyapu wajah Syekh Siti Jenar yang tampak tenang. “Kematian…” “Maksud, Syekh?” ——————- “Lihat saja nanti.” melangkah pelan keluar dari ruang padepokan, seakan-akan menyambut tamu yang akan datang. Para muridnya yang berada di dalam ruangan belum juga keluar, mereka hanya mengantar langkah gurunya dengan tatapan mata penuh pertanyaan. Matahari semakin ketakutan, menyelinap di antara gelapnya mega yang bergulung-gulung. Angin semakin kencang dibarengi petir dan kilat, seakan menjadi-jadi. Utusan Negeri Demak Bintoro telah berada di gerbang Desa Khendarsawa. Sunan Kalijaga berdampingan dengan Pangeran Bayat duduk di atas pelana kuda hitam, di belakangnya Pangeran Modang, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Geseng. “Lihatlah, Kanjeng!” Pangeran Modang menunjuk langit, “Sihir Syekh Siti Jenar hebat sekali. Dia bisa menciptakan petir, angin kencang, dan guntur. Padahal sebelum memasuki Desa Khendarsawa tidak ada.” “Mungkinkah dia telah mengetahui kedatangan kita, Kanjeng?” lirik Pangeran Bayat. “Ya,” jawab Sunan Kalijaga, matanya tertuju ke depan. “Apakah gejala alam ini sengaja dia ciptakan untuk menyambut kedatangan kita?” “Tidak, Pangeran.” “Tapi…bukankah…” “Pertanda alam ini lahir dengan sendirinya.” Sunan Kalijaga memperlambat langkah kudanya, “Ingatkah Pangeran pada ilmu hamamayu hayuning bawanna yang dimilikinya?” “Ya, namun saya kurang paham?” “Inilah bukti kemanunggalan Syekh Siti Jenar dengan alam…” “Maksudnya?” Pangeran Modang ikut bertanya, keningnya berkerut-kerut. “Jika kaki Pangeran terantuk batu, yang berteriak mengaduh kesakitan apakah kaki atau mulut?” “Tentu saja mulut, Kanjeng. Mana mungkin kaki bisa berteriak kesakitan.” Pangeran Modang memijit-mijit kening, “Apa hubungannya ilmu sihir yang ditebarkan Syekh Siti Jenar dengan pertanyaan Kanjeng Sunan Kalijaga?” “Rayi Modang itu ibaratnya?” timpal Pangeran Bayat. “Ah…bingung saya kakang…” Pangeran Modang garuk-garuk kepala. “Kita telah sampai di wilayah Desa Khendarsawa.” Sunan Bonang mengangkat wajahnya ke atas, menatap langit yang tiba-tiba terang benderang. Tidak ada angin kencang, petir, bahkan guntur. “Aneh?” Pangeran Modang memijit-mijit keningnya, “Lihatlah Syekh Siti Jenar sudah tidak lagi menyihir Desa Khendarsawa. Hebat juga!” Matahari kembali bisa menunaikan sisa tugasnya menatap Desa Khendarsawa, tanpa terhalang mega tebal yang menggumpal. Hanya lapisan, serta lembaran awan putih tipis menyertainya. Laksana lembaran kertas yang akan ikut serta mencatat sejarah kehidupan manusia yang terjadi di bawah tatapan matahari. ——————- Utusan dari Demak Bintoro menambat kudanya di bawah pohon rindang. Sunan Kalijaga melangkah pelan dikuti yang lainnya, matanya menyapu kaki bukit tempat Syekh Siti Jenar bersemayam. Anak tangga berbaris hingga menyentuh ketinggian bukit, untuk mengantar siapa saja yang hendak menemui penghuninya. “Kanjeng, itulah tangga susun menuju padepokannya.” lirik Pangeran Bayat. “Sangat banyak anak tangganya!” gerutu Pangeran Modang, “Hampir tidak terhitung jumlahnya…saking banyaknya…” tangannya menyeka keringat yang menetes dikeningnya. “Ya, itulah tangga kehidupan….” terdengar suara Syekh Siti Jenar menggema. “Lha, dimana orangnya?” Pangeran Modang memutar tatapan matanya, “Mulai lagi menggunakan ilmu sihir…” “Saya kira Syekh Siti Jenar sudah tahu kedatangan kita, Kanjeng?” lirik Pangeran Bayat, “Padahal keberadaan kita masih jauh dari padepokannya…” “Bukan Syekh Siti Jenar jika gelap mata hatinya, Pangeran.” Sunan Kalijaga tersenyum. “Kanjeng Sunan bisa saja…” gema suara Syekh Siti Jenar. “Selamat datang di padepokan saya saudaraku Kanjeng Sunan Kalijaga, Kanjeng Sunan Bonang dan lainnya.” “Terimakasih, Syekh.” Sunan Bonang beradu tatap dengan Sunan Kalijaga. “Orangnya dimana?” Pangeran Modang berusaha mencari jejak Syekh Siti Jenar dengan tatapan matanya. “Kanjeng, dimanakah dia?” tatapnya pada Sunan Bonang. “Tentu saja di padepokannya, Pangeran.” “Aneh….?” tangannya memijit-mijit kening, “Padahal masih harus melewati beberapa tangga dan bentangan jalan. Mengapa suaranya sangat dekat, seakan-akan berada dihadapan kita? Tidakah sedang menghilang menggunakan ilmu sihirnya?” “Tidak,” “Heran?” tatap Pangeran Modang pada Sunan Bonang, “Sangat tinggi ilmu sihirnya…” Setahap demi setahap Sunan Kalijaga dan rombongan menginjak tangga yang terbuat dari pahatan batu padas. Berkali-kali Pangeran Modang menghela napas, seraya menyeka keringat. Seperti yang lainnya, terkecuali Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga tidak tampak lelah apalagi menyeka keringat, tubuhnya seakan-akan tidak memiliki bobot. “Mengapa Kanjeng Sunan mesti menapaki tangga? Tidak sebaiknya langsung saja berdiri dihadapan saya?” gema suara Syekh Siti Jenar. “Tidak semestinya saya meninggalkan rombongan.” Sunan Kalijaga melirik ke arah Sunan Bonang yang tersenyum. “Juga sangat tidak menghargai Syekh Siti Jenar yang telah susah payah menciptakan tangga, jika kaki saya tidak menyentuhnya….” “Kanjeng, apa maksud ucapan Syekh Siti Jenar?” Pangeran Modang melongo. “Aneh…kenapa Kanjeng berdua tidak tampak lelah apa lagi berkeringat…kelihatannya enteng. Apakah Kanjeng juga punya ilmu sihir?” “Mengapa pangeran bertanya demikian?” tatap Sunan Kalijaga, “Padahal kaki saya seperti halnya Pangeran menyentuh tangga. Saya tidak merasa berat dan mungkin sering latihan….” “O…pantas…” Pangeran Modang geleng-gelengkan kepala. “Memang saya malas berolah raga…apalagi memanjat gunung…” Matahari semakin nampak, panasnya terik menguliti tubuh. Seakan-akan ingin puas menyinari para penghuni bumi. Itu semua terseka dengan tiupan angin sepoi-sepoi, mengusir sengat dan keringat panas. “Inilah padepokan saya, Kanjeng.” Syekh Siti Jenar menyambut Sunan Kalijaga beserta rombongan dari Negeri Demak Bintoro. Dibelakangnya berdiri beberapa muridnya, dengan sorot mata tenang. “Syekh, saya telah kembali!” Pangeran Modang geram, “Kali ini andika tidak akan bisa lolos…” ——————- “Tenang, Pangeran.” Sunan Kudus meletakan jari telunjuk dibibirnya. “Saya akan berujar secara lahiryah…” tatap Sunan Kalijaga, “Kali ini saya datang selaku utusan dari negeri Demak Bintoro.” “Tentu saja harus secara lahiryah, Kanjeng.” Syekh Siti Jenar tersenyum, tatapan matanya menyapu wajah para utusan dari negeri Demak Bintoro. “Jika hal itu merupakan keharusan, apalagi sebagai utusan. Hanya untuk menghindari fitnah bagi andika, Kanjeng.” “Ya, saya kira demikian.” “Baiklah,” “Saya kali ini ditunjuk sebagai pimpinan rombongan. Tentu saja agar tidak gagal memboyong Syekh ke negeri Demak Bintoro. Itu kepercayaan Raden Patah dan Kanjeng Sunan Giri selaku ketua Dewan Wali yang memutuskan.” Sunan Kalijaga berhenti sejenak, “Ada pun alasannya saya menangkap Syekh, karena diduga telah menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan. Betulkan demikian?” “Mengapa tuduhan seperti itu selalu datang bertubi-tubi memojokan saya dan para pengikut? Padahal saya tidak merasa sedang berada dalam kesesatan.” “Tentu saja, sebab yang menilai orang lain sesat bukanlah diri si pelaku. Namun dalam hal ini orang kebanyakan dan umum. Artinya andika dihadapan umum sudah berbuat sesuatu yang tidak lazim, serta tidak semestinya.” Sunan Kalijaga perlahan melangkah, “Andika telah melanggar kesepakatan yang telah umum ketahui dan diakui kebenaran, ketepatan, serta lelakunya. Bukankah ketika saya sedang berada di atas panggung dan mementaskan gamelan, alat musik gong itu mestinya dipukul. Jika saya memperlakukan gong seperti gendang tentu saja akan ditertawakan orang yang sudah tahu, namun sebaliknya bagi yang awam hal itu akan di anggap benar. Sehingga lelaku itu benar menurut pengikut awam, padahal yang salah adalah yang mengajarkannya.” “Seperti itukah lelaku saya saat ini?” “Ya, dari sudut pandang umum.” “Tidakkah disadari meski gendang pun bisa dipukul menggunakan batang kecil yang seukuran. Lihatlah bedug, bukankah itu pun gendang besar yang menggunakan alat pukul seperti halnya gong?” “Benar,” “Seandainya benar mengapa saya dianggap bersalah dan sesat?” “Karena saya memandang dari sudut pandang umum dan kepentingan negara.” “Jika demikian Kanjeng telah terikat dengan kekuasaan dan melupakan esensi kebenaran, yang bersifat mutlak.” “Mungkin menurut pandangan khusus demikian, Syekh.” Sunan Kalijaga berhenti sejenak. “Pada intinya hendaklah Syekh menahan diri untuk menyebarkan ajaran yang dianggap sesat secara umum.” lalu mata batinnya menembus jiwa Syekh Siti Jenar. “Mengapa mereka saling adu tatap? Tidak terdengar lagi bicara?” gumam Pangeran Modang. ‘Saya sangat memahami tugas Kanjeng secara lahiryah dan kenegaraan. Bukankah esensi ajaran Islam yang sesungguhnya berada dalam jiwa, ketika kita telah berada dalam tahapan ma’rifat, akrab, serta manunggaling kawula gusti.’ ‘Hanya sayang kesalahan Syekh menganggap sama setiap orang. Padahal tidak seharusnya mengajarkan ilmu yang Syekh pahami pada orang yang bukan padanannya. Hingga menyeret orang untuk melukar syariat….’ “Kanjeng Sunan Bonang, mengapa mereka saling tatap?” Pangeran Modang mendekat, lalu berdiri disamping Sunan Bonang. “Mereka berbicara melalui mata hati. Orang kebanyakan menyebutnya batin atau kebatinan.” “Apa yang dibicarakannya, Kanjeng?” tatap Pangeran Bayat. “Ya, tidak jauh dari persoalan yang kita bawa, Pangeran.” lalu tatapan mata Sunan Bonang menyambangi batin Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar. ‘Benar, Syekh. Hingga dengan ajaran tadi orang yang baru mengenal dan belajar Islam menganggap syariat itu tidak penting. Mestinya manusia itu berjalan melewati tangga tahap pertama, tidak semestinya loncat pada tangga yang lebih atas…’ “Lha, sekarang ketiga-tiganya jadi saling tatap. Jadi bingung apa itu batin?” Pangeran Modang garuk-garuk kepala, “Lalu kita semua hanya menyaksikan orang yang meneng-menengan…” “Kanjeng Sunan Kudus?” tatap Pangeran Bayat. ——————- “Baiklah,” Sunan Kudus menyentuh tangan Sunan Bonang, “Kanjeng, alangkah lebih baiknya jika pembicaraan andika bertiga terdengar secara lahiryah.” “Hehhhhmmmm…” Sunan Bonang menarik napas dalam-dalam, seraya mencerna permintaan Sunan Kudus. “Ya, tentu harus terdengar. Kanjeng Sunan Kalijaga, Syekh, lahirkanlah pembicaraan andika berdua!” Keduanya masih belum melahirkan setiap ucapannya, seakan-akan sedang berdebat dengan tatapan matanya masing-masing. Tanpa ada gerak, bahkan komat-kamit mulut yang meluncurkan setiap kalimat sanggahan dan pernyataan. Yang terdengar hanyalah suara jubah mereka masing-masing yang berkelebatan tertiup angin pegunungan. “Kanjeng Sunan,” ujar Pangeran Bayat, tatapan matanya tertuju pada Sunan Kalijaga. “Saya paham, Pangeran.” Sunan Kalijaga tersenyum, kembali beradu tatap dengan Syekh Siti Jenar. ‘Syekh, tidak setiap ajaran Islam yang andika tafsirkan dan pahami bisa disebarkan secara merata. Pemahaman dan pencernaan tentang hal yang tidak tersirat dan tersurat dalam alquran, hendaklah pilih-pilih, untuk siapa itu? Dimana? Lalu tahapan aqidahnya? Sebab ilmu itu ada yang bisa disampaikan melalui dakwah secara umum, terbuka, juga ada yang semestinya harus dikonsumsi dan ditelaah berdasarkan tingkatan tertentu.’ “Mengapa mereka masih saling tatap?” Pangeran Modang masih kebingungan. “Baiklah, Kanjeng.” Syekh Siti Jenar menganggukan kepala, “Bagi saya setiap orang adalah sama. Sama sekali tidak ada tingkatan yang lebih rendah dan lebih tinggi. Masa mereka tidak sanggup mencerna dan menelaah setiap pemikiran saya?” “Sekarang sudah terdengar…” Pangeran Modang tersentak, “…tapi apa yang dibicarakannya…memekakan gendang telinga dan tidak nyambung…” lalu menghela napas dalam-dalam. “Andika berkata demikian, Syekh. Karena pembicaraan ini terdengar oleh umum. Tidak semestinya mengharuskan orang lain berada dalam tahapan yang sama dengan andika.” “Bukan salah saya, merekalah yang tidak mau mengerti dan memahami. Sehingga muncul kalimat bodoh yang menduga-duga, serta merta memojokan dan menyudutkan semisal saya dan para murid.” “Apa yang andika bicarakan, Syekh?” tanya Pangeran Modang, “Dari tadi saya perhatikan terus ngelantur. Tidakah sadar jika andika ini telah menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan?” “Perlukah saya bicara panjang lebar dengan andika, Pangeran?” “Tidak perlu!” tatap Pangeran Modang, “Apa lagi yang mesti kita bicarakan? Kecuali menangkap dan memenjarakannya, kalau perlu dihukum sekalian. Mesti berdebat pun tentu saja pembicaraan andika akan lebih melantur kemana-mana. Memutar balikan fakta, serta membolak-balikan kalimat. Mana mungkin orang yang sudah dituduh bersalah mengakui kesalahannya, selain mengelak dan berusaha mencari alasan agar terlepas dari hal yang dituduhkan.” “Baiklah, saya terima tantangan itu.” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Meski saya seribu kali membuat penjelasan dan pembelaan rasanya bukan itu yang andika semua tuju. Karena tujuan para utusan agung dari negeri Demak Bintoro ingin menangkap saya dan menjatuhkan hukuman. Untuk itu tangkaplah saya!” “Tentu!” Pangheran Modang maju, lantas mengikat lengan dan sekujur tubuh Syekh Siti Jenar, lalu disered. “Selesai, Kanjeng! Kakang Bayat! Betapa mudahnya menangkap orang ini tidak seperti hari sebelumnya menghilang segala. Mari kita kembali ke negeri Demak Bintoro.” tangannya menggenggam pesakitan seraya memaksanya untuk turun dari padepokan. “Lha, kenapa amat mudah?” gumam Sunan Geseng. Lalu membalikan tubuhnya mengikuti langkah Pangeran Modang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan Pangeran Bayat. *** Awan berlayar rendah di atas bahu puncak Gunung Lawu. Matahari berbinar kemerah-merahan, mungkin marah atau terusik dengan suara bising di tepi hutan. Teriak lantang, dentingan senjata begitu nyaring. Nun jauh dari keramaian rakyat negeri Demak Bintoro, berdiri pendopo megah terbuat dari kayu jati tidak berukir. Halamnnya yang luas dipagari pepohonan sebesar tubuh kerbau, daun rimbunnya menutup langit, pagar hidup dan tumbuh. Loro Gempol berdiri di depan para lelaki telanjang dada, tubuh kekar serta berotot. Setiap tangan menggenggam pedang, lalu berpasangan saling serang. Di sudut lain Kebo Benowo berdampingan dengan Joyo Dento, dihadapannya berdiri pasukan berbaju serba hitam. Tangannya menghunus keris, menggenggam tombak pasukan sebelahnya, paling samping dengan busur di tangan dan anak panah. “Inilah pasukan gelap sewu!” gumam Kebo Benowo. “Hanya saja kita kekurang satu pasukan lagi?” dahi Joyo Dento mengkerut. “Maksud andika?” “Kita perlu pasukan berkuda.” “Kenapa tidak?” “Persoalannya kita harus mengeluarkan modal yang lebih besar? Selain membeli kuda juga merekrut lagi warga Demak yang siap berjuang bersama kita.” “Bukankah itu soal mudah, Dento?” “Maksud aki?” “Taklukan lagi para rampok dan paksa orang-orang kampung, terutama para pemudanya agar mengikuti kita. Perlu kuda kita melakukan perampasan…” “Saya kurang setuju dengan cara demikian, Ki.” Joyo Dento meninggikan alisnya. “Meski dulu pernah melakukan cara itu. Namun itu hanya berlaku bagi para perampok. Bagi penduduk kampung tidak lagi dengan cara kasar.” “Takutkah andika, Dento?” “Sama sekali tidak, Ki.” “Lantas?” “Tidakkah aki pikirkan seandainya kita menempuh cara lama dalam mengumpulkan orang tidak akan pernah menumbuhkan rasa simpati. Apalagi mendukung langkah kita,” “Haruskah membeli?” tatap Kebo Benowo, “Bukankah kita tidak cukup modal untuk biaya makan mereka saja mengandalkan uang dan emas cipataan?” “Tidak,” ——————- “Lantas?” Kebo Benowo menggeleng. “Ide apa kali ini yang bersemayam di benak andika, Dento?” “Doktrin!” “Maksudnya?” dahi Kebo Benowo mengkerut. “Bukankah siasat ini berhasil?” sungging Joyo Dento. ”Keadaan rakyat Demak Bintoro terpengaruh dan kacau…” “Ajaran hidup untuk mati itukah?” “Itulah!” “Bukankah mereka sudah menganggap mati itu indah? Mana mungkin mereka menginkan kedudukan dan memiliki niat bergabung dengan kita?” “Hahahaha…Ki Benowo! Jangan khawatir, bukankah orang-orang yang akan kita pengaruhi tidak lain hanyalah masyarakat miskin dan bodoh?” “Benar,” “Mudah.” *** “Syekh Siti Jenar yang memiliki ilmu sihir itu ternyata teramat mudah untuk saya seret ke hadapan Gusti Sultan.” tawa renyah Pangeran Modang mengurai gemerisiknya dedaunan tertiup angin. “Dimas, Modang!” kerut Pangeran Bayat. “Tidak mungkin ini terjadi teramat mudah?” matanya tidak beranjak dari wujud Syekh Siti Jenar yang terikat dan disered-sered Pangeran Modang. “Tentu saja, Kakang. Mungkin ilmu sihirnya pada hilang gara-gara berhadapan dengan Kanjeng Sunan Kalijaga yang memiliki ilmu tinggi.” “Bukankah tempo hari juga yang menghadapi Kanjeng Sunan Kudus?” “Entahlah…bukankah ketika berhadapan dengan Kanjeng Sunan Kudus masih sempat menghilang dengan sihirnya ketika akan ditangkap?” “Benar juga?” “Kenapa andika malah berdebat?” lirik Syekh Siti Jenar. “Bukankah tujuan andika berdua menangkap saya. Setelah diberi kemudahan malah diperdebatkan. Bawalah saya dan hadapkanlah pada Gustimu!” “Andika menantang!” geram Pangeran Modang. ——————- “Mengapa saya harus menantang? Andai benar itu tujuan andika?” “Baiklah!” dorong Pangeran Modang, “Andika akan diadili, serta mendapatkan hukuman yang setimpal.” “Saya kira tidak melalui pengadilan dulu?” “Bicara apa?” “Masa kisanak tidak dengar?” “Itu penghinaan, Syekh!” geram Pangeran Modang, “Jangan sekali-kali andika bicara ngelantur. Untung saja belum berada dihadapan Gusti Sultan. Dosa dan kesalahan andika akan bertambah, akibat menghina pengadilan. Hukuman pun akan lebih berat! Itu mesti andika pahami!” “Apa artinya hukum manusia?” “Tidak takutkah andika, Syekh?” “Mengapa mesti takut, Pangeran. Tidakkah kehidupan manusia ini di dunia hanya sekejap.” desahnya pelan, “Tidakkah kisanak perhatikan indahnya matahari di upuk senja? Jika hari sudah senja, artinya tiada lama lagi malam akan tiba. Terpaksa atau tidak terpaksa indahnya senja akan terseret gelapnya malam. Bukankah teramat singkat dan cepat. Begitu pula kehidupan kita di dunia ini.” Pangeran Modang diam sejenak, Pangeran Modang, Sunan Geseng, dan yang lainnya hanya menghela napas dalam-dalam. Tiada salahnya yang diucapkan Syekh Siti Jenar. Meski demikian mereka tidak boleh hanyut terbawa arus pembicaraannya. Apa pun yang terjadi, Syekh Siti Jenar tetap merupakan musuh Negara dan Agama yang perlu mendapatkan hukuman. “Cukup, Syekh!” sentak Pangeran Modang memecah keheningan sejenak. “Andika diseret ke Demak bukan untuk berbicara tentang kehidupan. Semua orang tahu itu! Perlu andika ketahui! Andika digiring ke Demak Bintoro tiada lain untuk dipenggal!” “Pangeran?” sela Sunan Geseng pelan. ——————- “O…” hela Syekh Siti Jenar, “…teramat mudah menghilangkan nyawa orang dengan jalan dipenggal. Mestikah hukum penggal dilakukan demi menghilangkan nyawa orang?” ”Jangan salah arti, Syekh!” ujar Pangeran Modang, “Hukum penggal dilakukan bukan untuk menghilangkan nyawa orang! Ingatlah, pemenggalan dilakukan demi tegaknya hukum!” “Bukankah pada akhirnya tetap untuk menghilangkan nyawa orang? Yang kisanak anggap sebagai musuh Negara?” “…tidak…” “Mengapa tidak? Bukankah setelah orang dipenggal dan lehernya putus akan mati? Itu sebuah pembunuhan, yang tidak memiliki rasa kemanusian sama sekali. Apa bedanya kisanak dengan menghargai binatang ternak yang disembelih?” ”Apa bedanya seorang penjahat seperti andika dengan hewan sembelihan? Bukankah tidak lebih rendah perbuatan andika dari binatang sembelihan?” “Kisanakkah yang menentukan rendah dan terhormatnya derajat manusia?” “Ini sudah menjadi ketentuan hukum…” Pangeran Modang mengerutkan keningnya, lalu lengan bajunya mengusap keringat yang mulai meleleh dari dahinya. “…hingga derajat andika dianggap setingkat dengan binatang sembelihan. Maka hukum penggal sugah semestinya…” “Pangeran,” desis Sunan Geseng. ”Tidakkah perkataan Pangeran terlalu berlebihan? Bukankah pengadilan nanti yang akan menentukan di depan sidang para wali dan Gusti Sinuhun?” ”Ah, tapi…” Pangeran Modang tampak pucat. “Bukankah sepantasnya, Kanjeng Sunan. Jika Syekh Siti Jenar diberi sedikit penjelasan…maksud saya supaya tersadar akan kesalahan dan dosa-dosanya. Sebelum hukum dijatuhkan dia mau bertobat…” “Hahahaha….” Syekh Siti Jenar terkekeh, “….Pangeran perkataan kisanak berlebihan…” “Diam, Syekh!” Pangeran Modang merah padam, lalu memukul pundak Syekh Siti Jenar hingga terhuyung. ——————- ”E…eh,” Syekh Siti Jenar menjaga keseimbangan. “Dimas, mengapa berlaku demikian padanya?” tatap Pangeran Bayat. “Maaf, Kakang. Dia terlalu angkuh dan selalu mencela kita. Arti nya melawan Pejabat Negara. Tidak sepantasnya bagi rakyat jelata melawan Pejabat.” “Ternyata kisanak telah dilenakan dengan pakaian kebesaran, Pangeran.” sungging Syekh Siti Jenar. “Tidakkah antara si miskin dan si kaya, pejabat atau pun rakyat semuanya sama di depan hukum?” “Siapa bilang?” geram Pangeran Modang. “Andika selain penghianat Agama dan Negara juga berani mencela setiap ucapan saya. Tidak sadarkah derajat andika dan saya berbeda. Andika hanya rakyat jelata, saya pejabat Negara. Mestikah saya hormat terhadap andika?” “Benar…benar kisanak telah dibutakan gemerlapnya pakaian kebesaran dan singgasana jabatan.” sungging Syekh Siti Jenar, ”Kisanak telah lupa tentang asal muasal sendiri, apalagi hakikat hidup. Lantas tidakkah ingat bahwa Allah menilai manusia bukan karena parasnya yang cantik, bukan karena jabatannya, bukan karena miskinnya, tetapi orang yang paling mulia dihadapanNya hanyalah nilai ketakwaannya? Dunia, jabatan, kekuasaan, serta segala yang kisanak miliki tidak akan pernah menolong dan membantu ketika kita ber…” “Diam!” bungkam Pageran Modang, “Tidak..semestinya andika menggurui saya.” mukanya merah padam, matanya menyala terbakar marah. Kepalan tangannya menghantam lambung. “Akhhh…” jerit lirih Syek Siti Jenar, merunduk. “Rupanya andika harus mendapat pelajaran!” ketusnya. ——————- “Dimas,” Pangeran Bayat menghentikan gerakan tangan Pangeran Modang berikutnya. “Kenapa, Kakang?” “Sadarlah, Dimas? Tidak semestinya kita memperlakukan Syekh Siti Jenar secara kasar. Bukankah dia juga punya hak untuk mendapatkan keadilan yang wajar?” “Tapi,” “Hehe…andaikan pejabat negara seperti kisanak semua tidak mungkin keadilan akan tercapai. Tidak mampu mengendalikan amarah…alamat berantakan sistem hukum di negara ini.” “Diam, andika, pesakitan!” bentak Pangeran Modang. “Jika buka mulut sekali lagi akan ku sumpal mulut andika…” “Pangeran, tindakan kisanak tidak mencerminkan sebagai seorang terpelajar dan sosok pejabat…” “Mulai lagi andika! Bukannya diam dan merasa takut pada saya. Bukankah sudah tahu bahwa saya ini seorang terpelajar, juga pejabat negara. Beraninya bersikap tidak diam, malah membantah terus…” “Mengapa saya mesti takut pada kisanak selaku pejabat negara dan terpelajar, bukan sebaliknya sosok kisanak mencerminkan prilaku yang sesuai dengan jabatan serta ilmu yang dimiliki?” “Keparat!” Pangeran Modang semakin terpancing, hingga kembali mengayunkan kepalan tangannya ke perut. “Aduhhh…” Syekh Siti Jenar terhuyung. “Mau lagi?” memamerkan kepalannya, dengan tatap mata beringas. “Bukannya andika ini orang sakti Syekh mengapa saya pukul sekali saja sudah nampak kesakitan?” “Jika Pangeran masih mau memukul saya silahkan. Saya merasakan sakit saat dipukul kisanak hanyalah untuk menghormati kesombongan dan keadigungan adiguna….” “Brengsek! Menantang rupanya andika, Syekh?!” Pangeran Modang kembala mengayunkan kepalan tangannya ke arah perut. Drek, terasa kepalan tangannya menghantam baja.Mulutnya menyeringai menahan sakit. Tetapi yang dipukulnya untuk kali ini tidak bergeming. Hati Pangeran Bayat mulai ciut. ——————- ”Eeh…sihir apalagi yang andika gunakan, Syekh?” ”Pangeran, tidak semestinya seorang terpelajar dan memiliki jabatan menduga-duga dan menuduh. Padahal tuduhan tadi menunjukan ketidakpercayaan diri kisanak.” “Andika yang menduga-duga?” ”Katakanlah dengan nurani, Pangeran. Tidak sepantasnya memutarbalikan kata andai itu hanya untuk melipur lara karna takut.” berdiri tegak, tatapan matanya yang tajam seakan-akan menembus kelopak mata Pangeran Modang dengan seringainya menahan sakit. ‘Keparat, benarkah dia itu bisa membaca isi hati saya? Ah…mana mungkin manusia sanggup menyelami hati orang lain?’ sejenak termangu, telapak tanganya mengelus punggung tangan yang terasa sakit. ‘Jika tidak, mengapa dia tahu saya merasa ciut…’ “Benarkan apa yang saya katakan, Pangeran?” ”Diam!” geramnya, jari-jemarinya dengan kasar menjabak leher baju Syekh Siti Jenar. “Mana mungkin orang sekasar kisanak bisa mendalami agama dengan baik. Apalagi mendakwahkannya pada orang lain. Prilaku saja sudah tidak sanggup menarik simpati. Tidak salahkah para wali memungut kisanak sebagai abdi negara? Bukankah rakyat semacam saya ini perlu diayomi…” “Tidak, karna andika bukanlah rakyat Demak Kebanyakan. Andika tiada lain pesakitan yang sudah semestinya mendapat perlakuan seperti ini.” ”Bukankah kesalahan saya ini belum terbukti, Pangeran?” “Nanti akan kita buktikan dalam persidangan…” ”Haruskah yang belum jelas kesalahannya diperlakukan sebagai pesakitan?” “Andika ini memang pesakitan!” bentaknya dengan muka memerah. “Tidakkah kisanak dalam keadaan gusar? Setiap ujaran berbenturan dengan lainnya.” ”Diam!” Pangeran Modang merenung sejenak. Disisi lain rasa gengsi sangat kuat untuk memperlakukan Syekh Siti Jenar dengan cara yang kurang hormat, dipihak lain membenarkan ucapan musuhnya. “Sudah!” lalu menyeret lagi. “Sebaiknya Pangeran istirahat dulu…” “Diam!” lalu membalikan tubuh ke belakang ternyata Pangeran Bayat menjauhi dirinya seakan berlari kembali ke Padepokan menghampiri para Sunan yang tidak mengikuti langkahnya. “Ada apa ini?” dahinya dikerutkan. ——————- “Kenapa Kakang Bayat meninggalkan saya? Juga para Sunan tiada satu pun mengikuti, padahal tadi dibelakang.” “Jika demikian kita hanya berdua Pangeran?” terdengar lembut dan menakutkan. “Diam!.” kembali berbalik, “Eeh…kemana Syekh Siti Jenar? Mengapa ikut lenyap, lalu…” Pangeran Modang mengerutkan keningnya, tangannya masih menggenggam kuat tambang pengikat pesakitannya. Yang diikatnya kini bukanlah Syekh Siti Jenar tetapi sebongkah gedebog pisang. ”Keparat! Saya telah kembali ditipu dengan sihirnya…” giginya gemeretak, tinjunya dikepalkan, mukanya merah padam. “Aneh, bukankah sedari tadi saya bicara dengan mereka…apa sebenarnya yang telah terjadi pada diriku?” Berkali-kali telapak tangnya menepuk dahi, terasa dirinya betapa dungu dalam menghadapi kejadian tersebut. “Lalu, benarkah tadi yang saya ajak bicara Kakang Bayat? Juga Para Sunan? Jika benar tentu mereka tidak akan meninggalkan saya begitu saja?” ”Haha…dasar bodoh! Andai mata hati kisanak tidak buta tentu tak seharusnya berbuat sebodoh itu….” “Keparat! Siapa andika?” berputar-putar mencari pemilik suara, terdengar seakan-akan menusuk gendang telinganya. “Buanglah yang menyebabkan hati kisanak menjadi buta. Belalakkanlah mata hati kisanak!” “Brengsek! Andika jangan mempermainkan saya! Ayo tampakan wujud Andika pengecut…” “Bukankah tadi saya sudah menasihati kisanak?” “Saya tidak perlu nasihat orang pengecut…” “Kisanak masih belum paham juga…”
bersambung
source ;
http://id.wikipedia.org/wiki/Pembicaraan:Syekh_Siti_Jenar
0 komentar:
Posting Komentar
SILAHKAN BERI KOMENTAR TERBAIK ANDA SETELAH MEMBACA ARTIKEL DIATAS
DAN JUGA ANDA AKAN MENDAPATKAN BACKLINK OTOMATIS