Suro atau juga ditulis dengan Sura adalah bulan pertama dalam penanggalan jawa. Sebuah sistem kalender yang diperkenalkan oleh Mataram Islam. Tepatnya oleh Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau yang bernama Arab Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram.
Sebelum Sultan Agung berkuasa, awalnya, hingga 1633 M masyarakat Jawa menggunakan sistem penanggalan berdasarkan pergerakan Matahari. Penanggalan Matahari dikenal sebagai Saka Hindu Jawa, meskipun konsep tahun Saka sendiri bermula dari sebuah kerajaan di India.
Tahun Saka Hindu 1555, bertepatan dengan tahun 1933 M, saat itu Sultan Agung mengganti konsep dasar sistem penanggalan Matahari menjadi sistem Bulan. Perubahan sistem penanggalan dapat dibaca dalam buku “Primbon Adji Çaka Manak Pawukon 1000 Taun” yang ditulis dalam bahasa Jawa.
Dari naskah tersebut diketahui bahwa Sri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo mengubah sistem penanggalan yang digunakan, dari sistem syamsiyah (Matahari) menjadi qamariyah (Bulan). Perubahan penanggalan berlaku untuk seluruh Pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, karena tidak termasuk daerah Mataram.
Perubahan sistem penanggalan dilakukan hari Jumat Legi, saat pergantian tahun baru Saka 1555 yang ketika itu bertepatan dengan tahun baru Hijriah tanggal 1 Muharam 1043 H dan 08 Juli 1633M. Pergantian sistem penanggalan tidak mengganti hitungan tahun Saka 1555 yang sedang berjalan menjadi tahun 1, melainkan meneruskannya. Hitungan tahun tersebut berlangsung hingga saat ini. Maka dari itu wajar jika bulan dalam kalender Jawa bersamaan dengan kalender Hijriyah secara global.
Asal Kata Suro
Banyak orang salah sangka tentang asal muasal kata suro. Beberapa kalangan mengira bahwa asal kata suro berasal dari bahasa Arab dengan pengejaan yang sama yaitu “syuro” yang berarti musyawarah. Ada juga sebagian yang berpendapat bahwa kata suro memang berasal dari bahasa Jawa suro yang berarti berani. Tapi jawaban tersahih atas hal ini adalah bahwa kata suro dalam bulan suro berasal dari bahasa Arab yaitu asyuro yang berarti hari kesepuluh. Hari kesepuluh bulan Muharram dalam Islam memiliki arti yang sangat penting terutama karena ada khabar dari Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan atasnya. Terutama tentang kisah diselamatkan Musa AS beserta kaumnya dari kejaran Fir’aun. Hari itu adalah hari asyuro. Atas hal itu jugalah kemudian Musa dan umat Yahudi melakukan puasa atasnya. Kemulian asyuro juga bisa terbaca dari hadist nabi:
Aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Hari ini adalah hari ‘asyura. Allah tidak mewajibkan atas kalian berpuasa padanya, tetapi Aku berpuasa, maka barang siapa yang ingin berpuasa, maka berpuasalah. Dan barang siapa yang ingin berbuka (tidak berpuasa) maka berbukalah.
Suro; Jawa, Yahudi, Syiah dan Sunni
Tradisi merayakan Suro di Jawa biasanya dilakukan dengan beberapa cara. Keraton Yogyakarta dan Surakarta biasanya melakukan Kirab Suro. Kirab ini dilakukan setelah dilakukan jamasan (memandikan) benda pusaka pada malam harinya. Kirab ini biasanya dilakukan dengan cara berkeliling kota sebelum kemudian ditaruh kembali ke tempat benda pusaka disimpan. Sedangkan rakyat kecil biasanya melakukan mandi beramai-ramai dengan cara mendatangi pantai, sungai atau danau kecil. Biasanya dilakukan menjelang atau sesudah mengadakan selametan atau bancaan di tepi pantai, sungai atau danau kecil yang akan dibuat mandi. Hal ini dilakukan sebagai simbol penyucian diri dari segala dosa dengan harapan dosa yang melekat di badan bisa ikut luntur saat air disiramkan ke tubuh. Walau ditenggarai bahwa tradisi mandi suro ini adalah warisan budaya hindu yang pernah melekat pada masyarakat Jawa akan tetapi tetap bisa diterima dengan modifikasi niat dan tata cara yang disesuaikan dengan ajaran Islam.
Sedangkan para raja atau pembesar Jawa biasanya melanjutkan dengan puasa hingga hari ke sepuluh dari Bulan Suro. Budaya ini konon diwarisi dari para raja terdahulu yang meminpin keraton di daerah mataraman.
Akan tetapi tradisi Asyuro di dunia biasanya identik dengan kaum Syiah. Pada hari Asyuro umat Syiah akan melakukan pawai atau melakukan ziarah secara massal ke makam imam-imam atau tokoh yang mereka keramatkan. Selain itu mereka juga mempunyai tradisi menyakiti dirinya sendiri dengan cemeti atau benda lainnya sebagai tanda bersedih atas terbunuhnya Sayyidina Husein pada tanggal sepuluh Suro atau Muharram lebih dari 1400 tahun yang lalu oleh tentara Yazid bin Mu’awiyah karena alasan kekuasaan.
Sedangkan umat Sunni kecuali yang bermadhab Wahabi memperingati hari ke sepuluh dari bulan Muharram tersebut karena ada perintah Nabi Muhammad lewat hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, seorang imam terbesar dalam khazanah periwayatan hadis dalam dunia Islam.
Salah satu hadist tersebut ialah hadist dari Ibnu Abbas yang berkata, “Nabi datang ke Madinah dan ketika orang Yahudi berpuasa pada hari Asyuro mereka berkata hari ini adalah hari dimana Musa bebas dari Fir’aun. Maka Nabi berkata kepada para sahabatnya, kalian lebih berhak terhadap Musa daripada mereka, maka dari itu berpuasalah!”
Hadis ini adalah sebagai salah satu landasan bagi peringatan Asyuro yang diadakan oleh umat Muslim Sunni di seluruh dunia. Sebagian Muslim Jawa biasanya menambahkan dengan bubur Sura yaitu bubur ketan putih dengan gula merah di atasnya.
Hadis di atas juga menandaskan bahwa hari Asyuro telah dirayakan sejak sebelum Islam datang yaitu dirayakan oleh orang Yahudi, para pengikut Nabi Musa.
Jika Yerussalem (Bait al-salam) disucikan oleh umat Yahudi, umat Kristiani dan umat Islam. Maka hari Asyuro disucikan oleh umat Yahudi, muslim syiah dan muslim sunni. Wallahu a’lam.
silahkan anda Copy paste artikel diatas tapi kalau anda tidak keberatan mohon cantumkan sumber dengan linkback ke blog ini. terimakasih....!!!
0 komentar:
Posting Komentar
SILAHKAN BERI KOMENTAR TERBAIK ANDA SETELAH MEMBACA ARTIKEL DIATAS
DAN JUGA ANDA AKAN MENDAPATKAN BACKLINK OTOMATIS