Selasa, 04 Mei 2010

Manusia Kera-Ular Raup Untung di Mall

Agus Himawan
Manusia kera, manusia berkulit ular, dan manusia kerdil Kamis (30/70 kemarin menggelar pentas bertajuk 'Gebyar Manusia Langka (GML)' untuk meraup rezeki di Koja Trade Mal (KTM), Koja, Jakarta Utara.
Sebuah ruangan berukuran sangat sempit, yakni 1,5 m x 1,5 m, dengan desain sangat sederhana serta pencahayaan gelap menjadi ajang pentas bagi mereka.
Pengunjung yang menyaksikan pentas itu hanya membayar Rp 6.000. Para pengais rezeki itu adalah Sapta (9) yang dijuluki manusia kera, Wariyat (45) yang biasa dipanggil dengan manusia kerdil karena memiliki tinggi 75 cm, dan Ari (12) alias Tole yang menyebut dirinya sebagai manusia berkulit ular. Ketiganya menempati sebuah etalase dengan lebar dan panjang 1,5 meter dan ditemani keluarganya.
Pada etalase itu hanya ada kipas angin, kotak atau boks untuk uang sumbangan dari para pengunjung, beberapa botol air mineral, serta mainan dan buku gambar bagi Ari dan Sapta.
Selain itu, para pengunjung dapat melihat beberapa hewan kecil yang disebut oleh penyelenggaranya sebagai hewan langka.
"Sejak lahir, saya sudah tidak bisa jalan. Bisanya cuma duduk," kata Wariyat, si manusia kerdil.
Sementara itu, suami-istri Nuradi (30)-Erna (29) tentu tak pernah menyangka anak pertamanya, Ari, sejak lahir mengalami kejanggalan. Ari memiliki kulit menyerupai ular. Meski demikian, keseharian Ari sama dengan anak-anak lain seusianya. Yang membedakan Ari dengan anak-anak lainnya hanya pada kulit tubuhnya yang kerap kering.
Berbagai upaya telah dilakukan orangtua Ari. Namun karena kendala keuangan, mereka lebih banyak berharap kepada para dermawan dan orang-orang berada. Dengan menggelar pentas di KTM, Ari berharap ada kepedulian dari banyak orang atas keadaan dirinya.
Sarpan (59), sang kakek yang mendampingi Ari selama di KTM, mengatakan cucunya itu sudah berusia 12 tahun. Saat Ari alias Tole berusia lima tahun, kedua orangtuanya yang tinggal di Jalan Palem Indah, Pondokpucung, Pondokaren, Tangerang, berpisah.
Dituturkan Sarpan, orangtuanya baru belakangan menyadari kalau kejanggalan yang dialami Ari itu ada kaitannya dengan ulah mereka.
Saat Erna mengandung Ari tiga bulan, ada seekor biawak yang masuk ke halaman rumah mereka. Oleh Nuradi (ayah Ari), biawak itu ditangkap. Namun, waktu itu Nuradi kewalahan untuk mengikat sendiri biawak itu.
Akhirnya dia meminta Erna yang mengikat badan dekat kaki belakang biawak dengan tambang. "Jadi, Nuradi memegangi biawak, sedangkan istrinya mengikat pinggang biawak itu," urai Sarpan.
Setelah menguasai biawak, Nuradi pun memperlakukannya seperti mainan. Biawak yang dalam keadaan terikat pinggangnya itu dibawa ke mana-mana untuk dipertontonkan kepada para tetangga.
"Malah Nuradi sering membawa biawak itu ke rumah saya," kata Sarpan yang rumahnya hanya berjarak satu kilometer dari rumah Nuradi-Erna.
Dikatakan Sarpan, ketika itu keluarga belum menyadari akibat yang mungkin akan ditanggungnya. Sampai akhirnya anak pertama pasangan Nuradi-Erna lahir.
Pada waktu si jabang bayi lahir, Erna tidak mengetahui bahwa buah hatinya itu memiliki kelainan. Waktu itu Erna dirawat di Rumah Sakit (RS) Muhamadiyah Jakarta Utara, sedangkan bayinya yang baru lahir langsung dirujuk ke Rumah Sakit Harapan Kita. "Mungkin karena ada kelainan itu Ari langsung dibawa ke Harapan Kita," ujar Sarpan.
Setelah keduanya sehat, ibu dan bayinya itu dipertemukan. Waktu itu Erna shock menghadapi kenyataan bayinya berkulit menyerupai ular.
"Mereka dipertemukan setelah Ari dirawat di rumah sakit sebulan," ungkap Sarpan.
Diakui Sarpan, dengan kondisi Ari seperti itu, keluarga harus mengeluarkan biaya setiap harinya Rp 800.000. Itu pun hanya untuk mengolesi tubuh Ari dengan krim agar tetap lembap. Setiap botol ukuran 100 gram berisi krim itu harganya sekitar Rp 200.000.
[ dikutip dari warta kota edisi jumat 31juli 2009]
 

0 komentar:

Posting Komentar

SILAHKAN BERI KOMENTAR TERBAIK ANDA SETELAH MEMBACA ARTIKEL DIATAS
DAN JUGA ANDA AKAN MENDAPATKAN BACKLINK OTOMATIS

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More